KOTOMONO.CO – Kepling yang butuh dikemplang!!!
Kepala Lingkungan atau Kepling merupakan kasta pimpinan terendah pada lingkup masyarakat kita. Warga setempat juga sering menyebutnya dengan istilah Keplor atau Kepala Lorong. Belio menjadi penyambung lidah masyarakat yang sehari-hari mengalami kesulitan entah itu dalam urusan administrasi apalagi ekonomi.
Walau terkadang yang terjadi di lapangan malah tragedi yang kontradiktif. Mereka yang harusnya menolong wong cilik malah jadi makelar licik dengan memanfaatkan warganya yang gak mau ribet ngurus ‘kartu-kartu’ tersebut. Tidak bisa dibilang benar, namun juga tak bisa disalahkan apalagi jika warganya ikhlas memberikan ‘upeti’ tersebut.
Selaku rakyat jela(n)tah yang mengalami langsung kebejatan pemimpin lokal ini, saya akan uraikan secara singkat, padat dan rapat 4 dosa kepling terhadap warganya yang akan terus dibawa sampai akhirat. Wahai para kepling seluruh negeri Wakanda, camkan dosa anda ini baik-baik.
Malas blusukan lihat kondisi warganya
Pemimpin itu melayani, bukan minta dihormati dan dihargai. Saya melihat langsung dengan mata kepala dan mata kaki saya sendiri kepling yang hampir tak pernah ‘turun gunung’ untuk mengecek kondisi warganya kecuali saat memohon bantuan penyelenggaraan acara-acara tertentu, itu pun lewat anggotanya.
Jangankan untuk melihat kondisi ekonomi warganya, nengok muka warganya pun hampir gak pernah. Kekacauan perilaku ini tampak nyata terjadi di lingkungan sosial masyarakat kita. Harusnya mereka mencontoh style atasan mereka ‘Pak Lurah’ yang katanya identik dengan istilah ‘blusukan’ itu.
Ogah ‘jemput bola’ ngurusin warganya
Banyak kasus warga yang bingung kenapa keluarganya tak masuk dalam data penerima jenis-jenis bansos, padahal semua kriteria sebagai penerima sudah sangat fit dan proper. Mulai dari WNI, berdomisili di lingkungan tersebut, kondisi rumah dan ekonomi yang sangat sederhana hingga berstatus miskin yang diperjelas dengan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dan lainnya.
Kepling terkadang abai dan cenderung ogah ngurusin warganya agar menerima bantuan dari pemerintah, sungguh tindakan yang zalim. Tabiat durjana ini menjadi bukti nyata realitas kehidupan masyarakat yang amat pahit.
Harusnya kepling tanpa pandang bulu membantu warganya yang memang sudah layak untuk mendapatkan bantuan. Jika memang bantuan tersebut belum bisa disalurkan merata karena stok yang terbatas atau memang belum tersedia, maka utamakan warga yang benar-benar miskin mutlak. Bukannya nguntungin pribadi.
Racun ‘nepotisme’ yang sudah menyebar
Ya, hal ini merupakan fenomena yang lumrah terjadi di lingkungan kita, nepotisme. Slogan “utamakan dulu sanak familimu, kesampingkan wargamu” benar-benar menjadi ‘jalan ninja’ sebagian kepling yang tak memiliki rasa keadilan.
Bukan hanya dari tingkat yang paling bawah, bahkan pada level puncak sekalipun melakukan kegilaan tersebut. Mulai dari anak, menantu, ipar hingga mungkin cucu-cicitnya akan dipersiapkan menjadi pelanjut hegemoni agar terus mendapatkan keuntungan dari kekuasaan yang ia miliki.
Kembali soal Kepling tadi, kalau ada bantuan dari pemerintah keluarganyalah yang jadi prioritas utama. Jika tak punya ‘ordal’ atau hubungan emosional dengan sang kepling, maka bersiaplah gigit jari dan mengelus dada.
Seperti perbincangan sehari-hari yang acap kali kita dengar “dia dapat bantuan, kok saya nggak? Pasti ada apa-apanya nih”. Perbuatan nepotisme dan kerakusan ini sudah layaknya kita lawan. Warga jangan hanya diam membisu, laporkan ke Lurah setempat jika melihat ada indikasi seperti ini.
‘Sunat’ dana bansos
Setiap jengkal pengadaan proyek-proyek pemerintah jelas tak bisa berjalan sendiri, pasti ada pihak-pihak lain yang terlibat untuk menggolkannya. Termasuk pengadaan paket bansos Covid-19 lalu yang juga turut ‘menggolkan’ eks Mensos Juliari Batubara ke penjara. Belio sukses meraup uang rasuah Rp17 miliar dari total nilai paket sembako Rp5,9 T pada 2020.
Berdasarkan kasus-kasus di masa fir’aun dulu, ya wajar saja aktivitas sunat-menyunat ini mendarah daging karena dipraktekkan langsung dari pucuk pimpinan. Rakyat dipaksa menelan pil pahit dana BLT 600 ribu kena sunat 50 ribu, namun setelah fenomena ini viral akhirnya banyak pejabat lokal sekelas camat mengembalikan uang sunat tersebut. Itu masih sebagian kecil dari bejibun kisah pelik lainnya yang merugikan rakyat yang memang sudah rugi.
Menurut saya hal ini super sulit untuk diberangus. Bahkan bantuan ramadhan berupa susu, teh dan gula yang rutin diberikan pemko/pemkab kepada masjid dan musholla menjelang ramadhan pun tak luput dari ‘pemotongan’. Bagaimana cara menghentikan ini semua? Apa mungkin harus dengan syari’at islam potong tangan (qishash) dulu ya baru perilaku busuk ini selesai?
Kepling selaku pemimpin harusnya menjadi contoh dan memberi contoh, karena seyogianya pemimpin itu memang diangkat untuk diikuti. Bayangkan jika pemimpin sekelas kepling mempraktekkan keburukan dan dicontoh oleh rakyatnya, maka dosa jariyah yang akan ia peroleh. Sebaliknya jika pemimpin tersebut adil dalam menjalankan tugasnya dan dicontoh pula oleh para bawahannya, maka pahala jariyah yang akan ia dapatkan.
Saya teringat dengan hadits dari Nabi Muhammad SAW tentang 7 golongan yang mendapat naungan di hari kiamat dan yang pertama akan memperolehnya ialah pemimpin yang adil. Pemimpin adil lebih dulu mendapatkan naungan di hari kiamat daripada ulama. Pemimpin adil, emosi rakyat akan stabil dan surga akan menjadi hasil.
Editor: Muhammad Arsyad