Mendayakan desa sebagai unsur penting dalam pembangunan bangsa bukan perkara mudah. Persepsi masyarakat tentang desa dari dulu hingga sekarang masih meninggalkan kesan diskriminatif. Desa kerap dipersepsikan sebagai negasi dari kota. Secara tak sadar, persepsi ini melahirkan kesenjangan yang semakin menganga.
Jika mau jujur, desa berjasa besar bagi kota. Kebutuhan dasar masyarakat kota lebih banyak dipasok desa. Lalu, apa sesungguhnya yang menjadi masalah sehingga desa dipersepsikan sebagai negasi kota? Salah satunya kesejahteraan yang tidak merata.
Menyikapi permasalahan itu, kampus yang dijiwai pemikiran mendiang Presiden keempat Republik Indonesia, K.H. Abdurrahmah Wahid, tergerak untuk menjalankan program pemberdayaan masyarakat pedesaan. Seperti yang dilakukan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) pada hari Senin, 11 November 2024 lalu. Di sela-sela Workshop Digitalisasi BUMDes yang dilangsungkan di Ruang Meeting Lantai 3, Dekan FEBI, Prof. Dr. Shinta Dewi Rismawati, S.H., M.H., mengukuhkan pembentukan Pusat Studi Pengembangan Pedesaan dan Kearifan Lokal. Ditandai penyerahan Surat Keputusan pembentukan program tersebut kepada Direktur Pusat Studi, Tsalis Syaifuddin, M.Si. yang diwakili Aenurofik, M.A. Kepala Divisi Advokasi dan Pemberdayaan.
Penyerahan SK tersebut menjadi momentum bersejarah bagi upaya serius keluarga besar UIN Gus Dur dalam menjalankan tanggung jawab keilmuan kepada masyarakat. Lain itu, juga menunjukkan komitmen FEBI UIN Gus Dur sebagai bagian tak terpisah dari masyarakat. Hal ini sekaligus menegaskan posisi kampus di tengah-tengah masyarakat. Bahwa, kampus adalah bagian dari masyarakat.
Dalam kerangka pikir yang demikian, hubungan antara kampus dan masyarakat tidak hanya bersifat simbiosis mutualis. Lebih dari itu, masyarakat—khususnya di pedesaan—ditempatkan sebagai sumber pengetahuan yang berkontribusi besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan beragam inovasi terapan. Masyarakat pedesaan tak hanya dijadikan objek, melainkan pula sebagai subjek.
Tentu, melalui komitmen ini ada konsekuensi yang harus dipenuhi. Di antaranya, pengembangan riset dan inovasi—khususnya digital, serta pengabdian masyarakat. Akan tetapi, di dalam pelaksanaannya tetap berupaya memperhatikan dan mempertimbangkan kearifan-kearifan lokal yang berlaku sebagai kekayaan sekaligus modal dasar yang dimiliki masyarakat desa.
Maka, tak berlebihan jika Dekan FEBI, Prof. Dr. Shinta Dewi Rismawati, S.H., M.H., memiliki harapan besar pada program tersebut. Bahwa, program tersebut seyogyanya menjadi pendukung bagi pembangunan ekonomi pedesaan yang berkelanjutan. Kampus mesti hadir di tengah masyarakat desa untuk bersama-sama menguatkan daya ekonomi pedesaan. Sehingga, akan tercipta pula ekosistem yang dibangun bersama.
Di lain hal, program ini diharapkan pula dapat menjadi motor sekaligus katalisator bagi para akademisi di kampus UIN Gus Dur agar memiliki peran yang jauh lebih baik di tengah-tengah masyarakat. Terutama, di dalam mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Demikian pula pada saat ia menyinggung masalah perkembangan teknologi. Menurut Shinta, “Digitalisasi adalah kunci bagi peningkatan daya saing dan keberlanjutan usaha di desa. Kami berharap BUMDes dapat lebih optimal dalam memberikan manfaat kepada masyarakat luas.”
Langkah ini, sebagaimana ditegaskan Shinta, menjadi sebuah loncatan yang brilian. Baginya, program ini akan menjadi program keunggulan FEBI UIN Gus Dur dan dapat diandalkan. Lebih-lebih, manakala partisipasi FEBI dalam mewujudkan desa-desa yang mandiri dan berbasis teknologi semakin membesar. Baik itu dari mahasiswa maupun dosen.
Untuk alasan itu, ia menitipkan kepada Direktur Tsalis Syaifuddin, M.Si, Kepala Divisi Kajian dan Riset Syamsuddin, M.Si., Kepala Divisi Advokasi dan Pemberdayaan Aenurofik, M.A Kepala Divisi Sinergi dan Kolaborasi M. Arif Kurniawan, M.M., beberapa catatan penting bagi pelaksanaan program tersebut. Di antaranya, penyelenggaraan riset, diskusi ilmiah, rekomendasi kebijakan, pelatihan aparatur desa dan aktor masyarakat, advokasi dan pemberdayaan masyarakat desa, jejaringan dengan pusat studi lain, pemerintah, dan organisasi non pemerintah, serta publikasi hasil-hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Dengan begitu, Pusat Studi dapat pula melahirkan “laboratorium hidup” desa, sebagaimana disarankan Dony Hendrocahyono, S.H., M.H. dalam kegiatan workshop.