KOTOMONO.CO – Menurutmu mana yang lebih bisa dinikmati?
Di era ini, semakin menjamur novel yang diadaptasi menjadi film. Mulai dari novel horor, komedi, sampai romantis, semua dijadikan film bahkan series. Novel yang dijadikan film tidak melulu novel dari penulis terkenal, namun novel yang viral dan memiliki banyak pembacalah yang akan berpotensi besar dilirik produser.
Fenomena pengadaptasian novel menjadi film, menurut saya adalah karena novel tersebut sudah memiliki banyak pembaca. Maka ketika dijadikan film, film tersebut cenderung akan memiliki banyak penonton yang pasti sebagian besar dari kalangan pembaca.
Dan tentu, para pembaca yang sudah tau akan ceritanya yang menarik akan merekomendasikannya pada teman dan keluarga, sehingga potensi film tersebut meledak akan lebih tinggi.
Akan tetapi menurut saya, novel asli lebih menyenangkan dan menggiurkan ketimbang film adaptasinya meskipun alur cerita utamanya, ya, cenderung hampir sama. Inilah beberapa alasan saya lebih menyukai novel asli ketimbang film adaptasinya:
Kita Bisa Berimajinasi Sesuka Hati
Dalam film kita tidak bisa berimajinasi sesuka hati terhadap tokoh, tempat, maupun suasana cerita, sebab film sudah menyediakan bentuk dari itu semua tanpa perlu dibayangkan sebelumnya. Makanya kadang penggambaran tokoh yang diceritakan di novel dengan di film sangat berbeda dari apa yang saya bayangkan.
Akibatnya imajinasi pada tokoh impian saya berantakan. Ibarat impian tak semanis realita, saya dijatuhkan dengan kenyataan. Beberapa adegan dan tempat yang sudah terbayang begitu keren dan mengagumkan, ketika di film jadi terasa biasa saja.
Entah memang penggambaran dan feel dari pemerannya yang kurang atau ekspektasi saya yang ketinggian. Maka dari itu saya lebih memilih novel dengan penggambaran sesuka hati dan tak dapat didebat oleh siapa pun, termasuk penulis itu sendiri.
Alur Lebih Ngalir dan Tidak Terkesan Dipaksa
Novel dengan beratus-ratus halaman diringkas hanya menjadi film berdurasi satu jam-an tentu harus ada beberapa potongan kisah yang dihilangkan. Film mengambil poin-poin penting dalam novel, sementara kadang beberapa potongan tersebut mempunyai fungsi untuk menambah alur cerita agar terkesan lebih hidup.
Oleh sebab itu, kadang ketika menonton film kita seakan dikejar-kejar ending cerita padahal ceritanya masih semu dan belum menemukan titik terang. Akibatnya kadang kita menjadi tidak puas atas alur cerita film.
Sedangkan di novel yang asli tentu kita lebih puas menikmati seluruh kisah dengan enak sesuai kisah asli, tanpa ada adegan-adegan yang terkesan tiba-tiba dan agak maksa.
Buku Punya Value Tersendiri di Hati Pembacanya
Sebagus-bagus film dan pemainnya, tapi itu tidak bisa dipegang dan dirasakan. Buku punya nilai tersendiri di hati pembacanya, dari baunya yang khas, bentuk fisiknya dan covernya yang candu, upaya menghormati penulis, dan momen saat membacanya yang menenangkan dan me-refresh pikiran.
Dan itu semua tak tergantikan oleh film, yang walaupun sama-sama memunculkan efek ketenangan dan kebahagiaan, tapi momennya tidak bisa diulang dan tak ada bukti fisiknya. Sementara buku bisa dire-read kembali dengan imajinasinya yang bisa kita ubah sesuka hati, penggambaran tokohnya yang bisa kita pilih lagi dan momen membaca setiap lembar demi lembarnya sembari minum teh di depan pegunungan atau bahkan sembari menikmati sunset.
Cerita Yang Kadang Melenceng Dari Asalnya
Sering saya temui film yang diadaptasi dari novel mengurangi atau bahkan menambahkan adegan yang melenceng dari cerita. Sebenarnya tidak masalah bagi saya jika ceritanya diubah, sebab memang harus ada pembaharuan dari novel ke film.
Akan tetapi yang jadi masalah buat saya adalah ketika film tersebut justru tidak menampilkan inti atau pelajaran yang bisa dijadikan teladan. Sebab saya pernah menemukan dalam novelnya penuh akan pelajaran, tetapi di filmnya dihilangkan dan diganti untuk menambah konflik agar lebih menarik.
Film yang diharapkan menjadi film yang bermanfaat bagi orang banyak, justru menampilkan lebih menekankan adegan romantisnya. Tokoh juga kadang diubah sifatnya dalam film, ada tokoh yang saya sukai di novel dan saya kagumi justru dalam film menjadi tokoh yang saya umpati.
Itulah alasan-alasan saya lebih menyukai novel, daripada film adaptasinya. Karena saya takut harapan dan gambaran yang sudah saya buat, tidak sesuai ekspektasi. Akan tetapi tentu tidak semua film adaptasi mengecewakan ekspektasi, ada beberapa film adaptasi yang justru melengkapi novelnya.
Ketika menonton filmnya, seakan melengkapi isi cerita dan benar-benar menggambarkan bagian novel yang tidak bisa dibayangkan pembaca. Film adaptasi novel tentu sebelumnya sudah berkomunikasi dengan penulis tentang apa yang diganti maupun diubah, saya selaku pembaca dan penikmat film tentu hanya bisa gigit jari. Wong, penulisnya aja biasa saja, kok, saya ribut sendiri. Hehee.