Kotomono.co – Jagad dunia maya heboh usai Mbak Maudy Ayunda, artis cantik lulusan Stanford Univercity menjawab sebuah pertanyaan “Apa yang akan dilakukan kalau menjadi menteri pendidikan?” Katanya, Mbak Maudy akan mengganti tipe soal pilihan ganda jadi soal esai. Menurutnya, tipe soal pilihan ganda itu cuma bisa melatih kemampuan hafalan, sedangkan kemampuan analisis dan berpikir kritisnya zonk alias tidak melatih siswa berpikir kritis apapun.
Menurutnya juga, murid-murid Indonesia bisa berpikir kritis dan punya daya analisis tinggi untuk menjawab suatu pertanyaan secara mendalam kalau soal pilihan ganti diganti dengan menjawab soal esai. Tentunya pernyataan ini mengundang pro dan kontra, salah satunya dari saya sendiri.
Pelan-pelan Saja Mbak, Masalah Kita itu Sangat Kompleks!
Masalah pendidikan Indonesia itu bukan cuma tentang murid yang selulus sekolah belum bisa berpikir kritis. Lebih dari itu, masalah pendidikan itu ada banyak. Mulai dari daerah yang masih minim akses pendidikan, sedang berkutat dengan biaya pendidikan, dan fasilitas yang belum memadai. Kalau ujug-ujug mengganti tipe soal, bisa sih.
Namun, perlu diperhatikan lagi, apa dengan penggantian tipe soal ini, tujuan ‘meningkatkan daya berpikir kritis dan analisis’ bisa tercapai? Kalau tidak, bagaimana dong? Capek-capek 1 guru SD ngoreksi jawaban belepotan murid sekelas, eh anaknya tetap belum bisa berpikir kritis. Nah, loh! Bukannya menjadi solusi, malah jadi tantangan yang baru lagi.
BACA JUGA: Derita Punya Tetangga yang Pelihara Kucing, Kesel Level Max!
Sekarang, mari kita lihat Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), ide buatan Bapak Nadiem Makarim sebagai pengganti UN. Kalau berkaca dari tujuannya Pak Nadiem, murid-murid Indonesia itu mau dinilai karakternya dulu, baru kemudian kemampuan kognitifnya. Tandai ya, dinilai, bukan dibentuk.
Salah satu aspek kemampuan kognitif yang dinilai ini ada dalam tujuannya Mbak Maudy Ayunda, yakni analisis dan berpikir kritis. Nah, dengan mengerjakan soal AKM, diharapkan pemerintah itu bisa tahu, bagaimana karakter dan kemampuan kognitif murid dari berbagai daerah. Kalau sudah seperti ini, bisa kan tujuannya Mbak Maudy collab dengan AKM-nya Pak Nadiem?
Pertanyaannya, apakah penggantian tipe soal menjadi tindak lanjut yang sesuai untuk AKM?
Kalau kamu siswa kelas 5 SD, 8 SMP, atau 11 SMA dan secara bimsalabim dapat jatah ikut AKM, pasti kamu merasakan bagaimana model soal AKM itu bagaimana. Bacaannya buanyak, literasinya ampun-ampunan, dan soal numerasinya membuat otak seakan dipelintir. Dari soal-soal AKM, bukan cuma pemerintah yang bisa menilai murid, tetapi juga muridnya bisa melatih kemampuan kognitifnya. Sampai sini, bisa dirasakan kalau penggantian tipe soal itu terlalu buru-buru. Ibarat kata, seorang dokter mau menyembuhkan penyakit pasien, tetapi dokternya tidak tanya-tanya dulu keluhan pasien ini apa.
So, bagi saya pribadi, penggantian tipe soal bisa dikesampingkan dulu. Jangan buru-buru! Ada baiknya kita lihat, pendidikan di Indonesia ini perlu apa sih untuk bisa lebih maju? Jangan cuma lihat bahwa sistem pendidikan Irlandia itu paling maju dan seketika ditiru. Tidak, ya! Sistem pendidikan itu disesuaikan dengan kondisi dan masalahnya.
BACA JUGA: Derita Orang Jawa yang Terlahir Introvert
Daerah A masih belepotan tentang sarana prasana yang kurang memadai. Jadi, alih-alih berpikir cara meningkatkan kemampuan berpikir kritis muridnya, guru dan kepala sekolahnya duluan yang krisis karena harus putar otak untuk menutupi fasilitas yang kurang. Ada juga nih, daerah B, fasilitas sudah oke, tetapi kualitas pengajarnya kurang kompeten. Yang muda masih kurang pengalaman, sedangkan yang sudah senior kurang bisa mengikuti perkembangan zaman. Hasilnya? Boro-boro mikir tipe soal, muridnya resah duluan karena pembelajaran kurang menyenangkan.
Buat Mbak Maudy, saya tidak menyalahkan pernyataan Anda terkait penggantian tipe soal. Rencana ini bagus kok, karena punya tujuan yang jelas. Akan tetapi, apakah saat realisasi nantinya bisa sesuai tujuan? Atau justru melenceng dari target berpikir kritis? Jadi, alih-alih seketika boom mengubah tipe soal, sebaiknya kita membuka mata dulu terhadap kebutuhan-kebutuhan pendidikan di berbagai daerah.
Pilihan ganda tidak menahan daya berpikir kritis dan analisis murid kok. Bukan maksudnya murid jadi kreatif pakai kancing kemeja untuk memilih jawaban, ya! Maksud saya itu, dengan pilihan ganda, melatih murid-murid Indonesia untuk mempertimbangkan jawaban. Sekalipun kemampuan hafalannya mantap, kalau dihadapkan soal AKM yang jawabannya diparafrase, tentu daya berpikir kritis dan analisnya bermain di sini.
Untuk Bapak Menteri, AKM sudah berjalan sebagai pengganti UN. Sudah adakah tindak lanjut setelah tahu karakter dan kemampuan kognitif murid-murid di berbagai daerah di Indonesia? Idenya Mbak Maudy mau dicoba?