KOTOMONO.CO – Fenomena ini sangat pelik di Jepang. Kira-kira hal apa yang melatarbelakangi seseorang terjerumus kedalam lubang Hikikomori? Simak penjelasan berikut ini.
Jepang sebagai salah satu negara maju dengan penduduk yang memiliki kesadaran tinggi terhadap kebersihan, ketepatan waktu, dan nilai kesopanan, bukan berarti bisa terlepas dari masalah sosial yang telah berkembang secara dramatis. Adanya fenomena menarik diri dari kehidupan sosial dan menjadi gaya hidup bagi sebagian besar penduduknya, disebut dengan hikikomori.
Psikiater asal Jepang Tamaki Saito mendefinisikan hikikomori adalah kondisi mengasingkan diri tanpa mengikuti kegiatan-kegiatan sosial di lingkungannya selama lebih dari enam bulan. Pada keadaan ini mereka tidak bersekolah, tidak bekerja dan tidak melakukan interaksi dengan orang lain, bahkan yang lebih ekstrim menghindari kontak sosial dengan anggota keluarganya sama sekali.
Pada tahun 2021 Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga melaporkan lebih dari 1 juta penduduknya mengalami masalah hikikomori yang sangat serius, mayoritas berasal dari kaum pria mulai usia remaja hingga dewasa. Penyebab mereka menganut gaya hidup hikikomori berasal dari tekanan lingkungan sekitarnya. Ketidakmampuan mereka dalam mengatasi rasa gagal dan depresinya dengan baik memilih mengisolasi diri dari lingkungan sekitarnya dengan bersembunyi dalam ruangan pribadinya.
BACA JUGA: Masalah Stunting dan Hal-hal yang Perlu dipahami Masyarakat
Orang yang biasanya didiagnosa hikikomori ini menghentikan segala aktivitasnya di luar dan hanya mengurung diri dalam kamar. Sebagian besar aktivitasnya seperti tidur, makan, menonton, membaca, scroll media sosial, main game dilakukan di dalam kamar hampir setiap hari. Adapun untuk kebutuhan sehari-hari kebanyakan dari mereka masih menggantungkan diri pada orang tuanya.
Pengasingan diri yang terjadi di Jepang ini bukan serta merta seseorang ingin menarik diri dari lingkungan sosialnya dengan sendirinya. Melainkan karena beberapa faktor yang terjadi dalam kehidupan sehari-harinya seperti masa kecil yang tidak menyenangkan atau adanya trauma keluarga dan sosial.
Penyebabnya seperti lingkungan sekolah, sistem pendidikan di Jepang sangat kompetitif sehingga menimbulkan banyak tekanan pada siswanya agar mampu bersaing mendapatkan nilai favorit. Ditambah dengan harapan orang tua yang tinggi terhadap seorang anak untuk memasuki universitas dengan standar yang tinggi kadang menjadi beban bagi beberapa siswa.
BACA JUGA: Dunia Kerja Startup itu Seru Sekaligus Menegangkan, Gen Z Perlu Baca ini!
Dengan adanya tekanan pendidikan yang terlalu berat untuk beberapa individu usia dini, serta prestasi yang kurang memuaskan juga menjadi beban hingga mengakibatkan depresi, yang pada akhirnya membuat anak tersebut stress, memutuskan berhenti dari sekolah dan menjadi hikikomori. Ketika seseorang gagal, dia akan merasa kacau dan kecewa sehingga seringkali memutuskan untuk menutup diri dari kehidupan sosialnya.
Faktor keluarga juga sangat berpengaruh, kasih sayang dari orang tua yang terlalu berlebihan kepada sang anak dapat turut mendukung perkembangan hikikomori di Jepang. Seperti orang tua yang terlalu sering memanjakan dengan memberikan fasilitas dari dalam rumah agar anak betah berada di rumah, sehingga sang anak enggan untuk meninggalkan rumah karena terlalu nyaman berada dalam zona nyaman.
Namun demikian, rasa cinta dan kasih sayang seperti itu dapat menimbulkan sifat ketergantungan anak pada orang tuanya sehingga tumbuh dengan manja dan tidak tangguh. Ini menyebabkan sang anak tidak inisiatif untuk maju dengan usahanya sendiri. Hubungan orang tua dengan anak yang terlalu erat seperti ini dapat menyebabkan seorang anak lebih memilih tetap bersama keluarganya di dalam rumah dibandingkan mengikuti kegiatan sosial di luar rumah. Dan jika terus menerus dibiarkan mengakibatkan sang anak terbiasa dengan kehidupannya sendiri dalam kamar sehingga tidak memiliki kemampuan berkomunikasi dengan dunia luar secara langsung.
BACA JUGA: 4 Hal yang Paling Menyebalkan Saat Berselancar di Twitter
Penyebab lainya seseorang memutuskan hubungan komunikasi adalah lingkungan sosialnya, seperti pembulian, hubungan teman sebaya yang bermasalah, budaya malu dari rasa ketidakmampuan karena prestasi yang buruk bisa menjadi faktor keterasingan sosial. Hal ini membuat mereka memilih untuk memisahkan diri masyarakat merasa tidak seharusnya berada dalam kondisi sosial mana pun.
Ada juga gagasan lainya yang mengatakan bahwa adanya perkembangan teknologi dalam menyediakan fasilitas internet seperti hiburan, video game, dan media sosial memicu gaya hidup hikikomori karena banyak orang yang tidak perlu keluar rumah untuk memenuhi segala kebutuhanya. Semuanya dapat dengan mudah dikerjakan dengan munculnya smartphone sebagai pendukung layanan pemenuhan kebutuhan individu yang menjadi penyebab kurangnya interaksi sosial secara langsung
Efek jangka panjang dari hikikomori ini munculnya fenomena 80:50 dimana orang tua yang sudah berusia 80-an masih menanggung segala kebutuhan sang anak yang sudah berusia 50 karena mayoritas dari pelaku kasus hikikomori ini berasal dari mereka yang belum menikah sejak remaja sampai dewasa.
Semakin lama waktu yang mereka habiskan untuk mengisolasi diri dari masyarakat semakin mereka tidak percaya diri untuk kembali dalam lingkungan sosialnya. Hal pertama untuk meninggalkan rumah menjadi sesuatu yang menakutkan karena adanya ketakutan sosial yang mendalam.