
Tamam sudah dengar pendapat di kantor Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Pekalongan. Sebentar lewat saya digiring seorang jurnalis senior, mas Kuswandi, duduk-duduk di halaman kantor Dinkominfo, di bawah pohon ketapang. Orang yang kini menduduki posisi ketua Persatuan Wartawan Indonesia Kota Pekalongan ini sejenang mengajak saya ngobrol.
Bungkus merah dengan merk rokok terkenal asal Kudus keluar dari saku. Begitu pula mas Kuswandi. Dari saku celana, ia keluarkan bungkus merah yang sama. Pikir saya kala itu, bakal terjadi obrolan yang cukup memakan waktu. Tetapi, tak masalah. Sepanjang itu berguna.
Sambil mendekatkan ujung rokok pada lidah api yang menjembul dari korek gas, mas Kuswandi memulai pembicaraan. Ia mulai dari rasa gelisah yang dialaminya sebagai seorang jurnalis. Katanya, belakangan ia resah oleh bangunan imajinasi kota. Sampai kini, belum juga terupa jelas.
Padahal, bahan-bahan materialnya sudah tersedia. Subjeknya tidak kurang-kurang. Akan tetapi, rancangan imajinasi itu belum juga terlihat. Mengapa?
Menyimak tuturan mas Kuswandi, saya tergugah. Kegelisahannya tentang imajinasi kota menarik untuk diikuti. Saya pun tak langsung menanggapi. Saya memberi kesempatan kepada mas Kuswandi untuk menumpahkan segala kegelisahan itu.
Diuraikannya satu per satu permasalahan yang telah ia geluti. Tentu, berdasarkan pengalamannya sebagai seorang jurnalis. Menurutnya, penyebab yang paling besar pengaruhnya bagi ketidakjelasan bangunan imajinasi itu adalah sikap gamang dan sungkan yang berlebihan. Sikap gamang muncul dari perilaku aristokratis. Sedang, sungkan muncul karena apatisme yang berbalut kepasrahan yang kurang mendasar.
Sampai di situ saya masih berusaha untuk menahan diri. Tidak memberi garis bawah, juga tak menebalkan istilah-istilah. Saya ikuti saja dulu arah pembicaraan mas Kuswandi.
Sikap aristokratis dan apatisme itu, catat mas Kuswandi, memberi celah bagi sikap individualistik. Orang ataupun kelompok orang memilih sibuk dengan diri sendiri. Masing-masing sibuk dengan imajinasi individual atau kelompok. Mereka menggambar peta imajiner dengan daya jangkau yang sendat. Yang terkadang, mereka sendiri merasa tak yakin pada peta imajiner rancangan mereka. Bahkan, tidak jarang peta itu berubah-ubah bentuknya.
Tetapi anehnya, tegas mas Kuswandi, masing-masing memegang peta jalan. Tentu, rupa peta jalan itu juga berbeda-beda satu sama lain. Begitu pula tujuan peta jalan itu. Berbeda-beda.
Jika peta-peta itu dibaca, di antara yang beragam itu sesungguhnya saling beririsan. Punya garis singgung yang dapat ditarik sebagai benang merah. Sayang, sedikit yang menyadari. Bahkan, semakin langka.
Setelah menyampaikan itu, mas Kuswandi sengaja menjeda pembicaraan. Memberi ruang agar saya ikut mengisi obrolan. Hati-hati saya memulai.
Saya katakan pada mas Kuswandi, bahwa apa yang digelisahkan cukup lama dirasakan oleh sebagian orang. Semacam penyakit, situasi itu nyaris akut. Akan tetapi, bukan berarti tak ada usaha penyembuhan. Hanya, segala jenis penyembuhan boleh dibilang tak mempan.
Rangkaian peristiwa lalu cukuplah menjadi pelajaran. Bahwa, setiap permasalahan tak sampai tuntas penyelesaiannya. Hanya diredam. Kemudian, diuapkan. Lalu, seolah lenyap tanpa jejak.
Orang-orang seperti kena ajian sirep. Saat tidur, mereka dibuai mimpi-mimpi. Begitu bangun, mereka lupa yang sebelumnya terjadi. Selalu demikian.
Sementara, yang mestinya terjaga turut larut dan susut nyali. Dihantui pasungan-pasungan yang tak kasat mata. Lalu, dipaksa mencumbui kenyamanan dengan hak istimewa yang mereka peroleh entah dari siapa.
Bagi saya, ini seperti panggung drama yang tak pernah mencapai klimaks. Sebab, tokoh-tokoh dalam drama ini kehilangan peran. Lupa bahwa setiap peran—antagonis, protagonis, maupun tritagonis—memiliki fungsi yang sama penting sebagai pembangun wacana. Juga, mendayakan imajinasi.
Mas Kuswandi yang alumni teater Zenith pun menimpal. Ia mengakui, bahwa kesadaran peran saat ini semakin melemah. Orang hanya berebut peran protagonis. Apa pun caranya.
Tetapi, rebutan peran protagonis itu justru berujung pada jalan buntu. Tata panggung kehilangan estetikanya. Pun pada alur pengisahan. Runyam.
Irama musik dan suara-suara yang membangun suasana dimainkan dalam ritme yang konstan. Membuahkan kelesuan dalam penikmatan. Membosankan. Anehnya, keluh mas Kuswandi, kebosanan itu yang kemudian dinikmati sebagai kenyamanan.
Lontaran itu membuat saya berpikir sejenak. Mungkinkah sekarang kota ini telah merupa sebuah sirkuit mesin, dihuni oleh mesin-mesin pula? Jika demikian keadaannya, bagaimana sesungguhnya para penghuni dididik, sampai-sampai mereka gagap bersikap atas segala gejala yang timbul ke permukaan?
Mas Kuswandi tak memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Ia masih saja menekuni kegelisahannya. Lalu, berupaya mengajukan sebuah rancangan sebagai formula untuk mengatasi kebosanan itu. Saya menyimak dengan saksama.