
Pada tahun 2022, PISA melaporkan, skor literasi membaca Indonesia hanya mampu bertengger di angka 359. Skor ini lebih rendah dari tahun 2018 yang mampu mencapai 371 poin. Malah, masih dinilai rendah juga jika dibandingkan dengan skor tahun 2000. Dengan kata lain, skor literasi tahun 2022 merupakan rekor terendah sejak awal berpartisipasi dalam PISA.
Sayang, informasi ini agaknya kalah heboh dibandingkan dengan info-info viral di media sosial. Sebut saja misal kasus “Es Teh” yang memanen banyak komentar dari warga dunia maya. Ramai-ramai orang bereaksi atas kasus itu. Beragam umpatan bermunculan. Beragam konten parodi juga tak ketinggalan. Sampai-sampai banyak orang kaya yang kemudian menunjukkan rasa kepeduliannya. Tapi, apakah orang-orang kaya ini cukup peduli dengan isu rendahnya literasi negeri ini?
Padahal, literasi menjadi bagian penting dalam pendidikan. Eit! Nggak cuma pendidikan formal loh ya, literasi juga sangat dibutuhkan pendidikan dalam makna yang lebih luas. Termasuk, membangun kesadaran di dalam menjalani kehidupan.
Tapi, apa sih literasi? Kok bisa sepenting itu? Secara sederhana, literasi itu punya kaitan dengan banyak aktivitas. Termasuk membaca, berdiskusi, maupun menulis yang dampaknya sampai pada cara berpkikir yang tepat dalam menyikapi setiap problematika kehidupan. Juga, bisa menumbuhkan kesadaran tiap orang untuk berkontribusi bagi upaya-upaya perubahan kebijakan pemangku kekuasaan di daerah maupun pusat menuju yang lebih baik, lebih maju, lebih keren. Gitu.
Cuman memang sih, kudu diakui, hasil penelitian PISA tahun 2022 agaknya nggak meleset-meleset amat. Faktanya, untuk menumbuhkan budaya literasi di lingkungan kampus yang notabene dihuni kaum terdidik alias kaum intelek saja nggak semudah menerbangkan bulu ayam di tangan. Tinggal disebul, terbang deh!
Seperti yang pernah saya lihat dan dengar sendiri di kampus. Yang namanya mahasiswa mestinya kan sudah tuntas tuh soal membaca dan berdiskusi. Apalagi di perkuliahan biasanya ada tugas bikin makalah dan mempresentasikannya di depan kelas. Artinya, mahasiswa dianggap sudah mampu memahami isi bacaan. Makanya, dosen-dosen menugasi mereka buat makalah dan mempresentasikannya sekaligus.
Nyatanya, jauh dari ekspektasi! Makalah yang dibikin kebanyakan hasil comot dari beberapa artikel yang di-googling. Ya macam bikin puzzle yang bentuknya makin absurd. Makalahnya kerap awut-awutan alias asal jadi.
Memang sih, diakui atau tidak, kegemaran membaca itu tidak semua orang punya. Akan tetapi, kalau sudah urusannya dengan dunia pendidikan ya mestinya tahu dong konsekuensi logisnya. Bahwa, membaca adalah kebutuhan. Sayangnya, tidak semua mahasiswa mau memahami dan dapat melaksanakan konsekuensi itu. Malahan, mereka mengira jadi mahasiswa itu bak artis-artis di FTV atawa ala-ala drakor gitu. Yang penting bergaya. Urusan asupan otak tak begitu dihiraukan. Dengan kata lain, mahasiswa adalah soal gaya hidup bukan sebuah proses untuk menemukan cara hidup.
Kalau sudah begini, sepertinya pemerintah maupun pihak-pihak terkait perlu menyalakan red alert. Lalu, dengan lantang menyuarakan, bahwa negeri ini sedang darurat literasi! Atau kalau mau lebih galak lagi literasi sedang mengalami kanker stadium enam. Lah nggak darurat gimana coba, wong saat membaca dan memahami sebuah penugasan yang dikirim melalui WhatsApp Group saja masih kerap ditemukan mahasiswa yang gagal paham.
Akibatnya, terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Parahnya, ada saja oknum mahasiswa yang justru menyalahkan dosen. Biasanya, mahasiswa yang begini ini suka memrovokasi teman-temannya supaya menganggap pandangannya benar. Uniknya lagi, ada juga mahasiswa yang ikut mengamini pandangan si mahasiswa provokator ini. Padahal, misinya hanya agar ia terbebas dari penugasan. Hmm… beneran bikin geleng kepala.
Kasus kecil itu menunjukkan, betapa literasi sangat diperlukan. Implikasinya pun cukup besar. Salah satunya, meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah (problem solving). Melalui literasi, seorang individu akan terlatih memahami konteks permasalahan, menemukan solusi, serta menganalisa dampak dari solusi yang dipilih.
Lain itu, minimnya literasi mahasiswa juga tampak saat presentasi di kelas. Idealnya, diskusi yang dilangsungkan dalam sesi presentasi itu menjadi ajang tukar pikir dengan referensi yang telah dibaca. Sayangnya, baik pemantik diskusi maupun penanggap cenderung sama-sama nggak paham dan nggak nyambung. Walhasil, catatan diskusi pun malah tidak sesuai ekspektasi.
Tak hanya itu, perilaku mahasiswa saat diskusi pun tampak kurang mampu menghormati dan menghargai waktu belajar. Kebanyakan dari mereka menundukkan kepala. Bukan untuk berdoa atau membaca buku atau makalah yang dipresentasikan. Akan tetapi, mereka lebih sibuk dengan layar plasma yang menyala-nyala. Miris!
Lalu, mengapa bisa begitu? Salah satu faktornya, kebanyakan dari masyarakat negeri ini latah. Teknologi komunikasi yang memudahkan mereka dalam mengakses segala hal justru dimanfaatkan secara menyimpang. Alih-alih menjadikannya sebagai salah satu rujukan dalam menulis, kebanyakan mahasiswa malah bablas menggunakannya untuk keperluan lain. Kebanyakan, mereka menggunakan gawai mereka sebagai sumber utama sekaligus joki. Banyak dari mahasiswa menggantungkan nasib makalah mereka pada mesin kecerdasan buatan, Artificial Inteliligent (AI).
Diakui sih, AI cukup membantu dalam menyelesaikan tugas perkuliahan. AI bisa membantu meringkaskan artikel dalam waktu singkat. Bisa juga disuruh menyusun makalah sekaligus. Asal piawai dalam menyusun kata kunci, sudah deh makalah bisa selesai dalam sekedip mata. Namun, tanpa sadar, sesungguhnya kemudahan itu membuat mahasiswa terbelenggu. Mereka terperosok pada budaya serba instan dan tidak pernah menggunakan pikiran mereka sebagai anugerah yang diberikan Tuhan kepada setiap insan.
Kontan, mahasiswa semakin kehilangan jati diri. Makalah dikerjakan sebatas untuk memenuhi tugas kuliah. Bukan sebagai salah satu cara mereka untuk belajar mendayagunakan kecerdasan mereka. Akibatnya, mahasiswa tak memiliki pemahaman yang tepat atas apa yang ia kerjakan. Saat presentasi, mereka hanya bisa membacakan makalah tanpa mengerti apa maksudnya.
Begitu juga saat sesi diskusi dilangsungkan. Lebih banyak heningnya. Kelas serasa seperti rumah kosong yang dihuni kuntilanak atau hantu pocong, sesekali muncul suster ngesot juga. Sepi pi!
Dalam pikiran mahasiswa hanya ada pertanyaan tentang kapan jam kuliah akan selesai. Sambil nunggu pergantian jam kuliah, untuk membuang rasa bosan, sebagian mahasiswa sibuk nyekrol status-status media sosial. Atau, membuat konten. Ada juga yang membuka online store untuk berbelanja atau ngecek barang jualannya laku berapa. Ah, rasanya kuliah kok seperti kerjaan sampingan yang nggak penting banget.
Kalau begini, apa gunanya kuliah? Apakah hanya membuang waktu percuma? Atau sekadar pansos supaya nggak dibilang nganggur di rumah? Atau, hanya untuk alasan biar bisa keluar rumah dan dapat uang saku? Ah, betapa culasnya kalau alasan kuliah hanya buat gituan. Betapa sia-sia pula.
Meski begitu, sesekali ada pula mahasiswa yang menunjukkan jari dan mengajukan pertanyaan yang bagus. Sesuai materi dan kritis. Sayang, bencana lagi-lagi muncul. Bagai banjir bah yang ujug-ujug menerjang jalanan desa, si pemateri gelagapan nggak bisa memahami pertanyaan. Apalagi memberikan menjawab yang tepat.
Glodak! Terasa ledakan tiba-tiba menggelegar. Duerrr! Lalu, disambut bengong. Pemateri hanya bisa tengak-tengok dan bolak-balik halaman makalahnya tanpa bisa menemukan bagian yang tepat untuk dijadikan sebagai jawaban. Suasana kelas jadi serba krik-krik. Parahnya, saat memberi jawaban, malah nggak relevan babarblas! Makin kecewa berat deh penonton. Entah, mau sampai kapan suasana kampus terus-terusan begini. Oh, darurat literasi! Kuliah kok gini-gini aja!?