KOTOMONO.CO – Taaruf bukan ajang pamer romantisme berbalut agama saja.
Sebagai pribadi yang tumbuh di lingkungan yang nggak begitu islami, saya memahami istilah ta’aruf sebatas perkenalan dua pribadi dan dua keluarga yang akan melangsungkan pernikahan tanpa proses bernama pacaran. Konon, sebagian orang meyakini, pacaran itu dapat mendekatkan diri pada zina.
Mediator ta’aruf pun macam-macam. Ada yang lewat murabbi atau guru ngaji calon pengantinnya. Ada yang lewat keluarga atau saudara. Pun ada yang lewat teman yang bisa dipercaya.
Tapi, setelah mengamati postingan di beberapa grup ta’aruf yang berseliweran di Facebook, rupanya ada kecenderungan baru. Proses ta’aruf dilangsungkan secara lebih sederhana. Lebih mudah dan bahkan super kilat. Cukup dengan membuat postingan siap menikah. Terus diikuti biodata dan kriteria calon yang diidamkan. Tentu, mereka yang merasa sejalur, akan segera saling menyambut.
Meski begitu, ada juga beberapa grup proses ta’aruf-nya bersifat tertutup. Kudu melewati admin grup. Admin grup ini punya dua fungsi. Pertama, sebagai pengendali lalu-lintas grup. Kedua, dia juga berperan sebagai mediator ta’aruf. Biasanya, ini berlaku pada grup yang ketat. Tetapi, ada juga sih yang nggak ketat-ketat amat. Artinya, peran admin ya sebatas menjadi sarana penyedia layanan saja. Cuma jadi pembuat grup dan pengatur lalu-lintas postingan di grup. Sementara keputusan dua pihak yang mau ta’aruf-an diserahkan ke masing-masing pihak.
Fenomena ta’aruf, kemudian makin menemukan popularitasnya ketika para pesohor negeri ini berduyun-duyun ikut melakukannya. Ada yang berhasil. Ada juga yang gagal. Nah, kegagalan sebagian pesohor ini yang kemudian jadi sorotan publik. Maklum, yang namanya pesohor memang nggak bakalan bisa menghindari sorotan kamera. Kemana-mana selalu saja ada lensa yang nyorot ke arahnya. So, kabar tentang kegagalan sebagian pesohor ini pun ramai digunjingkan. Dari mulai pergunjingan kaum sosialita sampai pergunjingan lapak pasar, semua menyoal kegagalan pesohor ini.
Terus, apa efeknya? Rupanya efeknya lumayan ngeri. Kegagalan sebagian pesohor dalam dunia per-ta’aruf-an ini membikin kesan seolah-olah ta’aruf cuma istilah doang. Kata ta’aruf seolah kehilangan makna sakralnya.
Ambil contoh, kejadian yang menimpa Rizki 2R dan Nadya Mustika Rahayu. Dulu, sebelum duduk di atas pelaminan, keduanya melalui proses ta’aruf. Tapi, belum genap setahun usia pernikahan mereka, eh rupanya rumah tangga mereka retak. Jadilah kabar kurang sedap itu bocor kemana-mana.
Retaknya rumah tangga mereka bikin publik punya penilaian lain. Nggak cuma pada kedua mempelai, tetapi juga terhadap makna ta’aruf. Seolah-olah kata ta’aruf sekadar dijadikan gimik.
Nggak cuma mereka. Kasus-kasus serupa juga menimpa pada Risty Tagor dengan Stuart Collin, Salmafina dengan Taqy Malik. Kasus-kasus perceraian mereka yang dipampang di media-media gosip bahkan menimbulkan kesan yang makin bermacam-macam. Apalagi saat mereka mengajukan gugatan cerai, kedua pihak tak jarang saling bongkar-bongkar aib pasangan mereka. Bikin risih. Geli dan gatal juga telinga mendengar ujaran-ujaran mereka yang saling serang itu.
Jadi, wajar jika kemudian ada yang bertanya, sebenarnya mereka ta’aruf beneran nggak sih? Terus kalau mereka beneran ta’aruf kenapa kok sampai gitu? Dari situ, mulailah sebagian orang membandingkan dengan yang berpacaran. Alih-alih membela yang berpacaran, mereka memandang ta’aruf tak jauh beda dengan pacaran. Makin runyamlah pemaknaan kata ta’aruf.
Tapi tunggu dulu. Jangan buru-buru ambil simpulan. Bagaimanapun makna ta’aruf itu sebenarnya sakral lho. Nggak bisa dijadiin mainan. Apalagi sekadar gimik. Tujuan ta’aruf dalam Islam, pada dasarnya, untuk saling mendudukkan dua pihak dalam posisi yang terhormat. Nggak cuma untuk saling mengenal. Sebab, caranya pun cara yang halal. Menjunjung tinggi adab. Nggak cuma kirim atawa posting curriculum vitae kayak bikin surat lamaran kerja. Hal terpenting dalam ta’aruf ini adalah kesediaan bersikap jujur dan saling menerima kekurangan satu sama lain. Tanpa sikap yang begitu, bagaimana mungkin mereka akan bisa merancang masa depan dan menyelaraskan misi mereka dalam membina rumah tangga.
Lalu, jika ada pasangan yang gagal, maka perlu flashback ke proses ta’aruf yang mereka jalani. Introspeksi lebih ditekankan. Bukannya saling melempar tudingan salah, apalagi saling buka-bukaan aib pasangan. Sebab, bagaimanapun, manusia tidak lepas dari kesalahan dan dosa.
So, kalau memang mau ta’aruf kudu bener-bener siapin hati dan segalanya. Bukan cuma ikutan yang lagi trend. Apalagi sekadar jadi penghamba slogan-slogan. Iya sih, bahasa slogan memang kesannya bagus-bagus. Kadang ada yang kesannya istimewa banget. Namanya juga slogan, pastilah dibikin untuk tujuan yang baik. Tetapi, tidak semua orang bisa melaksanakan slogan itu.
Penting bagi kita sekarang adalah bagaimana kita bisa bersikap bijak. Menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempat yang semestinya. Indonesia Tanpa Pacaran boleh-boleh saja. Tapi jangan sampai memandang rendah mereka yang pacaran. Pacaran setelah menikah memang asyik. Tapi, tak perlu memandang teman kita yang bermasalah dalam rumah tangga sebagai orang yang bodoh karena dianggap salah jalan. Urusan rumah tangga itu kompleks, gaes. Nggak cuma bagaimana bisa hidup bahagia berdua. Tetapi juga bagaimana kebahagiaan pasangan itu dapat membawa orang-orang di sekitar juga merasakan kebahagiaan yang sama.