KOTOMONO.CO – Anggota DPRD Kota Pekalongan yang terseret penggelapan dana nasabah yang dilantik ini semestinya menjadi momentum yang pas.
Hidup di dunia ini, kita tidak akan mungkin bisa menghindari kejahatan. Orang jahat, sebagaimana orang baik, perlu ada. Tanpa kejahatan tidak akan ada kebaikan. Tanpa orang jahat, mustahil ada orang baik.
Maka, selain memberi ruang seluas-luasnya bagi orang baik, ruang untuk orang jahat adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, saya, anda, dan mungkin jutaan orang lain yang tidak membaca tulisan ini, tidak akan bisa menghentikan keniscayaan itu.
Berangkat dari sana, saya tidak terkejut mendengar salah satu anggota BMT yang diduga sedang terseret kasus penggelapan dana nasabah dilantik sebagai anggota DPRD Kota Pekalongan.
Pelantikan Anggota DPRD Kota Pekalongan
14 Agustus 2024, saat anak-anak sekolah bergembira dengan kegiatan Pramuka, di gedung DPRD Kota Pekalongan, sekitar 35 anggota legislatif terpilih juga turut berbahagia. Setelah melewati masa kampanye dan medan pertempuran politik yang tidak mudah, para wakil rakyat ini dilantik.
Dari 35 anggota legislatif yang dilantik, satu nama menerbitkan polemik. Dia adalah Eko Lusjianto, anggota legislatif terpilih dari Petiga. Eko Lusjianto ini adalah salah satu pengurus BMT yang diduga terlibat dalam kasus penggelapan dana nasabah.
Saya pakai asas praduga tak bermasalah. Harap maklum, ya. Karena lebih mudah memperkarakan tulisan daripada penggelapan dana di negara hukum.
Eko Lusjianto dilantik walaupun ia sedang dituntut atas penggelapan dana nasabah BMT yang sampai sekarang belum kelar. Para nasabah yang menjadi korban bahkan telah mendesak agar Eko tidak dilantik. Kabar pelantikan itu dibagikan salah satunya oleh akun berpengikut setengah juta lebih di Pekalongan Raya, @pekalonganinfo.
View this post on Instagram
Banyak warganet sinis atas kejadian itu. Bisa-bisanya orang yang menggelapkan dana dilantik jadi wakil rakyat?!?!
Kemarahan semacam itu tak bisa dibendung. Namun, balik lagi, anda harus mengerti bahwa betapapun jahatnya orang, kita tidak bisa dengan begitu saja membatasi ruang geraknya. Kebetulan di negara ini, para bajingan punya ruang yang lebih leluasa.
Berhak Dilantik, dong, Ya Nggak, Sih?
Pelantikan itu menunjukkan bahwa orang yang masih bermasalah dan menyengsarakan rakyat pun berhak mewakili rakyat. Toh, beliau ini kan dipilih sendiri oleh rakyat Kota Pekalongan. Mengutip situs resmi Pemkot Pekalongan, nama Eko Lusjianto masuk daftar 35 Calon Terpilih Anggota DPRD Kota Pekalongan periode 2024-2029 KPU Kota Pekalongan. Masa sudah terpilih tidak dilantik? Lha nanti pemilihnya pada protes, dong?
Nih, jagoan saya terpilih kok malah nggak dilantik? Hayoloh…..
Rasanya tidak adil dan sangat jauh dari nilai-nilai demokrasi apabila wakil rakyat terpilih tidak dilantik. Bisa celaka Kota Pekalongan. Anda mau Kota Pekalongan kacau hanya karena ada satu wakil rakyat tidak dilantik?
Urusannya bisa berabe. Karena tidak cuma wakil rakyatnya yang besengut. Para timses, pecut, pendukung, semuanya bakal marah-marah. Bisa-bisa Kota Pekalongan disebut tidak demokratis nanti—meski Kota Pekalongan sudah mirip-mirip kerajaan.
Ternyata Ada Celah Ngakali Seleksi Calon Wakil Rakyat
Sebentar, pasti ada yang protes. Lho, berarti seleksi wakil rakyatnya nggak becus, dong?
Nah, itu yang mau saya bilang. Justru wakil rakyat yang masih terseret kasus penggelapan dana nasabah wajib dilantik. Mengapa? Karena dengan dilantiknya orang itu, kita semua jadi tahu, paham, dan mengerti, bahwa ada celah yang bisa dimanfaatkan dalam seleksi dan verifikasi calon wakil rakyat.
Coba bayangkan orang itu tidak dilantik. Kita mau tahu hal borok semacam ini dari mana? Andai calon wakil rakyat yang terseret penggelapan dana nasabah BMT itu tidak dilantik, kita kan jadi berpikir kalau demokrasi di Kota Pekalongan itu sehat.
Ha bisa gawat kalau begitu. Media-media lokal seperti @pekalonganinfo, Radar Pekalongan, Suara Merdeka, sampai Kotomono bisa kehabisan bahan untuk mengkritisi kebijakan di Kota Pekalongan.
Media-media lokal di Kota Pekalongan ini memang harus dicekoki keburukan semacam itu. Karena selama ini, yang diberitakan media-media Pekalongan, Pemkot dan DPRD itu isinya orang-orang baik dan berbudi luhur semua. Dengan adanya anggota legislatif Kota Pekalongan yang terseret kasus, sedikit banyak memperlihatkan bahwa tidak semua anggota legislatif itu dapat dipercaya.
Ini juga sekaligus bisa menjadi pembelajaran. Ah, saya jadi ingat ungkapan populer dari Kepulauan Cocos, bahwa kesalahan bisa membuatmu belajar, sedangkan kebenaran akan membuatmu sombong sehingga malas belajar.
Dengan dilantiknya orang bermasalah sebagai anggota dewan legislatif Kota Pekalongan, ini menyadarkan kita agar pada suatu hari nanti, tidak lagi gampang tergiur dengan iming-iming uang saat Pemilu. Karena kita tak tahu uangnya didapat dari mana. Politik uang saja sudah sebegitu bajingan, bagaimana jika uang yang dipakai untuk politik uang itu berasal dari merebut milik orang lain?
Bajingan kuadrat!
Bukan Barang Baru
Lagipun, kita sebenarnya tidak perlu terheran-heran dengan hal ini. Di Bandung saja tiga tersangka KPK bisa dilantik jadi anggota DPRD. Tidak aneh kalau Pekalongan lalu menirunya. Hah!? Pekalongan kota yang agamis dan memegang nilai-nilai keagamaan? Ah, itu kan urusannya sama perbedaan agama, aliran, dan kepercayaan. Kalau ada hal-hal yang berbau intoleransi, anti-NKRI, bibit-bibit komunis, radikal-radikul, itu baru dipakai.
Nilai-nilai keagamaan tentu cukup disampaikan saat pengajian dan safari subuh saja. Sama anu, untuk terus menjelekkan perempuan dan istri-istri yang dianggap tak solehah hanya karena tak nurut suami. Soal-soal politik beginian tidak usah pakai nilai-nilai relijies segala. Bukan begitu, akhi?
Toh, di Indonesia ini, hal yang kelihatan merusak demokrasi justru malah berlaku sebaliknya. Lihat saja, KPK bahkan pernah menggandeng mantan koruptor sebagai agen antikorupsi. MK, lembaga sakral yang jadi ujung tombak demokrasi, bahkan bisa digoyang oleh seorang mahasiswa. Seorang mahasiswa, bro!!!
Dilantiknya orang yang sedang terseret kasus menjadi anggota legislatif Kota Pekalongan, ini harusnya bisa menjadi momentum yang pas. Ketika orang-orang jahat sudah mulai bergerak lebih lincah dari seekor bajing, di sinilah orang-orang baik perlu tampil. Orang-orang baik, soleh, dan tabungan pahalanya sudah melebihi cicilannya, mesti mulai ambil bagian di pemerintahan.
Ah, tapi saya tidak terlalu yakin mereka akan melakukannya. Orang baik lebih banyak disibukkan bayar cicilan daripada masuk pemerintahan. Sementara orang soleh, lebih banyak memilih tidak masuk ke pemerintahan, namun berada di luar.
Mereka mendukung calon tertentu dengan memujinya setinggi langit di hadapan ribuan jamaah. Meski calonnya itu cacat moral, cacat etik, dan cacat hukum. Demi apa? Tentu agar nanti kalau terpilih, bisa kebagian potongan kue.
Paragraf terakhir itu saya tidak membicarakan Kota Pekalongan, melainkan Nukulaelae, sebuah kota di Tuvalu. Sampai saat ini, saya masih yakin, orang-orang soleh di Kota Pekalongan tidak seperti yang saya tulis.