Suara ketukan pada pintu rumah terdengar pelan. Dari balik jendela, kulihat seorang gadis berdiri di teras. Sesekali menengok kanan-kiri. Kubukakan pintu untuknya. Rupanya, perempuan bergaun cokelat muda dengan setelan kerudungnya itu adalah muridku. Dulu, waktu kuajar, dia adalah murid yang paling kepo-an. Suka nanya apa saja. Sampai-sampai, kalau tak tuntas, ia sempatkan diri mampir ke rumah. Berdiskusi panjang. Menanyakan hal yang sama. Melanjutkan obrolan yang belum selesai. Kadang, aku kewalahan menghadapi pertanyaannya yang tak terprediksi. Dia benar-benar membuatku kelimpungan.
Duduklah kami di ruang tamu. Ia memilih duduk di lantai. Tidak di kursi. Padahal, kursi di ruang tamu lumayan empuk. Entah, katanya sih lebih nyaman duduk di lantai. Aku pun begitu. Aku sebenarnya lebih suka duduk di lantai. Adem dan bisa selonjoran. Duduklah aku di lantai. Bukan karena tak enak sama muridku yang satu ini. Tetapi, supaya bisa selonjoran.
Dari dalam, istriku menyambutnya. Lantas, diberinya istriku itu bungkusan plastik. Isinya, rahasia. Nggak bakalan aku sebutin di sini. Yang jelas, maksud kedatangannya itu untuk membawakan pesananku. Bibit tanaman saga. Tapi rupanya nggak cuma bibitnya. Ia bawakan juga beberapa butir biji saga dan piahong. Wah, sungguh di luar dugaan.
Aku senang menerima itu. Apalagi aku memang suka menanam. Apa saja yang kutemukan, kutatam di halaman rumah. Tak ada lahan luas memang, tapi aku manfaatin pot atau pun barang-barang rumah tangga yang bisa kugunakan untuk menanam.
Ya, dari menanam, aku banyak belajar. Rupanya, menanam itu menyenangkan dan menyehatkan. Menyenangkan karena merasa terhibur dengan tingkah polah tanaman. Ada yang “merepotkan”, ada pula yang bisa tumbuh tanpa pemeliharaan khusus. Menyehatkan karena ketika menyaksikan mereka tiap pagi, membawaku pada kesegaran. Sangat membahagiakan.
Tetapi, sore tadi, aku sempat prihatin. Kulihat salah satu tanaman di pinggir jalan, di luar pagar rumah, tampak loyo. Kehilangan daya dan hampir mati. Segera kuambil pot dari toples, lalu kupungut tanaman itu dan kutanam di dalam pot seadanya itu. Kuberi ia pupuk dan air secukupnya. Harapanku, ia segera pulih dan segar kembali.
Malam ini, ketika aku menikmati kopi di teras rumah, kulihat tanaman yang hampir mati itu tampak segar kembali. Ah, lega rasanya. Kecemasanku tersembuhkan sudah. Pagi nanti, akan aku periksa lagi. Apakah ia masih segar atau bertambah bugar?
Sekarang, kembali ke tamuku pagi itu. Muridku.
Di ruang tamu itu, obrolan hangat tersaji. Ditemani dua cangkir teh hangat dan cemilan yang ala kadarnya. Dia bercerita suka-duka jadi guru swasta. Juga suka-dukanya menjadi guru. Dikatakannya, banyak hal yang dulu dipelajari di kampus itu tak dipakai di sekolah. Misalnya saja, ilmu bahasa (linguistik) dan berbagai cabang ilmu bahasa.
Sangat berbeda sekali ketika ia mondok. Di sana, kata dia, ia diberi pelajaran tentang dasar-dasar ilmu bahasa Arab. Ada ilmu Nahwu, ada ilmu Sharaf, Balaghah, bahkan Mantiq. Wah, aku yang babarblas nggak pernah mondok agak clingukan mendengar istilah-istilah itu. Nggak ngerti.
Rupanya, dia tahu kalau aku bingung. Ia menjelaskan satu per satu. Baru aku paham. Oh… begitu.
Menyambung obrolan itu, aku lantas mengambil kesempatan untuk ngomong. Kukatakan saja padanya, ya itulah salah satu kelebihan pondok dan khususnya bahasa Arab. Bahasa Arab punya ilmu bahasa dan perangkat keilmuan bahasa sendiri. Beda sama bahasa Indonesia. Ilmu bahasanya, ilmu pinjaman alias memakai ilmunya orang sono. Teori-teorinya pakai teori mereka, mazhab Frankfrut, Praha, pokoknya yang serba ke-Barat-Barat-an.
Bisa jadi, tesisnya tidak klop dengan fakta di lapangan. Karena sudut pandang yang dipakai sudut pandang Barat. Walhasil, sangat mungkin, ketika mau diajarkan juga sulit. Lantas, apakah nggak ada konsep pemikiran tentang bahasa itu dari bangsa sendiri? Aku kok yakin ada. Cuman mungkin masih dalam penggalian yang lebih dalam. Belum tuntas diteliti, barangkali.
Ya, maklumlah. Usia bahasa Indonesia (bukan bahasa Melayu) itu kan masih sangat belia dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Jadi, wajar jika akhirnya “terpaksa” meminjam teori dari luar. Beda dengan bahasa Arab yang sudah sangat mapan. Teorinya bisa disusun sedemikian rupa. Begitu juga dengan bahasa yang juga kuno, Sanskerta. Punya aturan dan teori yang mapan juga. Sayang, bahasa yang satu ini hampir punah. Tetapi, pada dasarnya masih banyak kosakata yang bertahan dan digunakan sampai saat ini.
Dalam bahasa Jawa, banyak kosakata diambil dari bahasa kuno ini. Tetapi, ada yang unik dari bahasa kuno ini. Beberapa kosakata bahasa Sanskerta juga digunakan dalam bahasa Inggris, Latin, dan bahasa-bahasa lainnya. Mungkin karena saking tuanya, sehingga penyebarannya meluas.
Tapi ya itu tadi. Permasalahan pengajaran bahasa Indonesia memang kompleks. Kalau boleh saya mencurigai, kompleksitas permasalahan ini juga berakibat pada keterampilan orang-orang terdidik di dalam menggunakan bahasanya sendiri. Penguasaan kosakata sangat terbatas. Aku curiga, jangan-jangan pengajaran bahasa Indonesia belum menyentuh pada persoalan paling inti dari pengajaran bahasa, yaitu pengenalan kosakata. Seperti diakui murid saya yang satu ini, dulu waktu di pondok atau di madrasah, setiap hari ia harus menghafal sejumlah kosakata bahasa Arab, dan setiap hari pula jumlahnya selalu bertambah. Metodenya sederhana, dinadzamkan.
Jadi, tak heran jika kemudian ada seorang murid yang mengeluh kesulitan menulis. Alasannya, sulit menemukan kata-kata yang tepat. Sulit merangkai kata. Susah menemukan kata pertama di bagian awal tulisan. Dan seabrek alasan lainnya. Padahal, selalu digembar-gemborkan kepada mereka agar mencintai bahasa negaranya sendiri. Ternyata, untuk mencintai itu mereka malah merasa kesulitan menggunakan yang harus mereka cintai.
Jangan-jangan kita memang belum bisa memahami hakikat bahasa Indonesia. Sampai-sampai banyak yang merasa kesulitan menggunakannya?
Ah, aku jadi teringat pada tanaman-tanamanku. Beberapa tanaman sengaja aku tanam dengan cara melakukan eksperimen. Tanpa kucari sumber bacaan cara menanam tanaman itu, aku langsung saja menanamnya dengan berbagai cara. Soal mana yang akan tumbuh itu soal nanti. Begitu juga dengan pemupukannya. Aku bikin dengan caraku sendiri dengan menggunakan bahan yang ada di dapur dan sekitar rumah. Yang jelas, aku harus benar-benar cermat merawat tanaman-tanaman itu. Kucatat semua perkembangannya. Setidaknya, agar kudapat pengertian yang sesederhana mungkin terlebih dahulu.
Sekarang, biji-biji saga dan piahong itu kutanam sudah. Semoga saja tumbuh dan dapat kurawat dengan baik. Apalagi tanaman saga. Ia adalah inspirasiku saat mendirikan Omah Sinau SOGAN.
Eh, lupa. Terima kasih aku ucapkan kepada murid kesayanganku yang satu ini. Sudi membagikan biji-biji saga dan piahong. Dan kuucapkan pula, selamat belajar bahasa lagi ya?!