KOTOMONO.CO – Dua hari penuh saya diberi waktu untuk menyelesaikan bacaan saya pada 21 judul tulisan yang diikutkan dalam lomba cipta puisi dan empat judul tulisan yang diikutkan sebagai peserta lomba artikel. Terhitung sejak Minggu sore hingga Selasa siang. Awalnya, saya nggak nyangka kalau akan sesingkat itu waktunya. Tetapi, panitia lomba baru memberikan naskah itu Minggu sore itu. Uniknya, yang diserahkan pada saya cuma naskah peserta lomba. Tak ada form penilaian, juga tak ada kriteria penilaian. Hanya petunjuk teknis pelaksanaan lomba yang selanjutnya dikirim pada saya. Itu pun berupa web link-nya saja.
Sebenarnya, saya pingin bilang, “Keterlaluan!” tetapi saya urungkan. Sebab, saya mesti memahami kondisi panitia. Mereka adalah anak-anak remaja yang beranjak dewasa. Sedang tumbuh dan semangat-semangatnya untuk mengolah daya kreasi dan bergairah pula untuk mengapresiasi karya di antara mereka sendiri. Selain itu, mereka mungkin saja belum mengenal pergaulan yang lebih luas dalam kancah kesusasteraan. Baru pada tahap menyukai. Itu bagus. Setidaknya, itu menjadi embrio bagi tumbuh kembang kesusasteraan di kota kecil yang bernama Pekalongan.
Tinggal nanti, bagaimana mereka melakukan usaha yang mengarah pada tingkat keseriusan yang lebih. Mau atau tidak? Tentu, itu adalah pilihan mereka. Saya hanya bisa mendorong dan menyemangati mereka, sekaligus menjadi keharusan untuk mengawal setiap langkah mereka.
Yang jelas, saya menyukai semangat itu. Meski, dalam hati, saya menghendaki ada sesuatu yang lebih dari apa yang mereka lakukan. Sebab, gelaran lomba sejenis sudah kerap dilaksanakan dari tahun ke tahun. Apalagi saat ulang tahun organisasi yang mereka geluti. Mengapa perlu begitu? Sebab, saya tidak ingin gelaran lomba semacam ini hanya menjadi seremonial tahunan. Tetapi, tak membuahkan apa-apa. Tak melahirkan penyair muda baru atau penulis esai muda baru dengan gagasan-gagasan yang bernas dan segar. Juga dengan kegemilangan semangat pencerahan yang baru untuk menyalakan obor kehidupan di masa yang akan datang.
Sambil menekuni pekerjaan saya di radio, juga di kampus, dan pekerjaan utama saya sebagai kepala keluarga, saya lantas menekuni pula bacaan saya itu terhadap naskah-naskah yang terhimpun. Satu persatu saya baca secara saksama. Mulai dari naskah-naskah yang dilombakan dalam lomba cipta puisi. Saya amati tiap kata. Bagaimana penempatan katanya? Bagaimana urutan kata itu membentuk struktur kalimat yang tepat, sehingga memiliki daya dan makna? Bagaimana juga dengan bunyi yang dimunculkan dari untaian kata-kata itu? Apakah bunyi-bunyi itu memberi kesan dan efek tertentu sehingga memiliki irama yang tepat untuk dilantunkan? Semuanya saya cermati.
Saya baca berulang-ulang. Saya nikmati betul kata perkata. Saya gumamkan menjadi suara. Bahkan, sambil terpejam saya coba menyelami bunyi-bunyi yang dihasilkan dari untaian kata-kata itu. Mencoba merasakan betul rasa bahasa, rasa pada nada, dan rasa pada kedalaman maknanya.
Tidak hanya itu, saya coba juga memasuki alam imaji yang disajikan oleh naskah-naskah itu. Mengawang-awang, mencoba menangkap gambaran apa yang sedang dilukiskan oleh kata-kata itu. Mencoba melukiskan apa yang diinginkan oleh tulisan-tulisan itu. Berusaha dengan sekuat mungkin menghadirkan ruang yang hendak dibangun oleh kata-kata yang ditulis oleh 21 peserta lomba.
Sayang, yang saya tangkap justru ruang abstrak. Gambaran yang dihadirkan oleh kata-kata itu tak mampu menunjukkan keadaan tertentu atau peristiwa tertentu. Kata-kata yang mereka tulis masih beku dan sulit dipecahkan menjadi peristiwa estetis dalam ruang imaji. Kata-kata itu hanya menghadirkan kata itu sendiri. Tidak mampu menghadirkan sesuatu yang beragam. Tidak mampu melahirkan kemungkinan-kemungkinan tafsir.
BACA JUGA: Salah Guru Ya Kalau Kualitas Pendidikan Kalah Saing?
Sementara, ketika saya menangkap bunyi-bunyi, pun tak menghadirkan bunyi-bunyi yang variatif. Yang terjadi justru pemaksaan atas bunyi-bunyi itu. Segala macam bunyi yang terhadirkan tak mampu diolah dengan indah. Tidak mampu melahirkan kemungkinan-kemungkinan yang beraneka untuk dilantunkan. Sebagian, hanya menjadi letupan-letupan emosi sesaat. Seperti teriakan-teriakan yang tanpa mampu menggetarkan. Ada juga yang dipaksa menjadi ledakan-ledakan namun tak mampu meremukkan batin. Malah diakhiri dengan pecah tangis yang percuma. Dengan kata lain, bunyi-bunyi itu lemah. Tak bergema dan bergaung.
Ah, rasanya seperti sia-sia saja saya memasuki ruang terlalu dalam. Menghabiskan energi. Tetapi, itu harus saya lakukan. Agar saya bisa merasakan dengan jernih apa-apa yang ingin dihadirkan oleh tulisan-tulisan itu.
Saya ulang lagi. Memulai dari proses awal lagi. Hasilnya, tetap sama. Tak ada sesuatu yang benar-benar mampu menciptakan semesta dari kata-kata yang dihadirkan.
Ya sudah. Akhirnya, saya pun terpaksa memberitahu panitia bahwa tulisan-tulisan itu masih perlu disempurnakan. Kata-kata itu perlu diproses ulang. Agar kata menemukan alir makna yang segar. Tidak sekadar tempelan-tempelan yang dipaksakan. Tetapi, rupanya panitia punya kehendak lain, bahwa lomba ini sudah berjalan. Maka, keputusan lomba adalah bagaimana melahirkan juara.
Saya katakan, tak ada yang layak disebut juara. Sebab, untuk disebut puisi pun masih terlampau jauh. Tetapi, karena desakan kebutuhan panitia lomba, saya terpaksa mengatakan hanya ada satu yang lumayan baik. Itu pun masih perlu diuji ketat agar layak disebut puisi.
Ya, saya cukup keras dalam hal ini. Harapan saya, agar kelak ada puisi yang terlahir dari karya mereka. Tinggal, apakah mereka mau belajar atau tidak.
Persoalannya kemudian, saya mendadak curiga. Jangan-jangan pelajaran mengenai menulis puisi mereka anggap sepele. Atau, jangan-jangan di sekolah atau madrasah atau pondok pesantren tak cukup waktu untuk mempelajari sastra, khususnya puisi. Jika itu yang terjadi, saya sangat menyayangkan. Sebab, pada dasarnya mereka sudah sangat akrab dengan dunia sastra. Terutama dalam kegiatan-kegiatan rutin mereka. Seperti mengaji, membaca kitab Al Barzanji, Duror, Diba, dan sebagainya. Tetapi mengapa untuk menulis sebuah puisi saja masih mengalami kegagalan?
Saya kira, ini patut menjadi perhatian semua pihak. Terutama para guru. Tidak hanya guru bahasa Indonesia atau bahasa lainnya. Melainkan semua guru mata pelajaran. Apalagi jika berkaca pada masa silam, ketika para cendekiawan Muslim dahulu adalah juga para sastrawan. Sekalipun mereka juga dikenal sebagai ahli ilmu-ilmu lain. Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al Khawarizmi, Imam Al Ghazali, hingga almaghfurllah Gus Dur. Mereka semua adalah para pakar dan juga sastrawan.
Begitu pula dalam konteks lahirnya ilmu pengetahuan yang diawali oleh filsafat. Rata-rata filsuf adalah sastrawan pula. Aristoteles, Plato, Anaximendes, dan sebagainya. Bahkan, seorang Einstein pun diam-diam menulis beberapa judul puisi. Indah. Juga surat-surat cintanya kepada kekasihnya, ditulis dalam bahasa yang puitis. Sekalipun di dalamnya kadang ia menyampaikan pesan tentang temuan rumus fisikanya yang terkenal itu.
BACA JUGA: Angkat Topi untuk Para Dermawan dan Relawan
Dunia puisi bukan sekadar dunia kata-kata yang hanya tampil seolah-olah indah. Tetapi, dunia puisi adalah dunia yang menampilkan kenyataan dunia itu sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terbuka dengan cara yang tak biasa. Cara itulah yang kemudian memiliki daya emosi, imajinasi, dan kekuatan kata-kata yang indah. Sebagaimana para astronom memperkirakan bentuk semesta, demikian pula semestinya puisi. Ia tak asal jadi. Tetapi, ketika ia menjadi, besar kemungkinan ia akan menjadi asal dari pengetahuan baru bagi manusia. Seperti Matematika yang sesungguhnya adalah harmoni semesta yang indah, disusun melalui rumus-rumus yang pendek.
Saya kira, sudah waktunya semua pihak, terutama dunia pendidikan kembali menyetiai sastra. Sebab, dari sanalah sumber-sumber kebijaksanaan akan dilahirkan. Sastra memiliki daya untuk membangun sekaligus menghadirkan kebaruan-kebaruan dalam kehidupan. Semoga berkenan.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya