KOTOMONO.CO – Seusai polemik Mbah Rokhayah mencuat di kanal daring akibat berita yang dianggap mengandung misinformasi, Jumat (8 Januari 2021) akhirnya kru cintapekalongan.com menyambangi rumahnya yang berada di Dukuh Kaso Gunung Kecamatan Doro Kabupaten Pekalongan.
Sekitar jam delapan pagi, kami sudah bersiap. Perjalanan ke lokasi bakal memakan waktu sekitar 40 menit. Sampai di sana, kami disambut hangat oleh Watik (keponakan Rokhayah) dan suaminya yang tengah menggendong seorang bayi laki-laki. Tidak lama berbincang, kami kemudian diajak bertandang ke kediaman Rokhayah yang jaraknya kurang lebih hanya 100 meter.
Sebelum itu, Warmi, sepupu yang kerap merawat Rokhayah juga ikut bersama. Kami tiba di rumah Uripah dan mendapati Rokhayah sedang dalam posisi berbaring (karena memang tidak bisa duduk) di atas kasur bertuliskan Dinsos. Uripah sendiri merupakan salah satu sepupu yang sehari-harinya bersama Warmi merawat Rokhayah. Dari mulai memberi makan, membersihkan kotoran, sampai dengan memandikan.
“Sebenarnya berita yang sempat viral itu tidak benar. Soalnya ini juga masih ada keluarga, karena dikatakan tidak ada keluarga, ditelantarkan, tidak diurusi. Wong makan saja masih normal, masih lahap, masih disuapin, masih dimandiin,” ujar Watik ketika kami tanyai persoal berita kemarin. Perempuan itu menolak pernyataan yang seolah-olah menyudutkan pihak keluarga.
Kami mengamati lekat-lekat Rokhayah, yang memang secara fisik mengalami disabilitas sejak lahir, namun bicaranya masih lancar, ikut merespon ketika ditanya, dan badannya terlihat bersih, tidak seperti orang yang terlantar dan tidak diurus.
Uripah juga ikut menjelaskan, “Saya sama mbak saya (Warmi) kasih makan, mandi ya tak mandiin, kadang-kadang malah nggak mau kalau keseringan, soalnya dingin, kaku semua badannya. Jadi mandi nggak setiap hari. Kotoran, kencing, semua dibersihin.”
Menurut penuturan Uripah, sewaktu pak polisi datang, ia sedang pergi, jadi tidak sempat untuk memberi makan. Namun ketika pulang sudah disiapkan, dan si anak yang ia suruh untuk memberi makanan itu ke Rokhayah.
Hal ini kemudian dijelaskan kembali oleh Watik, ia mengatakan bahwa kadang memang telat (memberi makan) karena yang ngurus masih menyiapkannya atau ada kesibukan lain. Jadi itu tidak bisa dijadikan alasan menelantarkan.
“Bener kan, Mbah?” tanya Watik kepada Rokhayah yang memang biasa ia panggil simbah.
“Iya.” Rokhayah menjawabnya dengan suara yang khas.
Keluarga merasa malu atas pemberitaan yang menyebutkan bahwa mereka menelantarkan Rokhayah. Bahkan disebutkan Rokhayah tidur bersama ayam-ayam peliharaan.
Selain itu, ada redaksi ‘makan bak seekor kambing lantaran hanya bisa menggerak-gerakkan kepalanya tanpa ada seseorang peduli untuk menyuapi’. Padahal sudah sangat jelas, Warmi dan Uripah adalah sepupu yang setiap hari merawat serta menyuapi Rokhayah.
BACA JUGA: Misinformasi Berita Perempuan Asal Doro Pekalongan yang Hidup Sebatang Kara
“Saya sering disuapi Mbak Ibeng (Uripah) sama Mbak Warmi. Tapi sekarang nggak mau disuapin, mau makan sendiri, soalnya malu,” terang Rokhayah yang lancar sekali menggunakan Bahasa Indonesia. Ia bahkan berkata, suka malu kalau dimandiin, inginnya mandi sendiri.
“Saya malu kalau dipakpungi. Dalam hati malu. Saya dulu (waktu masih sehat) kalau pagi sudah mandi, sudah dandan,” ujarnya yang mengundang decak senyum dari kami dan keluarga.
Rokhayah bahkan menceritakan dirinya sewaktu kecil dulu, ia pernah tinggal di asrama anak cacat Kedungwuni.
Kemudian soal tidur bersama ayam, Rokhayah sendiri yang menjelaskan dengan logat Jawanya yang masih kental, “Ayame teko dewe, aku ora biso nggusah, la terus pak polisi teko. Ayame kan eek e ten sandinge bubuke kulo, Mbak,” jelasnya. Ketika kami tanyai kembali, Rokhayah spontan menjawab sanes kandang ayam.
Rokhayah ini ternyata memang tipe orang yang setiap bertemu dengan orang baru memiliki reaksi unik, seperti tiba-tiba menangis atau mengeluh linu. Terlebih kalau disambangi orang banyak.
Sewaktu kami kesana, awal-awal reaksi Rokhayah memang begitu, namun selanjutnya kami berinteraksi seperti biasa. Menyimak cerita-cerita Rokhayah yang sejujurnya menginginkan kehidupan normal selayak orang lain. Dia tidak ingin terus merepotkan keluarganya.
Sebelum menghuni gubuk yang dikatakan mirip kadang ayam, Rokhayah ini tinggal bersama Warmi, kemudian tinggal di rumah Uripah. Namun karena merasa risih, Rokhayah minta dibikinkan rumah sendiri. Oleh sebab keadaan ekonomi, pihak keluarga hanya mampu membuatkan rumah yang seperti itu.
“Saya takut sendiri, kalau mau pipis takut, minta ditemenin. Tapi kalau di rumah malu, ngrepoti terus, tapi pengin sendiri, tapi sendiri juga takut. Kalau waras saya di rumah, kalau sakit saya minta dibikin rumah sendiri. Saya malu. Sudah dimandiin, dikasih makan, tidak pernah dimarahin, masih hidup,” ujar Rokhayah panjang lebar. Kami seketika terenyuh mendengar pernyataan dari perempuan kelahiran tahun 1969 ini.
Obrolan kami berlangsung sekitar setengah jam lebih, setelah mendapatkan informasi yang dirasa cukup, kami memutuskan untuk pamit. Di ambang pintu, kami melihat bapak-bapak tengah membangunkan rumah Rokhayah.
Ia adalah Alimin, anggota ormas Pemuda Pancasila asal Doro. Ia bersama teman-teman yang lain ikut membantu Bu Rokhayah mendirikan rumah. Selain itu, kami juga bertemu dengan Maksum, kadus setempat. Ia menjelaskan bahwa selama ini keluarga masih ada dan merawatnya setiap hari.
“Tidak benar jika keluarga menelantarkan. Selama ini keluarga masih ada, keluarga masih peduli,” ungkapnya saat kami wawancarai persis di depan calon rumah Bu Rokhayah yang tengah dibangun bersama itu.
Saat ditanya perihal harapan, Mbak Watik mengatakan semoga ada bantuan dan pendamping kesehatan dari puskesmas untuk Rokhayah.
Sekitar pukul 10.15 menit, kami akhirnya meninggalkan rumah Rokhayah. Sebelum kami bertandang kemari, melalui akun Facebook, Watik sempat menuliskan bahwa jika ingin membuat masyarakat turut bersimpati atau membantu, seharusnya dengan cerita yang menyentuh namun masih baik dibaca, terutama oleh keluarganya. Jangan dengan cerita yang terkesan jahat, kasian keluarga yang mengurusnya.