Solusi yang mungkin saja jitu dari tokoh agama
KOTOMONO.CO – Hidup di Pekalongan, baik kota maupun kabupaten tinggal menunggu waktu. Selain menunggu waktu masuk ke liang penuh kenestapaan, juga menunggu hampir seluruh wilayah tenggelam. Prediksi kapan Pekalongan bakal tenggelam dan kelak malih rupa seperti Bikini Bottom banyak bertebaran di media sosial maupun media massa, bahkan sejak dua atau tiga tahun lalu.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), misalnya. Sejak 2022 lembaga yang dananya nyaris tidak pernah diperhatikan itu sudah memprediksi bahwa, Pekalongan bakal tenggelam di tahun 2035. Itu artinya sekitar 10 tahun lagi! Mengapa demikian?
Penurunan Tanah
Salah satu penyebabnya dan mungkin saja yang paling besar dampaknya dan mirisnya jarang diperhatikan adalah penurunan tanah. Kata Peneliti BRIN, Galdita, mengutip Detikcom, penurunan tanah di Pekalongan, khususnya dalam laporan itu adalah kota, melebihi Jakarta. Walah, modyar nggak tuh!?
Mendengar apa prediksi BRIN, warga Kota Pekalongan harus mulai cincing-cincing. Karena setiap tahun angka penurunan tanah di Kota Pekalongan bukannya malah susut, tapi naik. Bayangkan, rata-rata penurunan tanahnya 6 senti per tahun.
Apa yang dibilang BRIN soal angka penurunan tanah ini selalu naik, pada kenyataannya memang begitu. Laporan di atas, yang Kotomono kutip dari Detikcom, dirilis pada tahun 2022. Nah, pada tahun 2023, BRIN melalui kepala pusat riset bagian geospasial-nya, Susilo sebagaimana laporan Kompas, mengatakan, penurunan tanah di Pekalongan pada tahun tersebut rata-rata 10,7 senti.
Jika kita menilik apa yang sering dibahas, penurunan tanah di Pekalongan ini kalau dirunut jauh lebih panjang dari kereta api Taksaka digabung Argo Lawu. Tapi dari sekian banyaknya itu, kalau diambil satu yang paling sering muncul adalah, tanah di Pekalongan termasuk masih muda. Sebagaimana anak muda yang gampang down mentalnya, tanah pun demikian.
Nah, masalahnya, tanah yang belum beranjak dewasa apalagi mapan dan memenuhi standar sosial itu, sudah dihajar oleh pengambilan air tanah yang begitu masif. Siapa yang melakukan ini? Anda tentu bisa menerka sendiri. Siapa yang bisa menanganinya? Tentu bukan pedagang es teh, melainkan pemerintah.
Saatnya Tobat Ekologis
Hm… tidak fair rasanya kalau tak mengatakan peran pemerintah. Sejauh ini memang ada, tapi ya begitu-itu. Salah satunya bekerja sama dengan bangsa kompeni. Tapi entah apa yang dipelajari Pemkot Pekalongan dari Belanda. Ha wong sampai sekarang masih begini-begini saja, he!
Permasalahan ini sebenarnya kalau mau dicarikan solusinya ya, gampang-gampang saja. Pekalongan punya berbagai kampus. Di situ dialektika pemikiran jalan. Pekalongan juga terkenal dengan kota religius. Katanya sih, begitu. Jadi, banyak tokoh agama yang bisa memberi masukan.
Tapi apakah tokoh agama itu bisa memberi masukan yang begitu relevan? Bukankah biasanya cuma nyuruh sabar? Wooo.. jangan salah. Beberapa jam sebelum naskah ini ditulis, UIN KH. Abdurrahman Wahid menggelar diskusi jelang event Bali Interfaith Movement (BIM).
Di situ hadir tokoh-tokoh agama. Salah satunya Ketua Badan Kerja Sama Gereja Kristen (BKSGK) Pekalongan, Dwi Argo Mursito. Pria yang juga seorang pendeta bersahaja itu bilang, demi mencegah kerusakan alam, termasuk tenggelamnya Pekalongan, bisa dilakukan dengan pertobatan ekologi. Artinya, kata Argo, berhenti merusak alam dan mulai merawatnya.
“Pertobatan ekologis juga berarti mengakui bahwa manusia telah berdosa terhadap alam semesta dan Tuhan,” katanya.
Bagaimanapun kerusakan alam termasuk penurunan tanah ini juga merupakan akibat dari ketamakan manusia. Rekor UIN Gus Dur, Zaenal Mustakim bilang, kerusakan alam ini bahkan sudah terjadi sejak 1998. Bayangkan, sudah 26 tahun, saudara-saudara. Alam ini dirusak, dibabat, hutan-hutannya digunduli seperti siswa yang telat masuk sekolah.
Peran yang Mesti Diambil
Demi melakukan pertobatan ekologis, peran agamawan dan rumah-rumah ibadah itu sudah tak bisa diganggu gugat. Argo mencontohkan gereja. Gereja bisa mengajak para jemaat untuk membudidayakan gaya hidup ramah lingkungan, mengadvokasi lingkungan, atau mempromosikan kebijakan yang adil.
Hal yang sama juga mestinya perlu dilakukan di tempat-tempat ibadah lain, macam sinagoge, klenteng, masjid, dan seterusnya. Jadi, para pemuka agama tidak sekadar berbual soal akhirat melulu, tapi juga menerangkan bagaimana tanggung jawab manusia terhadap alam. Ya memang alam ini suatu hari nanti akan hancur. Tapi manusia toh sebagai khalifah tetap wajib merawatnya.
Andai itu sungguh-sungguh dilakukan, ditambah ajakan Zaenal kepada mahasiswa UIN Gus Dur untuk menanam pohon dan peduli lingkungan juga dilakukan, setidaknya nafas bumi yang sudah terengah-engah setidaknya bisa diperpanjang.
Kalaupun gagal mencegah datangnya banjir, minimal sudah berikhtiar. Tinggal dari pemerintahnya, masih mau mendengar solusi akar rumput atau cuma mau mendapat suaranya saja ketika Pilkada.
Penulis: Muhammad Arsyad
Editor: Muhammad Arsyad