KOTOMONO.CO – Televisi menjadi satu-satunya hiburan bagi masyarakat akar rumput. Sebab gratis dan nggak ribet, udah gitu doang. Itulah mengapa, meski derap laju teknologi tak terkendali, kemunculan internet yang menguasai segala lini, tak bisa menggoyahkan posisi televisi di masyarakat proletar. Menonton bioskop bagi masyarakat kelas bawah masih cukup mahal. Begitu pula layanan digital streaming macam Netflix yang sungguh merepotkan.
Saya sedang tidak berbicara soal masyarakat yang sudah naik kelas. Tapi kalian bisa buktikan sendiri, bagaimana televisi jauh lebih diminati daripada Netflix. Hal itu karena kalau kita mau nonton serial atau film di Netflix mesti bayar dulu. Dan itu nggak cuma sekali, tapi berlangganan. Udah gitu pakai kuota pula.
Jika sudah begitu, mana mungkin kaum proletar beralih dari televisi ke Netflix? Jelas ogah. Apalagi duit buat langganan Netflix bisa dialihkan buat makan sehari-harinya atau biaya UKT yang makin mahal. Hal yang mungkin nggak berlaku buat kamu yang mampu langganan Netflix dan merasa paling edgy.
Well, tampaknya satu-satunya hiburan masyarakat golongan bawah itupun mau diusik oleh pemerintah. Pemerintah tak mau hanya mengatur siaran televisinya saja, tapi perlu juga mengatur jenis televisi yang digunakan masyarakat. Tak puas hanya dengan TV analog, pemerintah akan minta masyarakat untuk ganti ke TV digital.
Tentu saja saya paham maksudnya. Dengan beralih ke TV digital dari TV analog, pemerintah ingin membuktikan kalau Indonesia mampu seperti negara-negara lain. Sebab, katanya negara lain semua siaran televisi sudah digital sejak 2007. Indonesia termasuk negara yang cukup terlambat memakai televisi digital. Kominfo baru akan mematikan siaran TV analog mulai 17 Agustus 2021, untuk Kota dan Kabupaten Pekalongan masuk tahap dua, yaitu paling lambat 31 Desember 2021.
Hah? Kalian nggak tahu TV digital? Walah jiancuk, mosok nggak tahu? Lha kalau begitu percuma dong pemerintah semangat mau ganti TV digital kalau masih banyak warga yang nggak tahu? Tentu ini bukan salah pemerintah, tapi kalian saja yang males buat cari tahu apa itu TV digital.
BACA JUGA: Demo Memang Perlu Ricuh Soalnya Televisi Butuh Itu
Tapi tenang gaes, sejujurnya saya juga nggak paham-paham amat kok soal TV digital. Ya walaupun saya kuliah di jurusan yang nyambung dengan komunikasi dan penyiaran, tapi terlalu rumit untuk mendefinisikan apa itu TV digital. Saya coba jelaskan sederhana saja, mudah-mudahan paham. Kalau nggak ya resiko, wong nanti ganti televisi digital, kok. Modyar!
TV digital adalah televisi yang menggunakan sinyal digital. Soal sinyal digital itu apa, kalian cari sendiri ah, malas saya buat jelasin. Intinya, TV digital itu nanti mentransmisikan video menggunakan bit data informasi. Konsepnya kayak data komputer pada CD atau DVD itu. Mesti kalian mau tanya, berarti harus beli TV baru?
IYA HARUS! Jika televisi di rumah kamu sudah nggak berfungsi. Tapi kalau masih berfungsi coba cek televisi kamu mendukung siaran digital nggak. Cara ngeceknya gimana? Gampang! Ingat-ingat dulu kalian beli televisi harganya berapa. Kalau berkisar 2 jutaan lebih, boleh jadi sudah mendukung siaran digital.
Nggak tho? Ngaku saja, orang kere kok televisinya seharga 2 jutaan lebih. Hahaha. Karena nggak bisa buat siaran digital ya kamu harus beli alat tambahan. Iya alat buat siaran digital ke TV jadulmu itu. Nama alatnya Set Top Box (STB).
Baru denger alat ini? Iya sama, saya juga baru denger kok. Memang pemerintah ini hobi sekali bikin kebijakan agar rakyatnya pinter. Buktinya, rakyat harus searching dulu soal alat ini karena televisi mau beralih ke digital, termasuk saya yang mahasiswa kampungan ini.
BACA JUGA: Begini Jadinya Andai Coki Pardede Adalah Orang Pekalongan
STB ini punya peran mengubah televisimu yang ketinggalan zaman itu ke televisi digital. Dengan biaya yang tentu lebih murah daripada membeli perangkat TV digital. Kalau TV analog kan nggak butuh alat itu karena menggunakan sinyal yang mirip radio.
Hal yang membedakan TV analog dan TV digital adalah pada pembatasan. Kalau TV analog bandwitch dibatasi, yang berakibat gambar jadi nggak jernih, kadang-kadang seperti semut. Sedangkan TV digital nggak. Gambarnya bisa jernih asalkan lokasi televisi nggak jauh dari pemancar. Nah kalau jauh bisa kayak TV digital dong? Ya tidak.
Pada TV digital kamu nggak bakal nemu siaran yang bersemut. Tapi sudah langsung nggak muncul gitu aja. Praktis bukan? Kamu jadi terhambat buat menonton televisi. Dan pemerintah makin konsisten sebagai pihak yang suka menghambat apa saja yang dilakukan masyarakat.
Meminta masyarakat untuk ganti ke TV digital adalah kebijakan yang ingin menyamaratakan rakyat. Kebijakan yang semakin memperlihatkan kalau UU Cipta Kerja itu blas nggak guna. Ha mbok kira semua masyarakat proletar sanggup beli STB? Kalaupun ada bantuan, yakin nggak bakalan disunat di tengah jalan?
Mengubah dari TV analog ke digital nggak akan berpengaruh apa-apa pada kualitas tayangan siaran televisi di Indonesia. Berpengaruh pada kemajuan teknologi sih, tapi justru membuat peradaban jalan di tempat. Pemikiran masyarakat akan tetap dangkal karena yang diperbaiki bukan siaran televisi tapi teknisnya, peralatannya.
Kita (Hah, kita?) masih sulit untuk mendapat tayangan bermutu dari stasiun televisi, atau minimal nggak bobrok lah. Iya betul Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memang sering menyampaikan kalau indeks kualitas siaran televisi itu naik. Tapi kenyataannya kan nggak gitu saudara-saudara.
BACA JUGA: Ganti TV Digital? Jangan Kuwatir, Katanya Ada Bantuan!
Teknologi televisi atau kepenyiaran boleh maju, tapi kualitas siaran TV masih jalan di tempat. Apa buktinya? Pukul 19.00 WIB silakan kamu tonton MNC TV atau RCTI. Temukan sendiri bagaimana bobroknya siaran televisi. Berkali-kali tayangan televisi dikritik dan berkali-kali pula luput dari sanksi KPI.
Acap kali tayangan televisi membentuk pemikiran-pemikiran goblok di masyarakat. Adegan praktik hukum yang nggak sesuai, tayangan pedofilia, guyonan body shaming, pelecehan seksual, objektifikasi perempuan, penipuan produk, adegan nggak logis, merusak sejarah, stigmatisasi, dan masih banyak lagi yang kalau saya sebutkan jadi Abstrak Skripsi.
Jika kalian nggak tahu istilah-istilah kayak body shaming, objektifikasi, stigmatisasi, sampai pedofilia, saya maklum. Ha wong yang kalian tonton saja televisi kok. Stasiun televisi kan mempraktikkan hal-hal bodoh itu, jadi mana mungkin mereka kasih tahu dampak negatifnya ke kalian.
Kesimpulan saya, pemerintah bisa jadi sedang kamuflase doang. Mereka menyuruh masyarakat minta ganti ke TV digital karena mereka tahu hanya itu yang bisa diberikan. Toh mengganti ke TV digital lebih mudah daripada meminta stasiun televisi membenahi kualitas siaran.
Bagaimanapun terlihat lebih futuristik dan 4.0 itu lebih penting. Soal kualitas siaran biar menjadi tanggung jawab KPI. Itupun kalau KPI sungguh-sungguh bertanggung jawab. Salam penyiaran!