KOTOMONO.CO – Selalu ada yang menarik untuk dibincangkan soal Pilkada. Terutama, di hari-hari mendekati pemilihan. Soal aksi serangan fajar, sudah pastilah jadi bahan perbincangan yang ramai. Tetapi, selain masalah itu ada juga lho hal lain yang patut dibincangkan. Soal apa ya?
Jadi gini, gaes, saya kan punya hobi jalan-jalan. Makanya sangat jarang di rumah. Jalan-jalan saya sih paling sekadar mencari tempat tongkrongan. Ngopi dan ngobrol bersama siapa saja. Yang penting bisa enjoy. Kadang ngopinya sama anak-anak muda. Kadang pula sama para senior. Bergantung siapa yang ngajak ngopi.
Dari obral–obrol itu tak jarang saya dapatkan info-info yang menarik. Soal apa saja. Kadang menyoal kebijakan pemerintah daerah. Kadang soal kondisi politik. Kadang juga soal kesenian dan kebudayaan. Bahkan, kadang mempersoalkan ilmu pengetahuan dan filsafat. Wuih, untuk topik yang terakhir jangan dibayangkan obrolannya serius. Sebaliknya, obrolan seputar ilmu pengetahuan dan filsafat yang sudah-sudah itu kami lakukan dengan gaya yang santai dan penuh guyon.
Nah, belakangan topik yang sedang menghangat adalah seputar Pilkada. Seperti biasanya, obrolan menyoal Pilkada akan diawali dengan menyoroti para kandidat. Mulai dari personalitas masing-masing sampai sepak terjang mereka. Tentu, tidak luput pula obrolan seputar “dosa-dosa sejarah” para kandidat ini.
Tanpa harus ada kesepakatan, kami yang terlibat dalam obrolan itu, meski beda pilihan, tak keberatan jika masing-masing kandidat itu punya kelebihan dan kekurangan. Sama-sama punya catatan merah. Sama-sama punya hal-hal yang juga patut diunggulkan dan diapresiasi. Jadi, kami tidak perlu sampai main banting-banting asbak. Nggak perlu juga sampai saling membully. Fair–fair aja tuh. Malah kadang kami bisa sama-sama tertawa terbahak-bahak manakala membahas status-status di media sosial yang mempersoalkan para kandidat. Seperti sebuah hiburan tersendiri. Apalagi kalau sampai ada status yang romannya baper soal Pilkada.
Ya, saya sendiri kadang suka usil. Kasih komentar pada status-status yang bernada baper gitu. Makin ditanggapi, saya kadang makin suka dan makin menjadi-jadi usilnya.
Selepas ngopi, ketika saya dalam perjalanan pulang ke rumah dengan sepeda motor butut, saya selalu mengamati apa saja yang ada di kiri-kanan jalan. Dan memang, jalan yang saya lalui saat pulang nggak selalu jalan-jalan yang itu-itu saja. Selalu saya cari jalan-jalan lain. Jadi, kadang perjalanan pulang saya bisa lebih lama karena mesti melewati jalan memutar.
Di saat perjalanan inilah yang aku suka. Saya selalu menemukan jalan-jalan kampung yang aspalnya kelihatan hitam legam. Jalannya mulus pula. Padahal, jalan yang saya lalui itu beberapa hari yang lalu belum semulus ini. Masih ditemukan lubang atau jalan bergelombang.
Kontan, insting jurnalis saya mendadak terusik. Saya penasaran. Saya pun berusaha sedapat mungkin mengorek informasi dari siapa saja. Nggak harus ke kantor-kantor dinas sih. Nggak harus juga dengan mengajukan pertanyaan. Kadang dengan ngupingin obrolan orang-orang di warung kopi juga bisa saya dapatkan informasi yang mengejutkan.
Oke, saya mampir di warung kopi. Saya tak perlu banyak bertanya. Cukup memesan kopi dan menikmati menu khas warung kopi angkringan. Gorengan dan nasi kucing. Sambil mulut mengunyah, saya pasang telinga baik-baik. Siapa tahu ada obrolan seputar proyek perbaikan jalan kampung itu.
Eh, ternyata tak perlu nunggu lama. Seorang pelanggan warung kopi itu pun membuka obrolan seputar proyek perbaikan jalan itu. Saya makin tergugah.
Dari obrolan itu, yang saya tangkap, ada beragam informasi. Kata pembeli yang pertama, proyek itu adalah proyek dana aspirasi dari salah seorang anggota Dewan dari partai tertentu. Katanya lagi, proyek itu sebagai kampanye paslon tertentu yang didukung oleh partai asal anggota Dewan itu.
Informasi kedua, proyek itu katanya proyek yang sudah dianggarkan oleh pemerintah daerah lewat dinas. Katanya, itu hasil usulan dari musrenbang kelurahan tempo hari. Tetapi, ada juga informasi lain yang saya tangkap. Bahwa proyek itu adalah proyek yang dilaksanakan dan didanai oleh pasangan calon tertentu. Lho, mana nih yang benar?
Lantas, pemilik warung angkringan itu menyela. Katanya, proyek itu proyek siluman. Sebab, nggak ada yang tahu itu dari mana datangnya. Katanya lagi, Pak RT dan Pak RW kampung itu pun nggak tahu menahu soal proyek itu. Bahkan, lurahnya juga nggak tahu!
Simpang siur informasi semacam ini bagi saya sungguh menarik untuk diulik. Terutama menyangkut mekanisme pelaksanaan proyek. Bukankah setiap proyek di kampung-kampung itu mestinya melalui izin dan sepengetahuan dari lurah, RW, dan RT? Lha kalau sampai lurahnya, RT-nya, dan RW-nya nggak tahu, terus siapa yang mesti dimintai tanggung jawab kalau proyeknya bermasalah di kemudian hari? Nggak mungkin juga kan yang dimintai tanggung jawab itu tukang-tukangnya? Kalau memang nggak pakai izin, lha kok nggak etis banget. Masa orang yang punya wilayah kok dilangkahi begitu saja? Wong kita kalau mau bertamu saja kudu pakai permisi kok ya. Lha ini?! Masa sih nggak ada yang tahu-menahu? Apa mungkin memang disembunyikan? Entahlah.
Tapi yang jelas, ketika proyek siluman itu muncul, maka para “pecut” pun nggak mau ketinggalan. Mereka kemudian memanfaatkan proyek itu untuk mempromosikan nama anggota Dewan yang jadi pendukung paslon tertentu. Di saat bersamaan, mereka juga ikut mengkampanyekan pasangan calon yang didukungnya. Padahal, belum tentu juga proyek itu datang dari paslon yang didukungnya. Alamak!
Saya hanya geleng-geleng kepala sambil menahan tawa. Ya ya, begitulah berkah Pilkada. Selalu saja muncul pemandangan yang lucu-lucu. Proyek siluman pun diklaim. Padahal, kalau dalam cerita-cerita fiksi yang namanya siluman itu jahat dan menakutkan. Ini malah direbutkan dan diributkan. Diklaim pula!
BACA JUGA artikel Ribut Achwandi lainnya