KOTOMONO.CO – Jadi, rupanya pendidikan itu soal persaingan dan kompetisi antar negara. Dan sialnya negara kita kalah!
Katanya, dan ini banyak juga dikatakan oleh sementara kalangan, kualitas pendidikan kita masih kalah dibanding negara tetangga. Sampai di sini, masyarakat kemudian ambil kesimpulan, salah satunya bahwa pelaksanaan pendidikan kita masih belum beres, atau setidaknya nggak sesuai dengan yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Nah, pihak yang paling sering kena sasaran adalah GURU. Alasannya, guru itu aktor utama yang sehari-hari ngurusi murid. Mulailah kemudian guru dihakimi.
Guru dan kualitas pendidikan adalah dua hal yang diikat oleh benang takdir. Sekilas, pendidikan berkualitas diakibatkan oleh guru yang bermutu, kelas satu. Begitu pun sebaliknya. Ada hubungan sebab-akibat yang terjadi secara langsung, lurus, tanpa ada faktor lain yang ikut mencampuri.
Jadi, bila Indonesia kalah saing dengan negara Malaysia, misalnya, itu karena guru kita kalah mutunya. Makanya, guru perlu di-up grading melalui pelatihan, seminar, workshop, pembinaan, penataran, dan berbagai sebutan lain. Makin sering ikut pelatihan, dijamin kualitasnya makin maknyus. Akhirnya, seberapa banyak kegiatan up grading yang diikuti guru menunjukkan tingkat kualitasnya.
Tapi sebentar, kalau cuma itu yang ada di pikiran kita, ya maaf saja, berarti sudut pandang kita masih sempit, bagai terpantul-pantul saja di dalam tempurung kura-kura.
Kata dosen saya, “Coba geser sedikit paradigma Anda dalam memandang persoalan, niscaya kenyataan yang Anda lihat terlihat baru dan bakal berlainan”. Caranya mudah, demikian lanjutnya, yaitu dengan menggunakan mata burung. Tentu bukan mencongkel mata burung lalu diimplan ke rongga mata seperti Sharingan pada anime Naruto yang terkenal itu. Tetapi dengan melihat peristiwa dari sudut pandang yang lebih luas.
Karena menjanjikan hal baru, akhirnya saya coba praktikan apa yang disarankan beliau. Melalui bantuan kawan-kawan dan buku-buku penunjang, saya sedikit tercerahkan. Hasilnya, semua itu, perkara mutu pendidikan, tidak sesederhana yang saya kira, Ferguso.
BACA JUGA: Sebaiknya Sejak Mahasiswa, Guru Diajari Cari-Cari Masalah
Ada banyak guru nomor wahid yang saya jumpai. Mereka ini biasanya tidak puas dengan ilmu yang dimiliki, nggak lega sebelum benar-benar menemukan akar masalah yang dijumpainya di kelas atau di sekolah, nggak plong kalau belum mengerjakan semua tugas yang jadi kewajibannya.
Mereka juga seringnya terlibat obrolan soal muridnya yang unik bin bandel lantas mencari solusi buat menangani perilakunya yang menyebalkan. Dan, lebih dari semua itu, mereka tetap maju jalan dengan segala tugas utama dan tambahan di pundaknya.
Nyatanya, realitas pendidikan (formal) itu kompleks. Sebab itu, dalam menggapai tujuan pendidikan, segala komponen mesti ikut andil. Ketika guru punya keinginan meningkatkan mutunya, misalnya dengan mengikuti seminar pilihannya, bergabung dengan komunitas guru, mendalami beberapa metode belajar, maka pimpinan perlu mendukung serta mengapresiasi, beban kerja mengajar tidak berlebihan, dan kesejahteraannya dipenuhi.
Peran Pimpinan Sekolah
Dalam kajian budaya organisasi dan kepemimpinan, begitu juga budaya sekolah, pimpinan punya peran penting. Terutama bila di sekolah itu kulturnya nggak kondusif-kondusif amat buat berkembangnya kualitas pendidikan sebagaimana yang terjadi di beberapa sekolah—untuk tidak mengatakan sebagian besar.
Misalnya saja, bila sekolah ingin lebih mengedepankan perhatiannya pada kebutuhan belajar murid, serta latar belakang dan kondisi yang sedang dialaminya, maka segala komponen sekolah harus bergerak demi tercapainya orientasi itu. Pihak yang punya kuasa besar mengarahkan, mengelola, mengawasi, dan menjamin bahwa gerakan komponen itu di jalur yang tepat, ya siapa lagi kalau bukan kepala sekolah.
Karena itu, demi tercapainya impian itu, paling tidak pimpinan jangan sampai lupa mempertimbangkan kapasitas guru dan staff administrasi. Lha kok ternyata beliaunya cuma kasih instruksi verbal tanpa paham sejauh mana kapasitas guru, tanpa pernah ngobrol-ngobrol dengan bawahannya, ya sami mawon. Apakah bapak dan ibu guru pernah mengalami hal itu?
Lagi. Mungkin di kesempatan lain pimpinan (selalu) merasa tidak puas dengan kinerja gurunya dan staf lain. Lha kok beliaunya cuma bilang nggak puas-nggak puas kayak gitu tanpa pernah sekali pun pingin tahu apa saja kendala guru yang sebenarnya, atau dukungan apa yang guru perlukan, atau malah liburan ke mana yang pendidik ini butuhkan, ya sudahlah. Mungkin bagi pimpinan, guru itu dianggapnya punya daya tempur tinggi bak orang saiyan di anime Dargon Ball.
Kita bisa lihat, betapa pimpinan punya peran yang sentral. Ini beneran. Hasil penelitian dan riset juga mengatakan hal yang serupa.
Begitulah, kerja seorang pemimpin memang berat. Tanggung jawabnya pun tak kalah beratnya. Secara kasar, sekolah yang baik itu minimal karena pimpinan yang baik.
Mengajar Banyak Kelas
Barangkali kita biasa melihat dan mendengar ada orang yang dalam waktu beberapa tahun saja bisa jadi penyanyi yang mumpuni, pesepak bola yang handal, juru masak yang ciamik, atau pebisnis yang berhasil.

Nah, ternyata hal yang sama juga bisa dialami oleh guru. Dalam beberapa tahun saja, guru bisa lho berkembang pesat mutunya.
Guru bisa kok mengembangkan kepekaannya akan masalah yang biasa timbul di kelas dan di rumah. Asalkan memang tersedia waktu buat mendalami itu. Namun sayangnya, guru sering tidak fokus.
Lazim terdengar bahwa sumber ketidakfokusan ini karena beban mengajar yang banyak. Sudah hal biasa bila guru-guru mengajar lima hingga mungkin sepuluh kelas. Padahal tiap kelas diisi setidaknya 25 murid. Artinya, 250 murid jadi tanggungannya.
Nah, Pengembangan diri atau peningkatan kualitas itu selalu dalam konteks menyajikan pembelajaran yang bermakna bagi murid, juga memberikan pengalaman belajar yang relevan. Untuk mencapai itu, masalah yang kontekstual, yang nyata ada di kelas menjadi dasar bagi guru dalam mengembangkan diri. Biasanya perkara itu bersifat spesifik untuk tiap kelas atau kelompok siswa. Dari sini terbayangkan, betapa beragam problem yang dihadapi seorang guru.
Jadi, boleh dibilang banyaknya kelas yang guru ajar berbanding lurus dengan banyaknya tugas dan persoalan yang mesti dipecahkan. Lantas, adakah ruang bagi guru untuk fokus pada pendalaman dan pemecahan masalah yang dihitung juga sebagai jam mengajar?
Hmm, mungkin saya sedang ngimpi. Seandainya pun memang betul begitu, setidaknya saya bermimpi agar sekurang-kurangnya sepertiga (atau bahkan separuh) jam mengajar guru diganti dengan pendalaman dan pemecahan masalah.
Kesejahteraan
Agar pembicaraan ini makin terarah, berikut saya cuplikan tujuan pendidikan nasional sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional pasal 3.
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Tujuan di atas begitu keren sekaligus abstrak. Bagi guru, soalnya adalah bagaimana menkonkretkan konsep yang abstrak seperti kreatif dan demokratis? Lalu, apakah lingkungan kelas dan sekolah mendukung?
Guru memang seharusnya paham betul murid yang mandiri dan kreatif itu yang seperti apa, juga warga negara yang demokratis itu yang bagaimana. Sebab, melaluinya guru punya acuan yang lebih operasional. Terlebih, apakah mungkin menjadikan murid itu betul-batul jadi warga negara yang demokratis, yang “diizinkan” mengkritik guru dan sekolah?
Jadi, selagi mendidik murid menjadi pribadi yang mandiri dan mulia, di saat yang bersamaan guru berusaha agar mereka memahami konten pelajaran. Dan ini nggak gampang. Tapi, semua ini terlihat wajar kok kalau disertai dengan apresiasi (dalam hal ini kesejahteraan) yang layak.
Pertanyaannya, dengan peran guru di atas, sejauh mana kesejahteraan mereka berada di tingkat yang semestinya? Ini nih isu yang sensitif di kalangan guru. Ia biasa diperjuangan oleh sementara kelompok guru. Bahkan menjadi salah satu agenda utama perjuangan persatuan guru.
Lha nggak sensitif gimana coba, sekali atau dua kali guru protes soal kesejahteraan, bisa-bisa dicap yang aneh-aneh, bisa-bisa kena semprot atasan, bisa-bisa terancam dipecat atau dipindahtugaskan, serta bisa-bisa yang lain.
Jadi, salah guru nih kalau kualitas pendidikan kita kalah saing?