KOTOMONO.CO – Apa sih yang ada di benak mahasiswa, ketika dulu mereka berusaha mendaftar ke kampus program kependidikan? Lalu, setelah meludeskan kalender yang berjilid-jilid mereka mengenyam pendidikan di ruang kuliah, di kampus-kampus yang mungkin saja asri dan hijau, apa yang mereka ketahui tentang pendidikan di Indonesia? Apakah mereka mengetahui masalah-masalah khas yang selalu ada di sekolah, di kampus, dan hubungannya dengan pihak yang berkepentingan seperti orangtua, dinas pendidikan, dan lainnya?
Mungkin karena dulu saya termasuk salah satu mahasiswa yang malas, atau memang kampus tempat saya kuliah tidak menyediakan ruang diskusi tentang permasalahan-permasalahan seputar pendidikan di sekolah, maka tingkat pengetahuan saya—semoga tidak dengan teman-teman saya seangkatan—nol besar terkait dengan praktik pendidikan di sekolah.
Mulanya ini saya anggap wajar. Seorang fresh graduated mestilah fresh juga ilmu lapangannya, dalam arti, mereka ini masih hijau, segar, belum dibebani dengan masalah. Karena itu, mereka harus menguji segala ilmu, yang didapatnya dari kampus, dengan terjun sebagai guru di lembaga pendidikan. Dengan begitu, pengalamannya akan bertambah, kemampuan memecahkan masalahnya akan meningkat, dan tentu saja, mereka bakal punya daftar permasalahan yang biasa terjadi di sekolah. Ini penting, minimal mereka nggak minder pas berkerja dengan guru-guru senior.
Begitulah proses yang saya pahami setelah sekitar dua tahun menjadi guru di sebuah sekolah kejuruan. Permasalahan betul-betul baru saya ketahui setelah terjun ke lapangan. Sebelum itu, ketika saya masih dididik di kampus kependidikan, jarang ada (atau nggak ada?) kebiasaan membedah persoalan kependidikan terjadi di lembaga-lembaga pendidikan, bahkan yang tengah berlangsung di perguruan itu sendiri. Ya, awalnya itu saya anggap semacam prosedur yang wajar.
Tapi apa ya mesti begitu?
Lama-lama, hal itu saya anggap wagu. Baru tahu untuk pertama kali berbagai persoalan pendidikan di lingkungan sekolah pas bekerja jadi guru adalah suatu keanehan. Kalau demikian, praktik dipisahkan dari teori sejak dalam ruang kuliah. Padahal pendidikan itu ranah teori sekaligus praktik, dan mereka berdua ini bukannya berdiri sendiri-sendiri dan terpisah. Sebaliknya, teori dan praktik dalam pendidikan itu mesti satu kesatuan. Sebab itu, sangat dianjurkan untuk selalu mengarahkan teori ke dalam praktik pendidikan yang nyata terjadi.
Begitu juga, ketika masih mahasiswa, mestinya saya dan kawan-kawan dihadapkan pada sederetan persoalan yang biasa ada di sekolah. Gempurlah kami, bombardirlah kami dengan masalah-masalah. Barangkali dari situ kami akan betul-betul dibimbing agar semakin mengenal problem itu, bahkan boleh jadi kami bakal makin ahli mengurainya dengan cara berpikir yang jitu.
Atau bisa saja, kunjungan mahasiswa serta studi kasus ke sekolah-sekolah jadi hal yang rutin, yang biasa, sehingga sekolah-sekolah di sekitar kampus bakal sering berkata “Mas, Mbak, kira-kira ada solusi apa nih tentang masalah ini, itu?”, “Ini Mas, Mbak, kemarin baru rembugan dan dapat kasus baru nih, mau dengar?”, dan macam-macam.
Jika demikian, maka teori-teori yang diajarkan di kampus pada akhirnya menemukan medan perangnya. Mahasiswa juga bakal menemukan fenomena bahwa teori A atau B tidak kompatibel di peristiwa tertentu, sehingga, dengan semangat mudanya yang menggebu, mereka akan menelusuri teori yang cocok atau bahkan menciptakannya. Meski mungkin akan sering menemui kegagalan, paling tidak dengan kesempatan serupa itu mahasiswa dibiasakan berhadapan dengan berbagai masalah yang betul-betul terjadi di lapangan, dan bukannya masalah yang diada-adakan.
Tentu saja kampus bisa melakukan itu semua. Bila sampai sekarang kok tidak atau masih ada yang belum menyajikan masalah-masalah pendidikan yang berlangsung di sekolah, mungkin kampus berani menjamin bahwa lulusannya nanti bakal ahli beradaptasi di lapangan. Atau barangkali dalam usaha melakukan itu, kampus masih terkendala masalah teknis, administratif, birokratis, bahkan boleh jadi masalah filosofis yang rumit. Entahlah.
Dan tentu saja dosen punya banyak pengalaman dalam menghadapi persoalan-persoalan pendidikan yang biasa terjadi di lingkungan lembaga pendidikan. Misalnya melalui riset dan penelitian dengan dana hibah yang tidak membebani uang sendiri, sehingga penelitian yang dilakukan akan jauh lebih fokus. Melaluinya, dosen memiliki persediaan keilmuan yang luas. Tak lupa, beliau pastilah akan membaginya, mengajak diskusi, melayani segala pertanyaan mahasiswanya dengan cuma-cuma asal mereka bersungguh-sungguh.
Begitu juga, dosen tentulah telah melakukan kategorisasi, pengelompokkan, serta pengklasifikasian permasalahan dengan metode yang mutakhir. Barangkali ada semacam prosedur, teknik, atau metode dalam menginventarisasi berbagai persoalan yang terjadi di sekolah sehingga dosen atau bahkan kampus tak dianggap sekadar menara gading.
Oh iya, bahkan kampus mungkin saja secara diam-diam tanpa banyak diketahui mahasiswa, media, dan publik telah melakukan kerja sama dengan banyak lembaga pendidikan agar mau jadi mitra pemasok masalah. Ya, akhirnya kampus kependidikan bakal (atau telah?) memiliki semacam bank permasalahan yang tidak saja ter-up to date, melainkan juga yang sudah mendarah daging sekian lama.
Ditambah lagi, bagi kampus yang melaksanakan Pendidikan Profesi Guru (PPG), hal-hal di atas cocok banget buat diterapkan, malahan mungkin penggaliannya akan jauh lebih dalam dan detail. Mahasiswa PPG, dalam hal ini tak ubahnya seperti guru atau mahasiswa penggerak di tempat praktiknya, karena dengan pengetahuan lapangannya soal problem pendidikan di sekolah serta kepercayaan dirinya dalam menguraikannya, mereka membumikan kebiasaan menghadapi masalah ketimbang hanya mendiamkannya bagai tak ada.
Seandainya semua itu benar-benar terjadi, nggak bohongan, salah satu konsekuensi yang paling menarik adalah tentang mahasiswa itu sendiri. Mereka ini kan agent of change, seperti yang banyak diharapkan orang.
Nah, kok nantinya mahasiswa mengetahui bahwa pelaksanaan pendidikan di Indonesia penuh dengan masalah, lalu mereka curhat atau nyinyir di berbagai platform media sosial soal itu, ya wajar saja. Mereka ini seperti semut yang tak bakal menjauh dari gula. Pun demikian, mahasiswa sepertinya nggak akan jauh dari pergumulannya terhadap suatu problem, apalagi sekelas masalah pendidikan di Indonesia. Saya membayangkan, berapa banyak di antara mereka yang akan menjadi aktivis pendidikan?
Di sisi lain, bagi pihak yang tabu bila persoalan dalam tubuh institusi atau lembaganya terekspos ke mata publik, mahasiswa ini dipandangnya bukan sebagai agen perubahan, melainkan agen perusak. Ya, perusak tatanan. Kalau ini, saya belum begitu bisa membayangkan? Mungkin para aktivis lebih paham soal ini. Semoga ini bukan sebentuk pesimisme.
BACA JUGA artikel Dini Alan Faza lainnya.