Eh, jumpa lagi. Apa kabar? Semoga Anda dalam keadaan sehat tanpa satu pun kekurangan, sehingga rasa syukur kita semakin bertambah atas segala nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepada kita.
Sobat kotomono.co tercinta, seperti yang sudah-sudah saya kembali sajikan sebuah kajian ringan yang berkenaan dengan penggunaan bahasa. Saya yakin, sobat kotomono.co sudah fasih betul berbahasa Indonesia. Apalagi bahasa Indonesia bisa dikatakan pula sudah menjadi bahasa keseharian kita. Obrolan-obrolan yang kita lakukan, baik formal maupun non formal, kerap menggunakan bahasa Indonesia yang terkadang bercampur dengan bahasa daerah (bahasa Ibu). Bagi saya, hal itu sah-sah saja dilakukan sepanjang tidak membuat bahasa Ibu punah.
Akan tetapi, di dalam menggunakan bahasa Indonesia, apakah kita cukup yakin bahwa bahasa Indonesia yang kita gunakan itu sudah tepat? Mungkin sebagian dari Anda akan mengatakan ya, saya yakin sudah tepat. Tetapi, tidak menutup kemungkinan pula ada sobat kotomono.co yang merasa belum teryakinkan. Mengapa demikian? Tentu, tak hanya sebuah sebab, melainkan ada beragam sebab. Salah satunya kebiasaan membaca kita yang masih minim.
Apakah itu salah? Saya kira, pertanyaannya tidak demikian. Membaca boleh saja dianggap bukan sebuah keharusan. Membaca merupakan kebutuhan. Sementara, setiap orang memiliki standar kebutuhan yang berbeda-beda. Maka, ketika kita menjumpai teman atau seseorang yang memiliki tingkat kebiasaan membaca rendah, kita tidak bisa menghakiminya sebagai orang yang bersalah. Sebaliknya, jika kita cukup memiliki kemampuan untuk membantunya agar tertarik membaca, lakukanlah itu dengan cara yang bijaksana.
Memang, di era kini, nyaris semua orang di sekitar kita sudah melek aksara. Kendati demikian, terkadang masih kita temukan pula orang-orang yang melek aksara namun daya tangkapnya kurang. Ada pula orang yang melek aksara tetapi masih saja gugup saat harus berbicara di hadapan banyak orang. Biasanya, mereka yang gugup itu memiliki masalah dengan mentalnya yang kurang terlatih. Pun ada yang mentalnya jawara, namun saat berbicara di depan umum bahasa yang digunakannya masih amburadul. Dan, masih banyak lagi fenomena-fenomena kebahasaan di tengah-tengah masyarakat. Seperti yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Yaitu, tentang penggunaan kata “sekedar” dan “sekadar”.
Sudah barang tentu, kita sering mendengar atau membaca penggunaan kata tersebut. Pada saat menyimak pidato seorang pejabat penting misalnya, kita tak jarang mendengar dua kata itu digunakan. Sependek yang saya ingat, dalam beberapa kali kesempatan menghadiri acara resmi, lebih sering saya menangkap kata “sekedar” diucapkan oleh para penyampai sambutan. Entah itu panitia kegiatan, pejabat, atau orang-orang yang dianggap penting dalam acara itu. Di lain waktu, saya juga tidak jarang mendengar kata “sekadar” diucapkan oleh orang-orang yang memberi sambutan di podium. Lalu, mana yang tepat? “Sekedar” atau “sekadar”?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, alangkah baiknya jika saya uraikan terlebih dahulu dampak penggunaan dua kata yang berbeda itu. Penggunaan dua kata tersebut akan memicu kerancuan bahasa. Orang akan bingung menentukan kata mana yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia atau istilah lainnya kata baku. Jika kaidah bahasa saja dilanggar, maka timbullah kekacauan dalam komunikasi maupun penyebaran informasi. Apabila keadaan ini tidak segera ditangani, citra bahasa Indonesia—secara tidak langsung juga citra bangsa Indonesia—akan menjadi buruk di mata dunia.
Di lain hal, dampak penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan juga berkaitan dengan pengembangan diri orang per orang. Pengetahuan seseorang sulit berkembang. Demikian pula pada dunia pemikiran yang akan berjalan lamban karena hambatan bahasa. Secara tidak langsung, kondisi ini juga akan melemahkan mental, baik orang per orang maupun sebagai kelompok sosial.
Agaknya, jika permasalahan ini diurai, tulisan ini akan semakin panjang. Agar lebih hemat, saya akan mengusahakan untuk membuat sajian tentang masalah ini di lain kesempatan. Bagaimana? Setuju?
Sekarang, mari kita kembali pada persoalan yang sedang akan saya bahas. Yaitu, penggunaan kata “sekedar” dan “sekadar”. Kira-kira mana yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia?
Sesuai ejaan, kata “sekadar” merupakan kata baku dalam kaidah bahasa Indonesia. Kata “sekadar” merupakan kata yang dibentuk melalui afiksasi karena mendapat prefiks se-. Dengan kata lain, kata dasar “sekadar” adalah “kadar”. Mari kita periksa lagi, apa itu “kadar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia?
Kata “kadar” dalam KBBI merupakan serapan dari bahasa Arab, “قَدَرٌ” (qadar), yang oleh KBBI dimaknai ketentuan. Sementara, kata “kadar” sendiri memiliki empat makna, yaitu: (1) kuasa; kekuatan, (2) ketentuan Tuhan (takdir), (3) untung malang, dan (4) kodrat; sifat bawaan. Selain itu, kata kadar juga dikaitkan dengan “قَدْرٌ” (qadr), yang oleh KBBI dimaknai sebagai perikiraan atau pengiasan. Pada bentuk kedua ini, kata kadar semakna dengan; (1) ukuran untuk menentukan suatu norma, (2) isi atau bagian yang tulen (tentang emas, perak, dan sebagainya), (3) nilai, harga, taraf (tingkatan), (4) lebih kurang; kira-kira, dan (5) jumlah hasil pengukuran dalam persentase mengenai gejala tertentu yang terdapat pada populasi tertentu dalam keadaan dan jangka waktu tertentu (istilah dalam Antropologi). Bentuk makna ketiga dari kata “kadar” adalah kain tenunan sendiri untuk dipakai sendiri. Ada pula makna keempat dari kata “kadar” yang disetarakan dengan kata “kadah”. Yaitu, belanak yang ukurannya dapat mencapai 60 cm, ujung rahang atas tersembunyi ketika mulut tertutup, kelopak lemak hampir menutupi mata, awal sirip punggung kedua di atas awal sirip dubur.
Bertumpu pada pemaknaan kata “kadar”, sebagaimana disebutkan tadi, kita bisa mengerti bahwa kata “kadar” merupakan kata benda (nomina). Kecuali, pada bentuk makna ketiga. Selain menduduki kelas kata benda, kata “kadar” juga menduduki kelas kata arkais. Yaitu, kosakata yang sudah tidak digunakan lagi karena merupakan kosakata kuno.
Lalu, apa makna dari awalan se-? Awalan se- memiliki dua fungsi utama. Yaitu, sebagai pembentuk klitika dan adverbia (kata keterangan). Klitika adalah bentuk yang terikat secara fonologis, tetapi berstatus kata karena dapat mengisi gatra pada tingkat frasa atau klausa. Untuk membahas masalah klitika, saya akan menyuguhkannya dalam tulisan lain di kotomono.co.
Sebagai awalan, se- memiliki makna yang beragam. Di antaranya: menyatakan makna satu, waktu, seperti, seluruh, sesudah, bersama-sama, paling, dengan, sesuai atau menurut, keterangan, bentuk bilangan, dan bentuk tugas. Jika demikian, apa makna kata “sekadar”?
Merujuk pada KBBI, kata “sekadar” dimaknai (1) sesuai atau seimbang dengan; menurut keadaan (kemungkinan, keperluan, dan sebagainya); sepadan (dengan), (2) hanya untuk, dan (3) seperlunya; seadanya. Tentu, Anda masih akan bertanya-tanya, makna pada kamus kok agak berbeda dengan uraian sebelumnya? Begini, sobat kotomono.co tersayang, pada makna (1) tidak begitu soal. Sementara makna (2) yaitu hanya untuk, sesungguhnya sekait dengan makna menyatakan keterangan. Sedang makna (3) yakni seperlunya; seadanya, dapat dikaitkan dengan makna sesuai atau menurut atau pula seperti.
Jelaslah sudah sekarang, bahwa kata “sekadar” merupakan kata baku. Baik ditilik dari etimologi maupun morfologinya. Secara etimologi, kata “sekadar” merupakan kata turunan dari kata “kadar” karena mendapatkan imbuhan se-. Awalan se- tidak mengubah bentuk kata dasar yang mendapatkan imbuhan. Lantas, bagaimana dengan “sekedar”?
Menyesuaikan kaidah bahasa Indonesia, maka kata “sekedar” terbentuk oleh dua komponen. Yaitu, awalan se- dan kata “kedar”. Permasalahannya di sini adalah kata “kedar” merupakan bentuk tidak baku dalam bahasa Indonesia. Maka, ketika mencari makna kata “kedar”, kita akan diarahkan untuk kembali pada bentuk baku dari kata “kedar”, yaitu “kadar”. Apa maksudnya? Maksudnya, karena bukan kata baku, maka kata “kedar” tidak memiliki makna.
Jadi, ketika kita mengucapkan atau menuliskan kata “sekedar”, maka kita sedang mengucapkan atau menuliskan sesuatu yang tidak ada maknanya. Memang, dalam komunikasi sehari-hari kata “sekedar” dapat dimengerti maksudnya oleh pembaca maupun pendengar. Sebab, kebanyakan orang mengidentikkan kata “sekedar” dengan “sekadar”. Padahal, keduanya berbeda jauh. Makanya, yuk biasakan menggunakan bahasa Indonesia secara tepat.