KOTOMONO.CO – Warung kopi di pinggir trotoar depan Gedung Kesenian Kajen diliputi gerimis. Jalanan basah dan licin. Tak banyak orang berlalu lalang. Kontan, obrolan kami yang semula sekadar obrolan temu kangen berubah menjadi penghangat suasana. Lebih-lebih ketika Pakdhe Joko Heru, senior saya dalam berkesenian, mengajukan sebuah topik tentang seni.
Boleh dibilang, Pakdhe Joko mula-mula hanya menyampaikan kegelisahannya mengenai dunia kesenian di daerah. Khususnya, di daerahnya tinggal, Kabupaten Pekalongan. Menurutnya, kedudukan seni di masyarakat—khususnya kalangan elite pemerintahan—masih dipandang sebelah mata. Seni dianggap sebagai sesuatu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak penting bagi usaha mereka di dalam merancang program-program pembangunan.
Pandangan ini sama sekali tidak bisa dibenarkan. Apalagi kalau merujuk ajuan Koentjaraningrat yang menyatakan, bahwa seni merupakan salah satu sendi yang sama pentingnya bagi pembangunan kebudayaan dan peradaban. Seni memiliki kedudukan yang sama dengan sistem sosial (yang didalamnya meliputi politik), ekonomi, teknologi, bahasa, sistem kepercayaan, dan sistem pengetahuan.
Pandangan yang juga harus diacu adalah pandangan Horatius, penyair kenamaan di masa Kekaisaran Romawi, yaitu mengenai apa yang disebut “dulce et utile”, memberi kesenangan dan berguna. Dengan pandangan itu, dunia seni tidak sekadar menjadi sarana menghibur atau semacam pelipur lara, akan tetapi juga sangat berguna bagi perkembangan zaman.
Sayang, menurut Pakdhe Joko, gagasan-gagasan besar itu agaknya mulai tergerus. Kesenian, khususnya di daerah tempat beliau hidup saat ini, sekadar diposisikan sebagai panggung hiburan, pengisi ruang kosong. Hal yang sangat membuatnya prihatin.
Pemosisian seni sekadar sebagai hiburan, menurut Pakdhe Joko, justru bertendensi buruk bagi kesenian itu sendiri. Posisi seni akan semakin terpinggirkan. Dengan begitu, kedudukan seniman pun tak lagi diperhitungkan. Padahal, dalam sejarahnya, seni memiliki peran besar bagi upaya penentuan arah kebijakan politik.
Sekelumit, beliau sampaikan bagaimana dulu dunia seni sangat berperan besar bagi penentuan arah nasib bangsa Indonesia kala itu. Dulu, lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok seni begitu getol menyampaikan pendapat mereka tentang kondisi ideal kebudayaan Indonesia. Mereka tak sungkan-sungkan menggelar perdebatan yang terbuka mengenai gagasan mereka tentang apa dan bagaimana seharusnya menjadi bangsa Indonesia. Rumusan-rumusan yang mereka kemukakan terus diuji tanpa henti, sebab mereka sadar bahwa kebudayaan itu dinamis. Apalagi di tengah-tengah isu-isu globalisasi yang kian menantang.
Sebagaimana dalam sastra, pertikaian ide di antara individu, kelompok, bahkan lintas generasi—saya kira—menjadi patut untuk terus dibaca ulang. Kemunculan angkatan Balai Pustaka yang terlalu disetir oleh kekuasaan Kolonial Hindia-Belanda dilawan oleh kelompok yang tak sudi berkompromi dengan penguasa penjajah. Lalu, di episode berikutnya, muncul kelompok baru yang menamai diri sebagai Pujangga Baru. Kelompok ini menawarkan gagasan segar mengenai emansipasi dan keterlibatan langsung kaum pribumi di dalam pembangunan. Tentu saja, kelompok ini pun mendapatkan pertentangan yang tidak kalah seru dari kelompok lawannya.
Perseteruan pemikiran mereka masih berlanjut. Hingga melahirkan angkatan ’45 yang ketika itu menjadi tonggak dari sebuah upaya perumusan jati diri sebuah bangsa. Meski begitu, kemunculan angkatan ini juga memicu perdebatan alot mengenai gagasan tentang humanisme universal melawan nasionalisme.
Sementara, di era berikutnya muncullah gagasan mengenai realisme sosialis sebagai antitesis dari nasionalisme yang kala itu dipandang klise oleh kelompok pengusung realisme sosialis. Sekalipun demikian, kelompok ini sendiri pun kemudian pecah. Terbelah ke dalam dua kelompok pemikiran, antara seni sebagai propaganda politik ideologis melawan seni sebagai penyampai suara rakyat. Bahkan, pada puncaknya, gagasan-gagasan itu diperkaya dengan kemunculan kelompok-kelompok baru yang memosisikan diri sebagai bagian dari “pendukung” kekuasaan negara.
Pertikaian antara Lekra melawan Manikebu kala itu mungkin menjadi puncak paling dahsyat. Karena di antara kedua kelompok itu telah memunculkan garis pembatas yang demikian tebal. Belum lagi kelahiran kelompok Lesbumi yang menyusul kemudian. Makin ramai pula pertentangan pemikiran itu, hingga akhirnya memunculkan kekuasaan baru bernama Orde Baru.
Selama 32 tahun, orde ini berhasil menaklukkan perang dingin ide-ide itu. Sampai-sampai, ia berhasil mengukuhkan tafsir tunggal atas apapun yang berkenaan dengan kedudukan kekuasaan dan negara.
Lambat laun, tafsir tunggal ala penguasa Orde Baru ini mulai mengikis peran kesenian di daerah-daerah. Nuansa traumatik yang dibangun telah berhasil membungkam dan mengubur pemikiran-pemikiran yang mestinya terbebas dari cengkeraman kekuasaan. Bahkan, untuk sekadar bersuara, para sastrawan khususnya, memilih mencari jalan lain yang disampaikan secara samar-samar lewat karya-karya mereka, sebagaimana yang terbaca dalam tulisan Aprinus Salam, “Dari Sastra Kompromisme Ke Sastra Heroisme”.
Panjang Pakdhe Joko menyampaikan keluh kesahnya. Di bawah rintik hujan, sembari menyeruput kopi, ia sampaikan harapannya agar seni perlu dibangkitkan. Bukan sekadar sebagai teman bagi kesepian. Akan tetapi, ia harus tampil sebagai katalisator bagi perubahan-perubahan yang kini berjalan begitu cepatnya.
Ia melihat, beberapa seniman di Pekalongan sebenarnya telah melakukan hal itu. Hanya, daya dukungnya yang masih jauh dari maksimal. Ia berharap, di kemudian hari, semua orang akan mengerti apa itu seni dan bagaimana seni memiliki peran bagi pembangunan.