KOTOMONO.CO – Hujan semalaman yang mengguyur Batang masih menyisakan awan mendung pada langit di pagi hari. Pemandangan itu membuat saya mencemaskan hujan akan kembali turun. Sementara, pagi itu, saya masih harus menjalankan tugas untuk meliput kegiatan Belajar Bersama di Museum Batik Pekalongan.
Lekas-lekas saya mandi dan berangkat pagi-pagi benar. Saya tak mau hujan mendahului. Saya harus segera tiba di Museum Batik Pekalongan sebelum hujan turun. Apalagi untuk mencapai Museum Batik Pekalongan, saya membutuhkan waktu sekitar setengah jam.
Di tengah perjalanan, sambil berharap hujan tak turun, saya melajukan sepeda motor dengan perasaan was-was. Sesekali saya pandangi langit. Mendung masih juga membayang.
Alhamdulillah, saya tiba di Museum Batik Pekalongan pada waktu yang tepat. Lima menit sebelum kegiatan dilangsungkan, sesuai jadwal. Hujan belum juga turun. Seketika setelah memarkir motor, saya bergegas menuju ruang aula.
Rupanya, ruangan aula tempat pelatihan itu diselenggarakan masih diliputi hawa dingin. Selain karena memang berpendingin udara, juga karena belum seorang pun peserta yang hadir. Ya, sayalah orang yang pertama datang.
Karena sebuah tugas, saya mesti bersabar. Saya tak boleh pergi meninggalkan lokasi tanpa membawa apa-apa. Tak berselang lama, dua orang perempuan memasuki ruang aula. Mereka lantas mengambil tempat duduk di samping saya.
Merasa sesama makhluk sosial, kami pun akhirnya melangsungkan sebuah obrolan kecil. Seperti biasa, kami berbasa-basi. Menanyakan nama, asal, kesukaan, dan sebagainya. Setidaknya, untuk membuang rasa sepi yang kadung menggayuti benak saya.
Satu per satu peserta pelatihan berdatangan. Lama-lama ruangan aula pun menjadi penuh. Sampai akhirnya, seorang mentor berdiri di hadapan kami.
Ia memulai pelatihan dengan perkenalan diri. Namanya, Fanan. Saya kagum pada caranya menyampaikan materi. Tak banyak menggunakan istilah-istilah yang bikin kepala pusing dan gaya bicaranya juga lugas. Gaya yang menurut saya tak membosankan.
Seperti umumnya pelatihan, kegiatan Belajar Bersama kali ini pun lebih banyak praktiknya. Praktik membikin batik ala Jepang. Istilah lainnya, Shibori.
Kata Fanan, Shibori ini punya teknik yang banyak. Saya mencoba praktik teknik kanoko yang sering saya jumpai di grosir pakaian batik. Ternyata tak begitu sulit. Saya hanya perlu membuat buntalan-buntalan kecil di atas kain, lalu diikat dengan karet.
Teknik lain, Miura. Saya perlu melipat kain dengan bentuk memanjang, lantas mengikatnya berurutan dengan karet. Ada lima teknik yang Fanan ajarkan kepada kami. Kanoko, Miura, Kumo, Itajime, dan Arashi. Dia juga aktif menghampiri peserta yang dirasa kesulitan lantas membantunya.
Dua jam berlangsung tanpa sadar, Fanan kemudian mengajak peserta untuk praktik dengan zat pewarna betulan yang disambut antusias. Kami membuat motif sesuai keinginan dengan berdasar apa yang tadi diajarkan Fanan. Ada beberapa peserta yang sengaja mencampur dua teknik dalam satu kain dan ternyata hasilnya cukup bagus.
Saya membuat Shibori dengan teknik Kanoko yang menurut saya paling sederhana dan juga umum. Setelahnya, semua peserta menuju tempat pewarnaan kain yang sudah disiapkan oleh panitia. Sebelum mencelupkan kain dalam ember berisi zat pewarna, saya harus mencelupkannya dahulu pada cairan bernama waterglass, yang berfungsi sebagai pengikat, agar waktu proses pencucian, warna tidak pudar.
Peserta antri satu persatu untuk mencelupkan kain karya mereka di dalam cairan waterglass, menyusul cairan pewarna, lalu diangkat dan didiamkan sebentar dalam plastik yang atasnya sudah diikat karet. Kurang lebih dua puluh menit setelah proses pendiaman itu, kain lantas dicuci lalu dikeringkan di bawah sinar matahari.
Proses praktik hingga sampai hasilnya memakan waktu hampir satu jam, namun bagi saya, itu cukup menyenangkan sekaligus memuaskan. Nazila, salah satu peserta bahkan mengatakan, dia merasa memiliki pengetahuan dan pengalaman baru setelah mengikuti acara ini.
“Aku ikut ini biar tau apa itu Shibori, nambah pengalaman, sama buat ngisi waktu luang. Ternyata asyik juga,” katanya saat saya tanyai dia sambil menunggu kain kami kering.
Saya juga menemukan sesuatu yang menarik dari Shibori ini selain karena teknik yang beragam, juga karena ada semacam gradasi warna yang timbul dari setiap teknik. Menurut Fanan, Shibori bisa dilakukan mandiri di rumah, karena tidak membutuhkan lahan luas, pun bahan-bahannya bisa ditemukan pada toko obat batik.
“Yang paling menarik lagi, kalau ada yang mau nyoba Shibori di rumah, bisa. Tidak harus punya banyak bahan atau alat, cukup kain, karet atau tali, waterglass, dan zat pewarna,” ujarnya.
Acara ditutup dengan foto bersama yang memamerkan hasil karya Shibori peserta. Ah ya, Fanan ini dari Omah Kreatif Kauman. Banyak kegiatan yang dilakukan Omah Kreatif Kauman, salah satunya kegiatan pelatihan tadi. Untuk jelasnya, bisa disapa pada Instagram @kampbatikkauman.
===================
Reporter : Nina Fitriani
Editor : Ribut Achwandi