KOTOMONO.CO – Saya kira gugatan dua stasiun televisi besar di bawah naungan MNC Grup, RCTI dan INews TV atas layanan streaming hanya sebatas gertak sambal. Nyatanya, dua televisi di bawah komando Harry Tanoe itu bukan sekadar cari sensasi. Bahkan, terakhir saya ikuti pembahasannya di Twitter, gugatan yang dilakukan dua stasiun televisi atas UU Penyiaran itu berdampak banyak.
Bukan cuma layanan streaming semacam Netflix, YouTube, dan sebangsanya yang kena. Melainkan juga layanan-layanan streaming di media sosial. Mengutip informasi dari Vice.id, jika gugatan ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, kita bakalan kesulitan untuk sekadar nonton Anya Geraldine live Instagram.
Artinya, kita juga nggak bisa sembarangan melakukan live streaming di media sosial atau platfrom online. Sebab gugatan itu memang dari awal tujuannya mengobrak-abrik UU Penyiaran. Dua televisi itu agaknya terlanjur cemburu pada platfrom online.
Televisi telah kebacut cinta sama penonton. Seperti halnya manusia, televisi pun akan mati-matian mempertahankan cintanya itu. Mempertahankan supaya masyarakat tidak berpaling ke platfrom digital.
Kecemburuan televisi terhadap platfrom online karena nggak diawasi UU Penyiaran mencapai titik paripurna. Televisi juga akhirnya menunjukkan bahwa mereka juga punya sifat posesif. Parahnya lagi, sifat posesifnya televisi ini hampir setara dengan Yudhis di film “Posesif”.
Kalau Yudhis ini berani mencelakai siapa pun yang mendekati pacarnya. Nah, sedangkan televisi berani menjegal apa pun supaya nggak kehilangan perhatian dari penontonnya. Sampai-sampai cara-cara yang susah dinalar pun mereka tempuh. Termasuk menggugat materi UU Penyiaran.
Saya akan sedikit memberi gambaran mengapa dua televisi tersebut serius menggugat materi UU Penyiaran, dan kaitannya dengan platfrom digital. Barangkali ada yang belum tahu, ya kan? Oke…
Alkisah, sekitaran tahun 1998, atau kira-kira beberapa bulan setelah Soeharto turun dari tahta, media pun bersuka-cita. Pasalnya, selama kepemimpinan Soeharto media tersumpal. Media—apa pun itu—yang coba-coba melancarkan gelombang kritik ke Orde Baru akan diberangus.
Pasca peristiwa 1998 meletus dan reformasi bergelora, media nggak lagi terbelenggu. Presiden Baharuddin Jusuf Habibie—pengganti Soeharto—yang terkenal demokratis sukses membuka belenggu itu. Kebebasan pers pun mendadak naik daun.
Lahirlah UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang mengatur tentang pers di Indonesia. Sejak itu media-media pun mulai lahir. Nggak cuma media massa cetak atau radio, tapi televisi juga sudah mulai menggeliat.
Singkat cerita, beberapa tahun setelah itu, lahir pula UU Nomor 32 Tahun 2002 yang mengatur tentang Penyiaran. Undang-undang inilah yang kemudian lebih dikenal dengan UU Penyiaran. Melalui regulasi berupa UU Penyiaran, segala yang bertautan dengan kepenyiaran mulai diatur dan diawasi.
Radio dan televisi masuk ke dalam yang diatur UU Penyiaran tadi. Sebab keduanya memanfaatkan frekuensi publik dalam mendistribusikan konten-kontennya. Itu sebabnya kita nggak perlu biaya buat mendengarkan Kojah Sastra di Radio Kota Batik, atau menonton Dunia Terbalik di RCTI.
Lain halnya dengan internet atau platfrom streaming yang nggak memakai frekuensi publik, sehingga nggak masuk dalam kategori perangkat siaran. Otomatis UU Penyiaran juga nggak mengaturnya. Nah inilah yang membikin dua televisi iri sekaligus cemburu.
Program televisi selalu diawasi oleh UU Penyiaran. Kalau ada yang nggak sesuai, melanggar ketentuan, atau apa pun itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berwenang atas UU Penyiaran bakal menegurnya. Mulai dari sekadar teguran ringan sampai sanksi serius.
Dari belasan stasiun televisi, saya acungi jempol buat RCTI dan INews TV. Pak Harry Tanoe saya yakin punya daya juang tinggi untuk mempertahankan industri pertelevisian miliknya. Namun, bisa nggak sih kalau caranya elegan dikit? Cemburu boleh, mau posesif pun sah-sah saja, tapi nggak usah beringas gitu.

Udah beringas, main terabas begitu saja. Nggak tengok kanan-kiri, depan-belakang. Nih saya preteli mengapa yang dilakukan RCTI dan INews TV adalah tindakan yang ceroboh.
Saya tahu, platfrom-platfrom streaming itu nggak semua kontennya positif, edukatif, dan inovatif. Wajar sih, kalau mengkritik platfrom kayak YouTube, Netflix, Instagram, dan sebangsanya. Tapi, mbok ya coba direnungkan dulu. Silakan berkontemplasi, apakah konten televisi jauh lebih baik ketimbang platfrom online?
Itu baru soal konten. Lalu siapa yang akan menindak kalau terjadi pelanggaran konstitusional? Misalnya, Netflix teledor nggak menyaring konten negatif. Siapa yang akan menindaknya? Atau mungkin, pertanyaan lebih mendasar, siapa yang bakal melaporkan terjadinya pelanggaran di sana?
Setahu saya, supaya bisa pakai Netflix butuh langganan dulu. Mengeluarkan duit dulu bos, baru boleh tuh cari mana konten negatif yang nggak edukatif. Akan sangat belibet kalau gugatan itu dikabulkan.
Tanpa regulasi njelimet dan campur tangan undang-undang, platfrom-platfrom streaming itu telah lebih dulu memikirkan soal penyaringan konten. YouTube, Viu, Iflix, Netflix, Instagram, Facebook, dan platfrom atau media sosial lain sudah ada filter kontennya tuh. Sudahlah… RCTI dan INews itu mengada-ada doang.
Kalau boleh jujur, saya juga kaget, kok bisa televisi secemburu itu pada platfrom online? Padahal sampai hari ini televisi masih menjadi primadona kok. Buktinya, mengutip Media Indonesia, selama pandemi Covid-19, penonton televisi juga sama melonjaknya dengan pengguna internet.
Survei Nielsen Television Audience Measurement (TAM) mungkin bisa bikin RCTI dan INews TV sedikit melunak. Dari survei tersebut, pada awal-awal pandemi menyerang Indonesia, intensitas masyarakat dalam menonton televisi meroket. Bahkan rata-rata sampai 5 jam 29 menit per harinya. Sementara waktu yang dihabiskan oleh penduduk Indonesia dalam berselancar internet, dirata-rata cuma 3 jam 14 menit saja per hari.
Oleh karena itu, RCTI dan INews TV, atau nanti misal televisi yang lain, sebaiknya nggak perlulah cemburu berlebihan. Kalau takut penontonnya pindah ke streaming online, bikin saja televisi versi streaming. RCTI punya RCTI+ yang ketika saya tonton banyak juga drama series khas televisi.
Mengapa nggak memanfaatkan itu? Dengan hadirnya internet, televisi—tempatnya orang-orang kreatif—harusnya bisa menangkap peluang itu. Televisi juga bisa mengepakkan sayapnya lebih luas lagi. Jadi bukan cuma numpang di frekuensi publik.
Internet itu bisa menjadi bekal buat televisi. Siapa tahu nanti yang namanya frekuensi publik itu bakalan lenyap. Televisi mau nayangin di mana coba? Tirulah radio yang adem-ayem meski digempur televisi dan internet.
Mengapa bisa begitu? Alasan yang bisa saya terka adalah mungkin para pegiat (baca: pebisnis) radio itu lebih suka berkreasi dan berinovasi sekaligus beradaptasi dengan platfrom digital, daripada menjegalnya dengan cara-cara yang ceroboh.