
Sabtu malam, 4 Mei 2024, di Sanggar Pakerti yang ada di Kalipucang Kulon, Batang, sebuah diskusi digelar. Temanya, “Tribute to Jokpin”. Tema ini diambil karena ada keinginan dari penggiat Sanggar Pakerti untuk mengenang kepulangan seorang maestro sastra Indonesia masa kini, Joko Pinurbo, ke haribaan Sang Pencipta pada tanggal 27 April 2024. Bisa dibilang acara ini sekaligus acara mitoni alias peringatan tujuh hari kepulangan beliau.
Saya tiba di lokasi acara sekitar pukul 19.40 bareng kawan saya Handono. Dia ini sekarang suka nganter saya kemana saja saya pergi. Nggak cuman itu, ia juga yang mendokumentasikan kegiatan yang saya ikuti. Mulai dari foto sampai videonya. Semua ia kerjakan sendiri.
Setiba di tempat acara, di Warung Bertumbuh, saya menjumpai banyak orang di sana. Rata-rata adalah para penggiat seni dan penggiat komunitas literasi Batang yang tergabung dalam Komunitas Bunga Liar. Ada mas Agus Candiareng bersama gengnya. Ada pula kawan-kawan Teater Jaten. Kawan-kawan dari Komunitas Tujuh Desa ikut pula hadir. Juga hadir Kurnia Hidayati, perempuan penyair asal Batang yang energik betul. Mbak Ratih juga turut hadir bersama kawan-kawan satu lingkarannya. Tak ketinggalan, Mas M.J.A. Nashir yang mandegani Komite Sastra di DKD Batang dan Pak Heri yang dedengkotnya literasi Batang. Semua tumplek bleg di acara itu.
Sekitar pukul 20.00 acara dimulai. Diawali dengan parade pembacaan puisi karya Joko Pinurbo. Satu per satu para penampil membacakan puisi Jokpin. Suasana begitu syahdu, sesyahdu untaian kata-kata yang ditulis Jokpin dalam puisi-puisinya.
Satu jam berlalu. Acara diskusi pun mulai digulirkan. Mas Agus Candiareng dan saya didapuk sebagai pemantik diskusi. Saya mendapatkan kesempatan pertama untuk menyampaikan tanggapan tentang Joko Pinurbo.
Saya mulai dari thesisnya J. Hillis Miller yang ditulis dalam bukunya On Literature. Terutama, tentang pembacaannya atas gejala zaman yang sedang berlangsung dan memengaruhi kehidupan masyarakat dunia saat ini. Sedikit saya kutipkan pernyataan Miller (2011):
Akhir sastra sudah di depan mata. Era sastra sudah hampir berakhir. Sudah saatnya. Karena sekarang adalah zamannya media yang berbeda. Selain masanya yang mendekati akhir, sebenarnya sastra itu kekal dan universal. Sastra akan bertahan menghadapi segala perubahan yang sifatnya historis dan teknologi. Sastra merupakan bagian dari kebudayaan manusia di segala waktu dan tempat. Dua premis yang saling bertolak belakang ini mencakup segala cerminan serius “tentang sastra” masa kini.
Melalui kutipan itu, Miller ingin mengantarkan kita pada persoalan yang paradoks menyoal istilah “literature” itu sendiri. Atau semacam gugatan atas estimologi “literature” yang dalam perkembangan paling kini mengalami penyempitan makna. “Literature” hanya disandangkan kepada puisi, prosa, dan naskah drama. Berbeda dengan makna sebelumnya yang mampu menjangkau pada beragam aspek.
Konsekuensi atas penyempitan makna itu baru dirasakan saat ini. Pemikir-pemikir Barat mulai merasa resah akibat kemunculan media-media baru yang sama sekali berbeda dengan era modern. Media-media yang dilahirkan dari rahim kecanggihan teknologi informatika dan komunikasi telah membuat otak para pemikir mesti mencabut semua gagasan yang sebelumnya telah dikokohkan. Bahwa, “literature” sebatas apa yang oleh diktat-diktat perkuliahan sajikan.
Fenomena itu juga terjadi di negeri yang kaya akan cerita ini. Indonesia namanya. Atau, kalau mau lebih longgar lagi saya memakai nama Nusantara. Istilah “sastra” yang sekarang jauh berbeda maknanya dengan bentuk asalinya. Lebih-lebih, ketika “sastra” dikategorikan ke dalam rumpun keilmuan. Makin sempit dan saat seperti sekarang ini nyaris kehilangan ruang geraknya.
Memang, tidak dimungkiri masih ada celah-celah yang bisa dimanfaatkan dalam memandang “sastra” sebagai ilmu. Ia bisa saja berkawin dengan ilmu-ilmu lain. Istilah kerennya, studi lintas disiplin ilmu. Akan tetapi, kajian-kajian itu rupanya belum juga mampu memuaskan.
Sampai-sampai, Remy Sylado dalam 123 Ayat tentang Seni melontarkan kritik tajamnya terhadap definisi “sastra” yang cenderung menginduk pada pemahaman Barat. Sudah begitu, dipandang keliru pula mengambil jalurnya. Alhasil, kajian-kajian yang disajikan masih terlalu mentah dan tidak membuahkan kesegaran gagasan yang bisa menjadi pijakan untuk menapak masa depan “sastra” itu sendiri. Malahan, terjebak pada dunia yang asing dan hanya bergerak melingkar di wilayah itu-itu saja.
Keberatan serupa juga pernah disampaikan Budi Darma. Akan tetapi, ia lebih menilik pada kecenderungan personal sebagian akademisi. Ia mengelus dada karena mulai era 80an muncul sebuah gejala yang memilukan. Sebagian besar akademisi memalingkan muka untuk menggeluti kajian sastra dengan harapan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang brilian. Mereka beramai-ramai beralih lapangan kajian. Yaitu, linguistik. Alasannya, bahkan sepele. Hanya karena memandang lingustik memberikan peluang kemudahan bagi para akademisi untuk melakukan kajian-kajian.
Sapardi Djoko Damono lebih kurang seirama dengan Budi Darma. Melalui pencermatannya, para pengkaji sastra yang dihasilkan dari didikan kampus-kampus kurang memberikan kesegaran. Bahkan, dalam sebuah kesempatan yang langka, saat saya sempat berbincang secara pribadi, Sapardi sempat melontarkan pernyataan yang membuat saya terhenyak. Bahwa, kajian-kajian sastra kampusan kadang kurang mampu menyentuh pada persoalan yang paling mendasar di masyarakat. Untuk alasan itu, diperlukan tandingannya. Yaitu, kajian-kajian sastra di luar pagar kampus, bila perlu yang liar sekalian.
Melalui itu semua, lantas saya katakan, peringatan kematian Joko Pinurbo bukan sekadar memeringati kepulangan sosoknya. Akan tetapi, perlu direnungkan kembali, bahwa tujuan peringatan ini adalah sebuah pembacaan ulang atas gejala kesusastraan yang diusung oleh Joko Pinurbo lewat puisi-puisinya. Dengan lain perkataan, Joko Pinurbo mesti kita baca sebagai fenomena.
Fenomena apa? Tentu, fenomena kesusastraan! Akan tetapi, fenomena ini mesti kita lihat dari berbagai sudut. Sehingga, kita bisa menemukan jangkauan, jarak, spektrum, dimensi, keluasan, dan kedalaman makna “kesusastraan” itu sendiri. Tujuannya, agar kita tak terkungkung pada pengertian yang selama ini menjadi kaku dan membuat kita sulit menemukan ruang yang tepat untuk membicarakan sastra.
Sebagaimana dipahami awam, istilah “puisi” itu terkesan menyeramkan. Seseram istilah “sastra” atau pula “filsafat”. Apa buktinya? Buktinya, saat kita ditantang untuk membuat sebuah puisi, dari sekian banyak orang paling hanya beberapa gelintir saja yang langsung menyambutnya dengan gembira. Begitu pula ketika kita ditantang untuk membacakannya. Tidak serta merta orang akan maju dan menaiki tangga panggung. Lalu, dengan enteng saja membacakan puisi sesuai gaya yang ia suka.
Tetapi anehnya, saat seseorang membacakan puisi di atas panggung, tidak banyak orang yang khidmat menikmati. Hanya sebagian kecil yang benar-benar punya hasrat untuk menikmatinya. Mengapa? Ada beragam alasan untuk masalah ini, salah satunya karena menganggap puisi itu rumit dan sulit dimengerti. Mungkin juga ada yang menganggap, pembacaan puisi bukan hiburan, berbeda dengan musik. Bisa dinikmati sambil menganggukkan kepala atau menghentak-hentakkan kaki ke lantai.
Walau begitu, mereka yang mungkin tak mampu menikmati sajian pembacaan puisi dan takut kalau disuruh baca puisi, diam-diam punya ketertarikan pada puisi saat mereka membaca potongan-potongan baik yang kadang muncul di beranda media sosial atau pada lembar-lembar undangan pernikahan. Sambil membacanya dalam hati, mereka bisa saja tersenyum atau menganggukkan kepala karena merasa terwakilkan perasaan dan pikirannya. Atau pula merasa kagum dengan kata-kata.
Betapa menyeramkan “puisi” itu. Seperti hantu. Senang orang mengisahkan cerita-cerita horor, namun tak ingin mereka menjumpai hantu-hantu itu. Takut! Begitu pula saat muncul iklan film horor. Sebagian orang merasa penasaran dan bersemangat untuk mendapatkan tiketnya di bioskop. Lalu, saat menyaksikan film itu, mereka akan menutup mata dan telinga saat adegan hantu itu ditunjukkan. Anehnya, setelah menonton mereka akan menceritakan apa saja tentang film itu, lengkap dengan sensasi yang dirasakannya.
Tetapi, mari kita lihat bagaimana puisi-puisi Joko Pinurbo. Sebagai sebuah fenomena yang digerakkan dan bergerak beriringan dengan gerak zaman, puisi-puisi Joko Pinurbo adalah puisi yang agaknya bernasib mujur di antara sekian banyak puisi-puisi lain. Tak pelak, jika puisi-puisi Joko Pinurbo disebut-sebut oleh sebagian besar kalangan—khususnya yang non akademik—sebagai puisi masa kini. Yaitu, puisi yang mencerminkan masa kini. Atau dengan pernyataan lain, puisi-puisi Joko Pinurbo merupakan ekspresi kekinian.
Mungkin saja sebagian akademisi dengan pandangan sinisnya menganggap puisi Joko Pinurbo sekadar sebuah tren. Akan tetapi, bagi saya, puisi Joko Pinurbo lebih dari tren. Hemat saya, puisi Joko Pinurbo adalah sebuah jawaban dari berbagai macam kebekuan yang dihasilkan oleh kekakuan batasan-batasan yang kadung “disepakati”. Ia mencairkan sekaligus meluweskan kesan kikuk dan canggung yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Sebagaimana pernah saya alami di lingkungan sebuah kampus yang serba menegangkan. Hubungan-hubungan di antara sesama civitas akademika terlalu struktural dan hampir-hampir kehilangan sisi kemanusiaannya. Perbedaan pendapat bukan lagi dipandang sebagai kekayaan gagasan, melainkan ancaman. Akibatnya, lingkungan yang semestinya menjadi ruang diskursus yang disegarkan oleh gagasan-gagasan baru malah menjadi semacam kerangkeng bagi pemikiran. Orang hanya boleh berpikir selama itu menyoal bagaimana mencari uang. Soal uang, Joko Pinurbo menulis:
Kepada Uang
Uang, berilah aku rumah yang murah saja,
yang cukup nyaman buat berteduh
senja-senjaku, yang jendelanya
hijau menganga seperti jendela mataku.
Sabar ya, aku harus menabung dulu.
Menabung laparmu, menabung mimpimu.
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu.
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja,
yang cukup hangat buat merawat
encok-encokku, yang kakinya
lentur dan liat seperti kaki masa kecilku.
Nyentil betul puisi “Kepada Uang”-nya Joko Pinurbo. Sadis! Terutama, bagi para pendamba kemewahan yang mati-matian mengejar dan membela gengsi belaka. Saya tidak tahu, apakah di kampus tempat saya dulu bekerja adalah tempat untuk mencari gengsi. Kalau iya, maka ia telah gagal menjadi sebuah monumen hidup seperti yang dicita-citakan founding fathers-nya. Sebab, segala yang ada di sana tidak lebih sekadar etalase kepura-puraan atau semacam galeri topeng. Akan tetapi, kalau tidak, maka masih ada peluang untuk memperbaiki keadaan. Sehingga, banyak yang bisa dibuahkan dari apa yang telah ditanam. Kemudian, buah-buah itu dihidangkan kepada khalayak untuk dinikmati bersama-sama. Bukan untuk dimakan sendiri dalam kemeriahan pesta, sementara lingkungan sekitar masih banyak yang kelaparan.
Demikian pula puisi atau seni-seni lainnya. Tak ada gunanya jika ia berjarak dengan lingkungan. Sebagaimana pernah diingatkan mendiang WS. Rendra; //Apakah artinya kesenian,/ bila terpisah dari derita lingkungan./ Apakah artinya berpikir,/ bila terpisah dari masalah kehidupan.//. Hakikat kesenian adalah pengejawantahan atas perikehidupan sehari-hari yang dijalani masyarakat. Seni memberi penghiburan sekaligus memberi makna pada setiap bagian dari kehidupan. Dengan begitu, keindahan sebuah seni terletak pada kemampuannya merepresentasikan keragaman hidup dan kehidupan yang dijalani oleh suatu masyarakat.
Sejalan dengan itu pula, kehidupan masyarakat tidak bisa lepas dari gelombang perubahan zaman dari masa ke masa. Agaknya kita perlu menilik kembali bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi dari waktu ke waktu. Terutama di negeri kita ini. Seperti kita tahu, pada masa revolusi, negeri ini dipenuhi dengan ketegangan-ketegangan yang didorong oleh keinginan untuk menjadi bangsa yang merdeka. Maka, cara hidup masyarakat pun menjadi demikian keras. Di era berikutnya, ketika Orde Lama berkuasa, cara hidup masyarakat mungkin saja tak bergeser jauh dari masa sebelumnya. Apalagi dorongan keinginan untuk menegakkan jati diri bangsa masih demikian masifnya. Di era ini pula terjadi persaingan antarideologi, hingga mewariskan trauma sosial berkepanjangan akibat perselisihan yang antiklimaks. Pengaruh trauma itu dibawa pula oleh Orde Baru sebagai cara mereka mengendalikan kehidupan masyarakat. Selama 30 tahun lebih, rakyat ditekan oleh kekuasaan otoriter. Sampai pada puncaknya, akhir 90an, gelombang protes membesar. Orang-orang menghendaki tatanan baru yang lebih baik dan jauh dari korupsi. Muncullah era reformasi sebagai jawaban. Akan tetapi, pada perjalanannya, agenda reformasi agaknya mengalami hambatan. Makin ruwet pula perikehidupan yang dialami masyarakat.
Perubahan-perubahan itu secara tidak langsung memiliki kaitan dengan gejala kesusastraan dan berpengaruh pula pada bagaimana bahasa digunakan, terutama bahasa sebagai alat politik. Di era Orde Lama, bahasa digunakan sebagai alat propaganda. Para penyair yang kala itu sempat terpolarisasi oleh kepentingan kelompok politik, memanfaatkan bahasa sebagai cara untuk menginfiltrasi ideologi-ideologi yang mereka yakini. Muncul pula tiga kelompok besar, yaitu Manifestasi Kebudayaan, Lekra, dan satu kelompok lagi Lesbumi.
Pertentangan ideologi inilah yang memicu penggunaan bahasa menjadi tajam untuk saling serang di antara kelompok-kelompok kepentingan. Tidak terkecuali di dalam puisi-puisi yang ditulis para penyair di era itu. Sementara, pada masa Orde Baru, tindakan represif yang berlebihan dan tatanan yang korup membuat para penyair kerap menyampaikan kritiknya dengan gaya bahasa yang tidak kalah tajamnya. Sampai-sampai, puisi dianggap sebagai ancaman. Tak pelak, sejumlah penyair pun menjadi incaran. Wiji Thukul, salah satunya.
Puncaknya, era reformasi. Di era ini terjadi semacam penyegaran. Terutama, dalam daya ungkap yang mencoba menampilkan gejala-gejala sosial dan politik. Bahkan, nyaris bisa dibilang vulgar. Namun, agaknya di era 2000an muncul pula gejala kebahasaan baru yang lebih sederhana dan lugas. Dan, itu yang kemudian dilakukan oleh Joko Pinurbo. Maka, tidak berlebihan jika puisi Joko Pinurbo mewakili nilai estetika masyarakat kekinian lewat gaya tuturnya yang sederhana.
Sekarang, mari kita cermati puisi “Kamus Kecil” karya Joko Pinurbo:
Kamus Kecil
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu
Walau kadang rumit dan membingungkan
Ia mengajari saya cara mengarang ilmu
Sehingga saya tahu
Bahwa sumber segala kisah adalah kasih
Bahwa ingin berawal dari angan
Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba
Bahwa segala yang baik akan berbiak
Bahwa orang ramah tidak mudah marah
Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih
Bahwa seorang bintang harus tahan banting
Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan
Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira
Sedangkan pemulung tidak pelnah merasa gembila
Bahwa orang putus asa suka memanggil asu
Bahwa lidah memang pandai berdalih
Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa
Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman
Bahasa Indonesiaku yang gundah
Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu
Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat
Dimana kau induk kalimat dan aku anak kalimat
Ketika induk kalimat bilang pulang
Anak kalimat paham
Bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung
Ruang penuh raung
Segala kenang tertidur di dalam kening
Ketika akhirnya matamu mati
Kita sudah menjadi kalimat tunggal
Yang ingin tinggal
Dan berharap tak ada yang bakal tanggal.
2014
Lewat puisi sederhana yang oleh Joko Pinurbo sendiri anggap sebagai permainan kata, ia berhasil membidik sebuah problem yang barangkali luput dari perhatian publik. Sekaligus, ia berhasil membawakan kritik itu dengan cara yang ringan. Bahkan, boleh dibilang ia telah berhasil menjadi kiblat perpuisian di kalangan muda-mudi negeri ini.
Dengan kata lain, Joko Pinurbo ingin menampilkan puisi dalam daya ungkap yang sederhana, tak banyak polesan, dan enak saja untuk dinikmati. Ia seperti hendak mendorong publik untuk menulis puisi tanpa beban. Puisi tak mesti ditulis dengan gaya yang serba mewah, sebab di masa kini kesederhanaan adalah kemewahan. Seperti itu pula dalam dunia arsitektur yang belakangan memilih gaya minimalis.
Joko Pinurbo ingin menghidupkan kegairahan dalam berpuisi dengan menghindari kerumitan-kerumitan. Meski sebenarnya yang ia suarakan dalam puisinya adalah persoalan rumit. Bahkan, jauh lebih menohok dan dalam-dalam betul maknanya. Joko Pinurbo seolah ingin mengatakan kepada kita agar tidak takut menulis tentang apa saja dengan gaya, irama, dan cara berpikir kita secara jujur. Begitulah Joko Pinurbo.
Kini, ia telah berpulang. Dan, kepulangannya, bagi saya, adalah sebuah tanda, sebuah kode rahasia alam tentang perguliran zaman. Entah, zaman apa yang akan bergulir di kemudian hari. Kita tidak pernah tahu. Akan tetapi, dengan tekun membaca, pengetahuan tentang perubahan-perubahan itu bisa kita baca, sehingga kita menjadi pribadi yang tak mudah kaget ketika menghadapi gelombang-gelombang perubahan yang berlaku. Semoga kita masih setia menjadi seorang pembaca.