KOTOMONO.CO – Saya tidak bisa membayangkan betapa bahagianya rakyat Indonesia andai saja Timnas Indonesia mengalahkan Irak di perebutan juara ketiga di Piala Asia U-23.
Di Kota Madrid, para madridista dan pemain Real Madrid akan menyemut di sekitar patung Dewi Cibeles. Ketika Real Madrid meraih trofi, para pemain akan naik dan membaiat sang dewi dengan atribut bernuansa Los Galacticos.
Sementara di Sungai Nervion di Kota Bilbao, penggemar Athletic Bilbao berduyun-duyun menyusuri sungai usai mengakhiri penantian 40 tahun gelar Copa del Rey.
Jika Indonesia mengalahkan Irak dan lolos Olimpiade 2024 langsung tanpa melakoni babak play-off, kira-kira perayaan seperti apa yang bakal terjadi? Bisa jadi rakyat Indonesia akan merayakannya dengan cara turun.
Turun ke mana? Ke media sosial. Rakyat Indonesia terlalu sibuk untuk turun ke Monas. Apalagi saat menampakkan diri bergerombol di Monas, mata-mata tajam penuh curiga selalu mengintai. Merayakannya di media sosial sudah cukup.
Irit waktu, irit biaya, irit tenaga. Dan yang pasti masih tetap kelihatan nasionalis. Tak terbayangkan, orang-orang akan sibuk membahas Timnas Indonesia di lini masa. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan.
Lha gimana? Mengalahkan Irak. Untuk pertama kalinya sejak 1958—catatan level senior. Lolos ke Olimpiade usai 68 tahun absen. Ini tentu pencapaian. Meski sekali lagi, statusnya hanyalah juara tiga di kompetisi kelompok umur yang, sama sekali tidak masuk kalender FIFA.
Semua akan sibuk membahas Timnas. Media-media di seluruh Indonesia, bahkan mungkin kalau beruntung, di dunia, akan menggenjot mati-matian konten timnas, sampai tak ada satu pun yang bisa diperas.
Dari kedatangan Shin Tae-yong ke timnas, sampai masuknya wanita cantik yang menjadi istri para punggawa timnas. Dari kehebatan Erick Thohir hingga cita-cita membangkitkan sepak bola melalui strategi paling mutakhir. Dari sejarah jersey sampai alasan kenapa Egy Maulana Vikri mempersunting anak sulung Uje.
Saya tidak bisa memprediksi ada berapa banyak konten yang akan bermunculan di media sosial dan di media online. Mungkin puluhan. Ah, tidak, bisa jadi ratusan. Juga tak menutup kemungkinan ribuan.
Kegagalan Timnas Indonesia U-23
Namun, Sang Khalik tidak menghendaki kemenangan. Indonesia terkapar di hadapan Irak. Indonesia dipermalukan di Stadion Abdullah bin Khalifa yang, kalau meminjam kata komentator di televisi, sudah menjadi markas kedua timnas.
Ya, ya, siapa pun bisa bilang kalau Indonesia U-23 main bagus di laga itu. Sistem permainannya menakjubkan. Umpan-umpan dan cara mereka mencari peluang mengingatkan saya pada Manchester United era Sir Alex Ferguson. Itu kian meyakinkan ketika tendangan Jenner yang keras tapi mendatar tak mampu dibendung Hussein Hasan.
Penggemar di Khalifa bergemuruh. Orang-orang yang nobar di pos kamling teriak seakan tetangga mereka tak punya kuping. Di media sosial, keyakinan kalau Indonesia U-23 akan memenangkan laga terus didengungkan oleh akun-akun sialan yang sok nasionalis.
Mereka bersuka cita, tapi meleng matanya. Tak melihat kalau di papan skor, laga baru berjalan 19 menit. Butuh 71 satu menit lagi untuk memastikan gol Jenner tak dibalas oleh Irak. Namun, Timnas Indonesia dan pendukungnya lupa. Bahwa Irak bukanlah Brunei Darussalam. Ia juga berbeda dengan misalnya, Kamboja.
Keunggulan 1-0 mudah dikejar oleh Irak. Dan alhasil, setelah menyamakan kedudukan, Irak justru membalikkan keadaan di babak tambahan. Gol Ali Jasim, saya yakin, membuat pendukung Timnas Indonesia lesu. Dan ujungnya, mereka akan mencari sosok yang pantas dijadikan samsak tinju.
Marselino Jadi Korban
Kekalahan atas Irak memupuskan mimpi ke Olimpiade. Setidaknya untuk sementara. Indonesia masih punya satu kesempatan melawan Guinea. Ya, Guinea. Negara yang melahirkan Naby Keita. Gelandang mungil yang sempat membikin Jurgen Klopp frustrasi mencari penggantinya.
Benar apa yang saya bilang. Suporter Indonesia yang meyakini berantem adalah solusi menemukan samsak jari. Ndilalah orang itu adalah pemain timnas sendiri. Namanya Marselino Ferdinan. Bocah 19 tahun kelahiran Jakarta namun sering dibanggakan arek Surabaya. Bocah yang selalu menjadi tulang punggung Timnas Indonesia buntut dari minimnya pemain lokal berkualitas.
Perkaranya sederhana. Marselino memosing kalimat “Hahaha Negara Lucu” di konten eksklusif Instagram. Sialnya, konten istimewa yang hanya bisa diperoleh pengguna premium justru dibagikan oleh pengguna Tik Tok yang, sering membagikan konten apapun ke khalayak umum.
Selidik punya selidik, postingan itu didasari karena Marselino merasa risih dengan komentar warganet yang berdalih cuma mengkritik Marselino karena egois. Marselino dituding baperan. Masa jadi pemain timnas dikritik saja baper, sih? Gitu kata warganet yang otaknya berada di pantat.
Ha mbok kira baper hanya boleh dialami orang yang lagi PDKT?
Mereka gagal membedakan, mana kritik mana hinaan. Ya, saya memaklumi hal itu. Karena mungkin sudah kebiasaan warganet keliru membedakan mana pantat mana kepala.
Coba bayangkan kalau Marselino mencetak gol. Timnas Indonesia melaju ke Olimpiade. Para warganet resek tidak akan keluar. Namun, yang terjadi kan nggak begitu. Indonesia kalah, Marselino dipaksa nelalah.
Tak apa Marsel. Kariermu masih panjang. Selama kamu membela Timnas Indonesia, kekalahan-kekalahan lainnya mengantre.
Untung Kalah
Kekalahan Indonesia di perebutan juara ketiga adalah kekalahan yang, menurut saya, tidak lebih mengejutkan dari kalahnya Liverpool atas Atalanta di Liga Eropa di markasnya sendiri. Bahkan saya pikir, untung Timnas Indonesia kalah. Kita jadi tahu betapa manipulatifnya para pencinta Timnas Indonesia.
Kekalahan membuat kita tahu bahwa warganet bola, yang ngakunya fans Timnas Indonesia ternyata mudah dikendalikan. Namun, lebih penting dari itu kekalahan mendorong kita mawas diri. Bahwa Timnas Indonesia U-23 sanggupnya cuma segini.
Indonesia masih berada jauh di belakang tiga tim lainnya di semifinal. Kemenangan atas Korea Selatan dan Australia sama sekali tidak bisa menjadi tolok ukur bahwa Indonesia selevel dengan dua negara langganan Piala Dunia itu dan merasa pantas menghadapi Irak. Negara perang yang sangat serius membangun sepak bola.
Memperbaiki Sepak Bola Indonesia
Banyak yang harus diperbaiki. Dan saya rasa, ini bukan tugas Marselino tapi PSSI. Mau sampai kapan Timnas Indonesia terus dijadikan modal politik? Berlindung di balik lambang Garuda, lantas mengelola sepak bola seenaknya.
Tim nasional tidak bisa dibangun hanya dengan mencari pemain di luar negeri lantas dinaturalisasi. Oke, negara-negara kuat lainnya, seperti Prancis juga memakai pemain keturunan. Bahkan imigran. Namun, Prancis tidak memakai pemain jadi hasil polesan luar negeri.
Prancis tetap melakukan pembinaan. Prancis membina pemain-pemain keturunan dan imigran di negaranya. Sama sekali tidak mengandalkan para pemain hasil binaan negara lain. Lihatlah misalnya Paul Pogba, N’Golo Kante, sampai Kylian Mbappe.
Berbeda jauh dengan apa yang dilakukan PSSI untuk Timnas Indonesia hari ini. Jika terus begitu, ini menunjukkan bahwa PSSI sebetulnya tidak serius-serius amat mengelola sepak bola dalam negeri. PSSI juga sangat gagap. Tidak tahu bahwa sepak bola dalam negeri bukan cuma timnas.
Selama benang kusut sepak bola belum terurai. Selama mafia bola ikut mengurusi sepak bola. Hingga kompetisi dalam negeri tidak lagi yang penting jalan. Sepanjang politik mencampuri urusan sepak bola. Sampai keadilan buat 135 lebih korban Tragedi Kanjuruhan belum tuntas betul.
Selama itu, kita sebatas berharap Timnas Indonesia selalu mendapat mukjizat bernama kemenangan. Demi Timnas Indonesia kita tak akan berhenti memanjatkan kepada Tuhan doa setulus hati. Entah Tuhan mana yang kita yakini.