KOTOMONO.CO – Belum lama ini, pernyataan kontroversial keluar dari mulut ustaz kondang yang sering wara wiri di televisi, sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhid, Abdullah Gymnastiar, atau biasa dipanggil Aa Gym. Beliau menyebutkan bahwa istrinya sudah “turun mesin” hingga tujuh kali. Aa Gym menggunakan istilah “turun mesin” untuk menggantikan kata melahirkan.
Dengan adanya fenomena tersebut, Aa Gym menuai kritik dari warganet. Ada yang menyebutkan bahwa ungkapan Aa Gym adalah bentuk objektifikasi perempuan. Iya memang betul, Aa Gym sudah sangat sembrono menyamakan istrinya dengan kendaraan bermotor.
Tak hanya warga net, Komnas Perempuan juga turut berkomentar dengan pernyataan Aa Gym. Dilansir dari CNN Indonesia, salah satu komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, mengatakan bahwa istilah “turun mesin” yang disematkan untuk istrinya termasuk kekerasan verbal. Aa Gym telah menempatkan perempuan hanya sebatas objek seks.
Sebenarnya, saya pribadi nggak kaget-kaget amat kalau ada “ulama” yang sering merendahkan posisi perempuan. Namun, tetap saja, mendengar kabar itu, hati saya miris, kayak ya ampun… kok gitu sih? Sependek pengetahuan saya, dan silakan Aa koreksi bila salah, yang namanya ulama, kan, selalu menjadi role model kehidupan bagi banyak orang. Etapi, orang yang menjadi panutan malah sering menyebar kebencian dan tak jarang merendahkan harkat dan martabat seorang perempuan.
BACA JUGA: Apakah Menjadi Perempuan itu Sulit?
Jika yang seperti Aa katakan itu dibiarkan, maka masyarakat akan terus melanggengkan budaya patriarki. Ingat, budaya patriarki ini sangat merugikan perempuan. Jika dibiarkan begitu saja, Aa Gym-Aa Gym lainnya juga akan bermunculan. Entar banyak suami yang menyamakan istrinya dengan kendaraan bermotor. Duh.
Makanya, istilah “turun mesin” itu mbok ya disematkan untuk kendaraan bermotor saja. Itu pun kalau memang kendaraannya diwajibkan untuk turun mesin. Toh bagi seorang pengguna kendaraan bermotor tentu ogah kalau ada yang mengatakan kendaraannya harus turun mesin. Hla wong sebenarnya mesinnya dalam keadaan baik-baik saja.
Kendaraan baik-baik saja juga tidak mau jika dituntut untuk “turun mesin” apalagi seorang perempuan yang telah melahirkan. Bayangkan ketika hamil dan melahirkan yang banyak sekali rintangannya, bahkan nyawa menjadi taruhan, eh, bukannya mendapat apresiasi malah disebut “turun mesin” oleh laki-laki yang mulutnya perlu dikursuskan.
Sebenarnya, masih banyak kasus-kasus objektifikasi perempuan lainnya, tentu bukan cuma Aa Gym. Masih banyak laki-laki yang sering memandang perempuan sebagai objek.
Misalnya, laki-laki yang memaksa pasangannya untuk berhubungan seks dengannya, padahal kondisi tubuh dan bahkan mentalnya sedang tidak baik-baik saja. Namun yang terjadi justru kalau perempuan menolaknya, maka tafsir agama yang sangat patriarkis akan menjadi senjata para laki-laki. Hal ini jelas akan membuat posisi perempuan menjadi semakin sulit.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Perempuan yang Selalu Dituntut ‘Manut’ dengan Pasangannya
Tafsir agama yang demikian juga sering digaungkan oleh para “ulama” saat sedang berceramah di depan para jamaahnya. Kendati hal itu justru sangat bahaya jika diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, para pelaku pelecehan dan kekerasan seksual pun memandang perempuan sebagai objek. Para pelaku kejahatan tersebut tidak memandang korban sebagai manusia seutuhnya.
Buktinya, para pelaku tidak meminta persetujuan dari para korban untuk melakukan hubungan seksual. Para pelaku hanya ingin memenuhi ego seksualitasnya saja, tanpa berpikir panjang mengenai dampak negatif dari para korban.
Maka dari itu, untuk Aa Gym, para “ulama”, para laki-laki dan bahkan perempuan itu sendiri, daripada melihat perempuan hanya sebatas objek, ya lebih baik dan bahkan diharuskan melihat perempuan sebagai makhluk Tuhan seutuhnya.
Perempuan memiliki otoritas terhadap tubuhnya sendiri, keinginannya sendiri, dan perempuan juga memerlukan dukungan saat merajut mimpinya. Bukan malah terus dijadikan bahan objektifikasi laki-laki dengan dalih tanda cinta.
Dan untuk masyarakat, ketika ingin mendengarkan dakwah dari para ulama, carilah ulama yang tidak memosisikan perempuan, bahkan kaum LGBTQ+ sebagai makhluk rendahan. Carilah ulama yang benar-benar paham konsep memanusiakan manusia.
Carilah ulama yang tidak menebar kebancian. Karena hal itu hanya akan memperkeruh suasana. Bukankah hidup terasa nyaman dan aman jika tidak ada rasa benci di dalam benak diri kita?
Dan, satu lagi. Carilah ulama yang bisa membedakan mana kendaraan bermotor dan mana perempuan sebagai makhluk Tuhan seutuhnya. Tentunya bisa membedakan secara konteks ya, bukan hanya secara kasat mata saja. Kalau hanya secara kasat mata mah, anak TK juga bisa, hehe.