KOTOMONO.CO – Aturan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja mulai bermunculan. Salah satunya aturan yang menyingkirkan limbah batu bara dari kategori limbah berbahaya yang baru-baru ini diterbitkan oleh pemerintah. Beleid itu berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan, Perlindungan, dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Lebih lanjut dalam aturan tersebut menyebutkan bahwa limbah yang tak lagi masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) atau disebut juga limbah padat yang dihasilkan dari pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi.
Peraturan yang baru saja dikeluarkan Presiden Jokowi itu masuk dalam aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). PP yang diteken Presiden RI, Jokowi tersebut berfungsi untuk menggantikan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Tercantum pada pasal 458 (3) huruf C PP 22/2021, FABA akibat kegiatan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masuk ke jenis limbah nonB3.
“Pemanfaatan limbah nonB3 sebagai bahan baku yaitu pemanfaatan Limbah nonB3 khusus seperti fly ash batubara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB (Ciraiating Fluidi”zed Bed) dimanfaatkan sebagai bahan baku kontruksi pengganti semen pozzolan,” demikian bunyi pasal tersebut.
Ide untuk mengeluarkan FABA atau limbah padat dari hasil aktivitas PLTU ini awalnya ternyata berasal dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Ketum Dewan Pimpinan Nasional Apindo, Haryadi B Sukamdani, Indonesia menerangkan bahwa sejumlah 16 anggota yang terasosiasi dengan Apindo sepakat bahwa limbah FABA tak masuk dalam kategori limbah B3.
“Dari hasil uji karakteristik dari industri menunjukkan bahwa FABA memenuhi baku mutu/ambang batas persyaratan yang tercantum dalam PP No. 101 Tahun 2014, sehingga dikategorikan sebagai limbah non B3, seperti halnya di beberapa negara, antara lain Amerika Serikat, China, India, Jepang, dan Vietnam,” kata Haryadi seperti dikutip CNN Indonesia.
PP 22/2021 yang diteken 2 Februari 2021 itupun mendapat perlawanan sengit. Terutama dari aktivis-aktivis lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Melalui Direktur Eksekutif Walhi, Nur Hidayati, limbah batu bara yang dikeluarkan dari kategori limbah B3 disebutnya sebagai langkah menggadaikan kesehatan masyarakat.
“Hal ini sekali lagi menunjukkan bagaimana pemerintah hari ini menggadaikan nasib kesehatan masyarakat demi kepentingan para pebisnis, dalam hal ini pebisnis batu bara,” terang Nur, seperti dikutip IDN Times.
Limbah batu bara, lanjut Nur, bahwa sebenarnya masuk kategori B3 karena ada benda padat berupa logam yang tentu sebagai bahan berbahaya. Bukan cuma itu saja, volume yang dikeluarkan limbah batu bara juga sangat besar dan berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat sekitar PLTU.
Nur menjelaskan, pengelolaan limbah batu bara yang sebelum PP 22/2021 masuk kategori B3 ini tak bisa sembarangan, bahkan riskan menimbulkan resiko. Pihak pengelola, dalam hal ini tentu pemilik industri harus berhati-hati.
Dikeluarkannya limbah batu bara dari kategori B3 ini justru akan mempengaruhi kesehatan masyarakat, dan tentu lingkungan. Apalagi jika pengawasan terhadap limbah tersebut masih lemah.
“Apalagi kita ketahui bersama, pengawasan dan penegakan hukum pemerintah lemah,” lanjut dia.
Bukan cuma Direktur Eksekutif Walhi, lembaga yang bergerak di bidang energi terbarukan, Trend Asia juga ikut serta meramaikan kritik terhadap PP tersebut. Lewat akun Twitter resminya, Trend Asia mengkritisi kalau kebijakan menghapus limbah batu bara dari kategori B3 akan berpeluang menimbulkan banyak permasalahan di kemudian hari. Selain itu, PP 22/2021 menjadi semacam kabar buruk dari pemerintah untuk kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat.
“Limbah batubara sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat karena mengandung senyawa kimia seperti arsenik, timbal, merkuri, kromium, dsb,” tulis Trend Asia yang dikutip juga oleh CNN Indonesia.
“Karena itu, mayoritas negara di dunia masih mengkategorikan limbah batubara sebagai limbah berbahaya dan beracun.”
“Keputusan pemerintah menghapus limbah batubara dari kategori limbah berbahaya dan beracun (B3) adalah keputusan bermasalah dan sebuah kabar sangat buruk bagi kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat,” tandas Trend Asia di kultwit-nya 10 Maret 2021. (MohArs)