KOTOMONO.CO – Mata dadu itu telah meruntuhkan dunia sang ksatria, putra Pandhu, Yudhistira. Ia tak bisa melepas jerat takdirnya. Kekalahan pelan-pelan menuntun langkahnya pada kehancuran. Tubuhnya gemetaran. Kaki dan tangannya kehilangan daya. Cahaya hatinya mendadak redup, gelap. Ia terperangkap dan disekap oleh kebijaksanaannya sendiri. Ia ditelan oleh kebaikannya sendiri.
Ya! Sang Kala telah mengantarnya pada dunia yang paradoks. Hidup tak sekadar bagaimana berbuat baik. Tak hanya meyakini kebaikan. Tetapi, hidup juga mesti tahu bagaimana kebaikan tercipta. Dan bukan karena kejahatanlah yang membuat kebaikan itu ada.
Kebaikan juga bukan dunia yang paralel. Mencipta dunianya, menjadi dunianya sendiri. Tidak!
Kini, matanya nanar. Dalam-dalam ia menatap mata dadu itu. Dirasakannya, ada daya yang menariknya kuat-kuat. Mata dadu itu menyedot dan memaksanya memasuki lubang sebesar pori-pori kulit. Ia tak sanggup menahan apalagi melawan daya itu. Tubuhnya tersedot. Masuk ke dalamnya. Seketika gelap.
Di dalam dadu itu, ia menyusuri tepi-tepi. Dinding-dinding yang gelap dan dingin tak tembus cahaya. Tak satu pun berkas cahaya menyusup. Berangsur udara dingin membungkus tubuhnya. Semakin lama hawa dingin itu menebal nyaris membekukan sekujur tubuhnya. Hilanglah daya pada tubuhnya, dipatahkan oleh rasa putus asa yang menggayuti hatinya.
Susah payah ia melawan keputusasaannya itu. Tetapi semakin ia lawan, semakin besar pula beban hatinya. Tubuhnya dipaksa tunduk oleh keadaan, hingga benar-benar kehilangan daya. Terduduk dan meringkuk, tunduk.
Hanya itu yang bisa dilakukannya. Duduk bersila. Lalu, pelan-pelan memejamkan matanya sembari mematikan segala fungsi inderanya. Bahkan pikirannya.
Dalam pejam matanya itu, sebuah titik cahaya putih kecil hadir dan mendekat. Kian jelas dan tampak semakin besar. Membentuk lingkaran penuh. Sempurna. Lingkaran itu berada tepat di hadapannya.
Menyadari kehadiran cahaya putih itu, Yudhistira berusaha membuka matanya. Tetapi, rupanya kelopak matanya seperti terkunci. Selaput mata yang tipis itu tak bisa ia buka. Mengatup. Begitu pula badannya. Tak sanggup ia gerakkan.
Dari bola putih bercahaya itu, lantas muncul suara. “Tetaplah memejam. Relakanlah tubuhmu diam. Kadang, tak harus dengan membuka mata untuk melihat. Kadang, tak harus menggerakkan badan untuk berjalan. Seperti mimpi, kau bisa melihat segala sesuatu yang tak dapat kau terka dan tak kau temukan di alam ragamu. Bahkan, di dalam mimpi, kau bisa melihat dirimu sendiri utuh. Lengkap dengan perasaanmu sendiri.”
Seketika, Yudhistira tersadar. Sebuah kesalahan telah ia perbuat. Seorang pertapa sejati semestinya tak merisaukan apa saja yang ada di hadapannya. Seorang pertapa, mestinya sanggup memberi pada tubuhnya sendiri untuk hidup tanpa dikendalikan oleh pikiran-pikirannya. Sebab pikiran bisa saja membunuh pelan-pelan tubuhnya sendiri. Ia hanyalah bagian kecil dari tubuhnya sendiri di alam raganya.
Kini, ia merelakan tubuhnya mengalami hidup. Ia biarkan matanya memejam. Ia biarkan tubuhnya tenang. Pikirannya tak lagi mengendalikan semua inderawinya.
“Bagus. Kau melakukannya dengan sempurna. Sekarang, lihatlah aku,” ucap bola putih bercahaya itu.
Perlahan dari bola putih bercahaya itu muncullah dua bola putih bercahaya. Tak berselang lama, kedua bola itu memunculkan tiga bola lagi. Dari enam bola yang muncul dari dua bola itu, muncul lagi pada masing-masing bola itu empat bola putih berkilauan. Lantas, dari keduapuluh empat bola itu muncul lagi pada tiap-tiap bola itu lima buah. Lalu, dari seratus duapuluh bola yang dihadirkan oleh dua puluh empat bola sebelumnya, muncul pula pada tiap-tiap bola itu enam bola yang sama. Kini di hadapan Yudhistira ada 873 buah bola putih bercahaya. Ukuran mereka tak ada yang lebih besar, juga tak ada yang lebih kecil.
Bola-bola itu bergerak. Mula-mula pelan kemudian kian cepat dan segera menyusun sebuah pola melingkar yang sempurna. Bola-bola itu seolah-olah tengah membangun sebuah semesta baru dengan satu bola putih bercaya sebagai pusatnya. Pelan mereka bergerak. Berotasi pada pusatnya. Kian lama, gerak bola-bola itu kian cepat hingga yang tampak hanya satu bola bercahaya yang besar. Cahayanya menyilaukan. Bahkan, dalam keadaan mata terpejam, cahaya itu tampak begitu terang seterang-terangnya. Semua sisi pada ruang gelap itu lenyap. Begitu pula tubuh sang ksatria itu. Lenyap ditelan cahaya. Dalam sekejap, cahaya itu hilang.
“Bukalah matamu, wahai ksatria,” ucap suara itu.
Pelan Yudhistira membuka matanya. Ketika kelopak matanya mulai terbuka ada berkas cahaya yang teramat terang dan menusuk-nusuk. Hampir-hampir ia tak kuasa menerima pancaran cahaya itu. Begitu matanya terbuka sempurna, ia semakin bingung. Yang ia temui sekarang sebuah ruang putih terang. Sementara bola-bola cahaya itu tak lagi ada di hadapannya.
“Wahai suara, di mana lagi aku sekarang?” tanya Yudhistira. Tetapi, yang ia terima bukan jawaban. Hanya pantulan suaranya sendiri.
Baca juga tulisan-tulisan Cerpen menarik lainnya