KOTOMONO.CO – Menolak lupa Mafia Bola dalam laga Persip Pekalongan melawan Persipur Purwodadi musim 2013/2014 silam.
Banyak faktor yang menjadi penyebab berkeliarannya mafia bola di Liga Indonesia, salah satunya adalah finansial. Jumlah uang yang besar dapat dengan mudah menggeser idealisme pelaku sepak bola mulai dari panitia, pelatih, pemain hingga wasit.
Sepak bola bukan sekedar olahraga. Sepak bola kini telah bertransformasi menjadi industri yang perputaran uangnya sangat besar. Bukan hanya pesepak bola yang merumput di lapangan hijau. Banyak pelaku bisnis yang juga ikut merumput di lapangan sepak bola. Mulai dari bisnis yang “bersih” sampai bisnis “kotor” yang merusak nilai dari sepak bola. Salah satu bisnis “kotor” yang kerap kali merusak nilai sepak bola adalah judi bola.
Kehadiran judi bola sudah menjadi hal hal lumrah di beberapa negara. Bahkan beberapa perusahaan judi bola seperti Bet Away Group menjadi sponsor di beberapa klub besar Eropa. Di Indonesia sendiri, judi bola memang dilarang untuk menjadi sponsor klub sepak bola yang bermain di liga resmi Indonesia. Hal tersebut diatur dalam surat PT LIB nomor 103/LIB/II/2020 yang melarang keras bagi klub yang berpartisipasi pada kompetisi resmi untuk menjalin kerja sama komersial dengan produk yang berkaitan langsung dengan brand rokok, minuman beralkohol, dan situs perjudian. Surat ini juga merujuk pada Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Salah satu alasan kuat operator Liga Indonesia melarang kontribusi judi bola dalam sepak bola Indonesia adalah meminimalisir campur tangan mafia bola. Sangat mungkin apabila sebagai sponsor klub, perusahaan judi bola dapat seenaknya mengatur pertandingan bola lewat mafia. Walaupun telah dilarang, mafia judi bola tetap masih saja ikut merumput di lapangan hijau sepak bola tanah air.
Banyak kasus yang mencuat dan bisa diselesaikan tetapi masih banyak kasus yang hilang ditelan bumi. Terakhir ada kasus mafia bola Liga 3 Jawa Timur yang melibatkan beberapa klub Liga 3 seperti Gresik Putra FC, NZR Sumbersari, Gresik Putra, dan Persema Malang.
BACA JUGA: Nostaliga Persip Pekalongan dan Harapan Masa Depan
Kasus mafia bola juga pernah dirasakan klub asal Pekalongan, Persip Pekalongan. Pada tanggal 19 Maret 2013, Persip Pekalongan bertemu dengan tim asal Jawa Tengah lainnya Persipur Purwodadi dalam lanjutan putaran pertama kompetisi Divisi Utama Grup II 2012/2013.
Pada pertandingan tersebut, Laskar Kalong (julukan Persip Pekalongan) takluk 3-1 dari tim tuan rumah. Alhasil, di akhir putaran pertama, Persip hanya duduk di peringkat ke 6 klasemen. Hasil buruk ini berbuntut pada pemecatan pelatih Persip pada saat itu, Agus Riyanto.
Pasca pemecatan pelatih kepala Persip, mencuat isu permainan mafia bola dalam beberapa laga di Divisi Utama Grup 2012/2013. Kekalahan Persip di Purwodadi disebut-sebut sebagai salah satu pertandingan yang diatur oleh mafia bola. Isu ini semakin memanas ketika eks pelatih kepala Persipur menyebutkan bahwa pemecatan dirinya sebagai akibat dari penolakannya terhadap pengaturan skor pertandingan saat Persip melawan Persipur.
Pihak manajemen Persip Pekalongan langsung memberikan respons terkait isu miring yang menimpa Persipur. Dilansir dari Antaranews, pihak manajemen Persip melalui manajer tim pada saat itu, A’am Ichwan, mengakui adanya upaya penyuapan oleh mafia bola agar Persip mengalah dari Persipur tetapi ditolak oleh manajemen.
BACA JUGA: Jalan Terjal Persekap Kabupaten Pekalongan
Senada dengan yang disampaikan A’am Ichwan, CEO Persip Pekalongan, Budi Setiawan juga mengakui adanya kehadiran mafia bola. Dikatakan juga bahwa alasan pemecatan pelatih bukan seperti yang disampaikan oleh Agus Riyanto melainkan semata-mata karena pelatih kurang memenuhi target tim.
Di pihak Persipur, fakta yang menghebohkan terungkap tiga tahun setelah kasus tersebut mencuat. Dalam sebuah konferensi pers yang dilakukan oleh tim Advokasi #IndonesiaVsMafiaBola di daerah Senopati, Jakarta Utara tanggal 17 Juni 2015 silam, mantan pelatih yang menukangi Persipur pada musim 2013/201, Gunawan buka-bukaan mengenai pengaturan skor oleh mafia bola di semua laga Divisi Satu.
Dilansir dari Republika, Gunawan mengakui bahwa semua laga Divisi Utama tahun 2013 dikendalikan oleh seorang bandar besar dari Malaysia bernama Jawahir Saliman. Gunawan juga menambahkan bahwa iming-iming uang yang besar dari Jawahir Saliman membuat permintaannya mafia tidak bisa ditolak semua elemen klub yang sedang kesusahan finansial.
Uang yang ditawarkan pun tidak sedikit. “Pada saat itu Persipur mendapatkan sekitar Rp 400 juta sekali pertandingan. Pemain bisa mendapatkan Rp 10 sampai Rp 15 juta,” Ucap Gunawan menjelaskan mengenai jumlah uang yang didapat. Uang hasil pengaturan skor inilah yang akhirnya menghidupi klub selam mengarungi kompetisi.
BACA JUGA: Tragedi Stadion Accra Sport yang Terulang Kembali di Kanjuruhan
Selain pengakuan di atas, pelatih yang pernah tersandung kasus narkoba pada tahun 2013 itu juga mengakui bahwa jika dirinya sudah beberapa kali melaporkan tindakan ini pada Djamal Azis selaku Executive Committee PSSI saat itu. Namun Gunawan mendapatkan respons yang menurutnya kurang antusias.
Sampai saat ini, PSSI dan Polisi masih terus mengusut kasus-kasus pengaturan skor oleh mafia yang terjadi di Liga Indonesia. Namun minimnya bukti membuat proses penyelidikan kasus-kasus mafia bola sulit untuk diselesaikan. Menurut Gunawan, barang bukti yang kurang disebabkan karena pembayaran suap dilakukan menggunakan uang tunai secara langsung dan tidak melalui transfer sehingga tidak mungkin ditelusuri aliran dananya.
Kasus mafia bola yang terjadi di klub Persip Pekalongan menunjukan bahwa mafia bola sudah berkembang pesat sejak lama dan masih terus bertumbuh. Banyak faktor yang menjadi penyebab berkeliarannya mafia bola di Liga Indonesia dan salah satu yang paling utama adalah uang.
Kebanggaan dan harga diri klub seketika dilupakan ketika uang yang besar sudah tersaji di depan mata. Kecerdikan para mafia yang menyasar klub-klub atau pemain yang mempunyai masalah keuangan menjadi senjata yang sulit untuk ditaklukan. Akan menjadi sebuah dilema bagi pelaku sepak bola untuk menolak sogokan karena di satu sisi ada keluarga di rumah yang perlu dihidupi.
BACA JUGA: Capai 127 Korban Jiwa, Tragedi Stadion Kanjuruhan Jadi yang Terbesar Kedua Sepanjang Sejarah
Memberikan suntikan dana dari pemerintah pun tidak bisa menjadi jalan keluar bagi klub kecil karena keterlibatan politik pemerintahan di sepak bola juga dapat menimbulkan masalah lain. Agaknya tidak ada cara cepat untuk mengatasi mafia bola di Indonesia. Pembasmian mafia secara masif hanya salah satu cara untuk mengatasi mafia sepenuhnya karena salah satu akar masalahnya berasal dari sepak bola Indonesia sendiri.
Sepak bola yang tidak sepenuhnya dapat memberi kehidupan layak jangka panjang bagi para pemain menjadi celah besar yang perlu diatasi secara preventif. Kompetisi yang sehat sebenarnya dapat membantu agar sepak bola bisa menjadi mata pencarian yang layak bagi pemain. Liga yang dijalankan secara professional dapat menarik minat banyak orang sehingga perputaran uang di sepak bola Indonesia terus bertumbuh. Dengan demikian setiap klub terus bisa berkompetisi dan memiliki keuangan yang sehat sehingga masalah fianansial bukan lagi menjadi celah masukanya mafia.