KOTOMONO.CO – Ngono yo Ngono Ning ojo Ngono
Beberapa waktu lalu, saya sempat menulis status di wall facebook “Oknum Kelurahan K*p*r*t”, dengan nada mengumpat. Benar, waktu itu saya memang sedang tidak enak hati dengan ulah seorang pegawai di salah satu Kelurahan, di Kecamatan Pekalongan Barat. Bagaimana tidak, urusan yang seharusnya sudah selesai beberapa tahun lalu, sampai saat ini masih saja terkatung-katung.
Urusan itu mungkin bagi sebagian orang dianggap remeh. Tapi bagi saya dan keluarga besar saya, itu urusan penting. Hla wong ini menyangkut administrasi negara og!
***
Awal cerita, tahun 2016, dua Om saya hendak menjual tanah petok warisan dari Simbah. Tanah itu satu kompleks dengan tanah jatah milik ibu saya. Dua Om saya ini mau menjual tanahnya itu kepada dua pihak luar. Saya sebut saja pembeli 1 dan pembeli 2. Berhubung tanah tersebut satu kompleks, maka Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah seluas 2.300 meter sekian itu masih jadi satu terbitan dokumen.
Transaksi jual-beli tanah petok itu pun dilangsungkan. Tentu, melibatkan pegawai dari kelurahan. Saat itu ada Mr. NA dan Mr. T sebagai pendamping. Uang hasil penjualan tanah milik kedua om saya sebagian digunakan untuk membayar pajak terhutang selama 10 tahun dari tahun 2006 hingga 2016. Besarnya 6,5 juta sekian rupiah. Uang itu diamanatkan kepada Mr.NA agar segera diurus. Untuk meyakinkan, penyerahan uangnya juga disaksikan oleh Ibu saya dan Mr.T.
Sayangnya, Om saya sedikit ceroboh. Waktu itu Om saya selaku penjual hanya bermodal rasa percaya kepada pegawai kelurahan tadi. Dan saking percayanya, Om saya sama sekali nggak kepikiran untuk meminta kwitansi atau tanda terima apapun sebagai bukti uang telah diterima petugas dari kelurahan itu.
Tahun-tahun berlalu, proses pemecahan tanah petok menjadi 3 bagian pun selesai. Satu bagian seluas 751 meter untuk Ibu saya, satu bagian seluas 1.500 sekian untuk pembeli 1 dan sisanya untuk pembeli 2. Tapi, ternyata pembagian tanah itu masih menyisakan masalah. Surat PBB-nya masih satu terbitan dokumen alias satu induk seluas 2.300 atas nama Simbah saya. Jadi, belum dipecah menjadi masing-masing pemilik tanah yang baru. Runyamnya, tagihan hutang PBB selama 10 tahun muncul lagi. Lho kok bagaimana bisa ini!
Berhubung letak tanah yang dijual bersebelahan dari tanah (rumah) Ibu saya, otomatis tagihan PBB tahun 2017-kesini diserahkan kepada Ibu. Hla yo Ibu saya kaget dan meminta konfirmasi. Beliau juga mengajukan pembetulan ke kelurahan (Mr.NA) tadi. Alhasil, Ibu saya hanya dikasih bukti pembayaran PBB tahun 2016 dan 2017 saja. Dan tahun berikutnya tagihan PBB masih saja 1 dokumen dan ada sisa tunggakan yang belum terbayarkan. Sengaja PBB tidak dibayarkan karena bukan sepenuhnya kewajiban atas tanah milik Ibu seluas 751 meter. Ibu saya berujar, “Saya siap membayar PBB kapan pun asal itu datanya sudah betul, PBB atas nama saya dan luasnya tidak 2.300 sekian tapi 751 milik saya.”
Tahun 2020an, tanah petok dari pembeli 1 dan 2 selesai diproses menjadi sertipikat hak milik dan PBB pun sudah terbit dengan nama dan luas yang sesuai. Tapi, rupanya masih saja muncul PBB Induk alias PBB yang menjadi kewajiban untuk Ibu saya. Luasnya masih utuh 2.300an, namanya juga masih pakai nama Simbah. Tunggakannya pun masih saja ada.
Aneh bener. Nggak bisa dinalar. Logikanya kan kalau sudah ada proses balik nama dan pembuatan sertipikat, dokumen PBB itu mestinya sudah atas nama pemilik tanah yang baru. Artinya, PBBnya pun terbitan baru. Jadi, kenapa masih ada tunggakan yang belum terbayar?
Patutlah saya curiga. Jangan-jangan ini cuma akal-akalan Mr.NA, agar proses milik yang lain bisa berjalan lancar. Sementara, milik Ibu saya diabaikan. Meski begitu, saya masih berupaya berprasangka baik kepadanya.
***
Sedari tahun 2020an ibu saya sudah minta untuk dibetulan kepada Mr.NA. Sampai Mei-Juni 2021 ini tidak ada tindakan. Karena tidak ada tindakan dari Mr.NA untuk membetulkan data PBB tersebut, Ibu saya yang kadung mangkel kepada Mr.NA, meminta tolong kepada pegawai kelurahan yang lain, sebut saja Mr.A untuk membetulkan data, agar PBB menjadi atas nama Ibu saya dengan luas 751 meter. Tentu saja tidak gratis, ada ongkos yang harus Ibu keluarkan untuk “transpotnya”.
Mr. A ini melakukan inisiatip. Selama lebih kurang tiga mingguan proses itu berjalan. Eladhalah rupanya tidak selesai juga. Malah PBB tersebut dipecah lagi menjadi 2 dokumen PBB. Dokumen pertama, PBB dengan nomor objek pajak (NOP) baru atas nama justru Simbah saya, dengan luas 1.500an dan dokumen kedua, PBB dengan NOP lama (PBB induk) terbit atas nama Ibu saya untuk luas tanah sudah betul 751 meter. Apes eh apes, tunggakan-tunggakan tadi ternyata masih aja ikut alias belum ilang.
Wah, ketidakberesan ini membuat saya merasa kudu menemui Mr.NA untuk menjelaskan duduk perkaranya. Ketika ditanya mengapa tunggakan masih aja muncul, Mr.NA mencoba mengelak dengan berpura-pura bingung. Ia justru memberikan penjelasan bahwa tahun 2018 ada pemutihan PBB. “Tahun 2018 itu ada pemutihan, harusnya semua tunggakan dihilangkan” ujarnya. Waktu itu katanya petugas dari dinas terkait terjun ke lapangan didampingi pegawai kelurahan (sebut saja Mr.B) untuk ngecek satu per satu objek PBB dan entah bagaimana, kata Mr.NA saat petugas survey ingin mengecek ke tempat ibu saya lha kok malah dihalangi Mr.B dengan dalih dulu ngurus-ngurus tanah di situ nggak melibatkannya, kan ini wagu sekali!
Entah itu bohong atau beneran adanya, alasan itu merusak prasangka baik saya dan keluarga. Bagaimana mungkin administrasi negara sebegitu kacaunya dan diurus bolak-balik kok hasilnya tidak banyak berubah. Atau jangan-jangan uang yang dulu diserahkan emang tidak digunakan membayar tunggakan. Buktinya dulu setelah ditagih-tagih oleh Ibu, tidak lama kemudian Mr.NA nyerahin bukti pembayaran tahun 2016 dan 2017 (padahal tahun 2017 itu tidak masuk hitungan). Mr.NA ngeles yang sisanya nunggu entahlah apa ibu saya lupa, pokoknya suruh nunggu.
Sebenarnya masalah PBB itu bisa selesai dan keluarga saya ayem saat Mr.A mengurusnya secara benar. Bukan malah membolak-balikan data PBB. Harusnya jika memang itu mau diproses pemecahan PBB, mestinya yang keluar atas nama Ibu saya seluas 751 dan PBB induk dibiarkan atas nama Alm. Simbah, beserta tunggakan-tunggakannya jika memang itu tidak bisa dihilangkan (karena mungkin emang belum dibayarkan oleh Mr.NA tadi).
Kurang puas dengan kinerja dan penjelasan pegawai kelurahan tersebut, saya mencoba menggali informasi ke BKD. Ketemulah saya dengan Mr.M yang menangani proses pemecahan PBB itu. Saya mencoba tanyakan kenapa kok pemecahan justru PBB induk malah nama ibu saya dan PBB baru kok malah nama alm. Simbah saya. Jawaban Mr. M pun membuat saya geleng-geleng kepala, kurang lebih begini “Lha kui wingi jalukane Mr.A kokui”, “owalah bener-bener semprul kae wong” respon saya waktu itu.
Saya pun cerita panjang lebar kepada Mr.M bahwa yang betul tuh begini bla..bla.bla. Mr.M mempersilahkan untuk diperbaiki dengan membawa dua berkas PBB tersebut. Kebetulan berkas PBB sudah saya serahkan kepada Mr.NA. Mr.M juga menjelaskan bahwa tidak ada program pemutihan PBB (penghapusan tunggakan) di tahun 2018.
Lain hari saya kembali menemui Mr.NA di kelurahan. Saya meminta berkas PBB itu untuk dikembalikan ke Mr.M, terserah bagaimana jalannya, mau nyalahin Mr.A dulu kek atau apa yang penting harus Mr. NB yang menyerahkan. Itu saya anggap sebagai itikad dan bukti tanggung jawab. Ibu dan keluarga saya tidak akan mengungkit masalah uang tunggakan PBB dikemanain, yang terpenting PBB NOP baru itu terbit atas nama Ibu dengan luas tanah 751 meter. Sementara jika PBB induk masih aja ada yo biarkan saja. Wong subyek pajaknya sudah nggak ada dan tanahnya sudah milik orang kok.
Sekitar satu minggu setelah saya memberikan petunjuk untuk Mr.NA bertindak memperbaiki semuanya, saya kembali menghubungi Mr.NA by phone. Sesuai permintaannya agar saya atau ibu saya tidak sering-sering wara-wiri di kelurahan, mungkin karena malu atau agar menghindarinya biar mudah.
Benar saja, saya telpon pakai saluran biasa tidak dijawab. Saya kontak via pesan WA nyatanya cuma dibaca doang. Saya pun kembali kesal dan memutuskan untuk kembali menemuinya di kelurahan. Belum saya tanyakan prosesnya perbaikan PBB, Mr.NA malah membuka obrolan dengan kalimat “PBBne kesingsal, jane mau isuk aku pak mrono tapi tak luru kok rung ketemu.” dan bla..bla..bla disambung dengan alasan tidak merespon pesan WA saya. Loghok rak wes?
Saat itu saya tidak bisa lama ketemu dengannya karena Mr.NA tersebut ada janjian untuk tanda tangan ke salah satu warga. Saya mendapat informasi kalau sepak terjang Mr.NA itu memang “kotor”. Semua mau diambil. Banyak catatan tidak mengenakan selama bertugas di sini. Pokoknya, jika dalam waktu dekat PBB itu belum dimasukkan perbaikan, ya terpaksa saya akan menemui Pak Camat. Bila perlu ketemu wakil ketua DPRD yang kebetulan itu Om saya sendiri agar orang ini segera “ditertibkan” dan bisa bekerja secara amanah.