KOTOMONO.CO – Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) telah disahkan dalam rapat paripurna DPR RI. Para anggota dewan, dan terutama pimpinannya, Puan Maharani tentu merasa lega. Soalnya, RUU yang konon tebalnya 800 sekian halaman itu mampu selesai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Saya yakin—di balik masker—para anggota dewan yang terhormat tampak senyum sumringah.
Menunjukkan betapa bahagianya berhasil menuntaskan tugas mereka. Dan barangkali mengurangi sedikit beban RUU lain yang perlu segera dibahas karena si pemesan sudah menunggu, eh.
Yang pasti, rasa kebahagian DPR RI yang sukses mengesahkan RUU Cilaka tak sedikitpun menular ke masyarakat. Saya tahu, anggota dewan bukan pelawak. Wajar kalau mereka tertawa, rakyat sama sekali nggak ketawa. Kebahagiaan anggota dewan dibalas dengan kemarahan rakyat yang merasa dikhianati.
Aksi pun tumpah ruah di berbagai kota. Di jalan raya dan di sekitar gedung-gedung dewan perwakilan. Mulai dari buruh, mahasiswa, sampai warga sipil turun ke jalan.
Tuntutannya agar RUU Cilaka, yang baru disahkan itu dibuat seolah-olah hanya mimpi alias tidak pernah ada. Tapi itu mustahil. Pada kenyataannya, DPR memang mengesahkan RUU Cilaka dan itu bukanlah dongeng di sebuah novel.
Massa yang terlanjur marah pun merusak fasilitas umum. Melakukan aksi vandalisme di mana-mana. Jalanan penuh dengan cairan bensin. Asap hitam hasil pembakaran ban membumbung di udara. Gerbang kantor anggota dewan roboh.
Begitulah informasi yang saya dapat dari televisi. Lagi-lagi berita yang dimunculkan adalah kericuhan demo. Di televisi pendemo adalah perusak. Di televisi pendemo sama sekali tak punya adab dan nggak mampu berpikir dengan kepala dingin.
Mereka merusak fasilitas negara. Merusak fasilitas yang sesungguhnya untuk rakyat sendiri. Sedangkan aparat keamanan bertugas sebagai hero. Penyelamat yang menghadang ribuan orang perusuh.
Hampir tak ada informasi selain kerusuhan demo di televisi. Demonstrasi yang berujung ricuh adalah berita yang bagus. Berita yang amat layak disajikan ke publik. Istilahnya “bad news is a good news“.
Tak masalah. Sebab pengesahan RUU Cilaka sendiri sudah “bad news”. Apalagi ditambah demo yang berujung ricuh. Wartawan televisi kiwari agaknya meniru cara senior-seniornya dalam meliput demonstrasi.
Mencari apa yang bisa dijual. Framming seperti apa yang dibutuhkan agar masyarakat lebih memilih menonton televisi daripada mumet mencerna twitwar. Plus supaya masyarakat tak perlu menguras tenaga membaca 800 sekian halaman.
Nah, demo ricuh adalah yang paling gampang dijadikan headline. Yang muncul dalam breaking news di sela-sela jam makan siang. Tak perlu banyak bertanya, sudah pasti yang kayak gitu mampu melipatgandakan penonton dan rating pun melambung ke angkasa.
“Massa Aksi Terlibat Bentrok dengan Aparat”, “Demo Tolak Omnibus Law Diwarnai Kericuhan”, “Halte Jadi Korban Amuk Massa”. Begitulah kira-kira judul berita yang dipampang di televisi. Judul yang kalau di dunia media online menyebutnya klikbait.
Sangat mustahil televisi memberitakan demo yang damai. Sebab hal itu sama sekali tak mampu mendongkrak rating. Jangankan rating, menarik atensi lebih dari masyarakat yang dapat info cuma dari televisi saja tidak.

Kecil kemungkinan televisi akan menerangkan muatan RUU Cilaka secara masif. Cukup satu dua berita soal itu, sedangkan berita yang lainnya gencar menyoroti aksi perusakan oleh perusuh pendemo. Barangkali produser berita televisi merasa publik bisa jengah jika terus-terusan disodorkan pembahasan RUU.
Pembahasan mendalam tentang RUU yang bermasalah cukup di acara talkshow saja. Benar apa benar? Toh masing-masing televisi punya program talkshow andalan.
Trans 7 dengan Mata Najwa, TV One dengan Indonesia Lawyer Club, Kompas dengan Rosi, dan NET TV dengan Tonight Show. Bisalah analisis mengenai RUU Cilaka disusupkan ke acara-acara talkshow tersebut. Bahkan nyatanya jika ditarik menjadi sebuah tema talkshow di salah satu televisi pun nyatanya sanggup mendulang animo penonton.
Karena analisis mendalam sudah diambil alih program talkshow, program berita harian kebagian memberitakan sisi negatif dari demonstrasi. Lantaran konon katanya berita harus seimbang. Ada baik maka harus ada buruknya, biar istilahnya cover both sides.
Hal-hal yang memamerkan perilaku amoral ditayangkan. Televisi memperlihatkan wajah mahasiswa yang cenderung bengis. Sekaligus bikin rakyat prihatin kehabisan generasi yang pancasilais.
Beda soal jika pemberitaan harian juga berfokus pada tuntutan. Tiap ada breaking news, si penyiar membacakan tuntutan massa dan draft RUU yang dianggap bermasalah. Jelas yang nonton bakalan bosen. Makanya yang diberitakan kericuhan demo.
Lalu bagaimana kalau demonya nggak ricuh? Kalau begitu pihak televisi yang pening. Harus memutar otak agar beritanya ditonton masyarakat. Alhasil yang keluar adalah berita demonstrasi yang disangkutpautkan Pilkada atau sentimen SARA. Ditambah jawaban serampangan dari pertanyaan klise “siapa dalangnya?”
Demonstrasi memang perlu ricuh. Disamping agar aparat bisa nyata bertugas, kericuhan memudahkan jurnalis menyusun berita. Tak perlu repot-repot membaca draft RUU yang bermasalah. Cukup melihat demo yang ricuh, si jurnalis dengan gampangnya dapat berita. Cukup dengan melabeli tindakan demonstrasi sebagai tindakan anarkistis.
Televisi telah membentuk opini publik tentang aksi. Demonstrasi itu pasti rusuh plus bikin gaduh, merusak ketentraman dan keamanan masyarakat. Tak ada satu pun hal baik dari demonstrasi.
Televisi selalu menutupi hal baik dari sebuah demonstrasi rapat-rapat. Bahkan bisa jadi kalau demo nggak ricuh, televisi tak akan memberitakannya. Orang-orang di desa-desa, yang hanya memperoleh info lewat televisi, juga nggak akan mengetahui apa yang sedang terjadi.
Oleh sebab itu, seyogyanya televisi perlu berterima kasih kepada pendemo. Para demonstran sudah melakukan sesuai dengan apa yang digambarkan televisi selama ini. Jadi kalau salah satu dari pemirsa bertemu dengan pendemo, mereka nggak kaget. Bahwa di televisi pendemo itu ya memang tukang rusuh.