KOTOMONO.CO – Pernah dengar nama Bukit Menoreh? Nama itu pernah diabadikan oleh seorang penulis cerita silat asal Jogja, S.H. Mintardja, dalam sebuah serial silat Api di Bukit Menoreh. Wah, silakan deh dibaca sendiri novelnya. Kalau punya sih. Kalau nggak ya bolehlah nyari di perpus.
Nah, ngomongin Bukit Menoreh, saya punya banyak kenangan soal bukit itu. Di sana ada kampung kakek dan nenek dari ibu saya. Tepatnya di lereng Bukit Menoreh. Lebih tepatnya lagi di Desa Margosari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dari permukaan air laut, desa kampung kakek nenek saya ketinggiannya kurang lebih 100 M. Pastilah udaranya masih segar di sana. Dingin. Apalagi kalau pagi, sore dan malam hari. Wiiiih bikin badan berasa menggigil.
Dulu, entah tahun berapa ya saya lupa, untuk sampai ke tempat tinggal kakek-nenek bukan hal yang mudah. Kami harus melewati jalan menanjak. Lumayan curam. Dan jaraknya lebih kurang satu kilometer. Lutut bisa saja berasa ngilu kalau nggak terbiasa jalan jauh dan mendaki. Karena waktu itu memang nggak bisa dilalui kendaraan bermesin. Hanya bisa dilalui dengan jalan kaki.
Sesekali, di tengah perjalanan, saya berpapasan dengan warga sekitar. Tapi saya lihat, mereka santai-santai saja tuh. Nggak kebanyakan ngeluh karena kecapaian atau merasa pegal-pegal. Bahkan, ada juga nenek-nenek, kalau ditaksir usianya sih lebih dari 70 tahun, yang mengenakan kebaya dan jarik (kain batik) berjalan kaki menanjak dengan pikulan potongan kayu dan ranting di punggungnya. Tapi kok kuat ya? Jalannya biasa saja. Nggak ngos-ngosan. Malah sambil nginang. Betapa, nenek-nenek itu sangat perkasa.
Tapi, sekarang, seiring perubahan zaman, pemandangan itu mulai hilang dari mata. Orang-orang punya kebiasaan baru. Melintas di jalan itu dengan kendaraan bermotor. Ya, alhamdulillah, ini semua karena ada usaha keras dari warga sekitar untuk membangun dan melebarkan jalan. Dibantu Pemerintah Kabupaten, warga secara bergotong royong membangun fasilitas untuk mendukung keperluan mereka. Jadi, kini jalannya sudah lebih bisa dilewati, bahkan oleh kendaraan roda empat.
Tak jauh dari rumah kakek-nenek saya dari pihak Ibu, rumah keluarga Bapak saya juga masih di sekitaran lereng Bukit Menoreh. Jadi, Bapak dan Ibu saya sama-sama warga lereng Bukit Menoreh. So, udara dan cuaca di sana juga tak jauh beda. Sama-sama dingin.
Asyiknya lagi, di daerah itu masih banyak ditumbuhi pohon jati sampai menghutan. Sekumpulan tanaman bambu juga masih dapat ditemukan. Rerimbunan pohon kelapa juga menjadi pemandangan yang memanjakan mata. Semak-semak dengan tanaman-tanaman perdunya membuat suasana semakin bikin betah tinggal di sana. Sejuk dan asri. Tak heran pula, kalau di sana jarak antar rumah masih menyisakan luasan lahan yang melegakan. Nggak seperti di kota, yang nyaris tiap rumah nggak punya halaman.
Rumah Kakek dan Nenek
Selain area hutan, ada pula area ladang dan persawahan milik warga. Ada sawah terasering yang garis-garis antar lahannya membentuk pola tertentu, menyesuaikan lekuk bukit. Lahan-lahan sawah itu ditumbuhi padi yang menghijau saat musim tanam tiba. Jelang masa panen, pemandangan sawah pun berubah warna, menjadi menguning.
BACA JUGA: 22 Tempat Wisata Hits Di Semarang
Di antara sawah-sawah terasering itu, sebuah jalan meliuk membelah area sawah. Jalan itu menjadi penghubung desa dengan Kabupaten dan Provinsi DIY. Ketika menuruni perbukitan, dan menjumpai jalanan yang landai, kita akan menemui rel kereta api yang ujungnya akan sampai ke pusat Kota Yogyakarta. Biasanya, kalau kami pulang kampung jalur kereta api inilah yang kami lalui. Perhentian kereta api biasanya di stasiun Wates Kabupaten Kulon Progo atau langsung ke Stasiun Tugu Yogyakarta.
Rel Kereta Api diapit Dua Persawahan
Beberapa tahun lalu saya pulang kampung. Saya melintas di jalur Selatan pulau Jawa. Jalur itu berujung ke jalan Daendels, dan sampai ke daerah Temon, Wates Kabupaten Kulon Progo. Tanpa sengaja, saya menjumpai sebuah pemandangan pembangunan mega proyek Bandara baru yang sudah diresmikan oleh Presiden Jokowi itu. Memang, sejak ada proyek itu pemandangan di sekitar proyek berubah. Lahan-lahan yang semula menghijau kini tak lagi sesegar dulu. Tetapi, apa boleh buat.
BACA JUGA: 10 Rokomendasi Tempat Wisata Dieng Yang Instagramable Abis
Meski begitu, masih ada kok pemandangan yang menghijau. Terutama di sekitaran rumah kakek-nekek. Masih utuh terjaga dari dulu kala. Pohon-pohon di kanan-kiri jalan tampak masih gagah berdiri. Tegak menjulang ke langit. Dan yang paling banyak adalah pohon jati dan rumpun bambu. Jadi, ketika melintas jalan itu, berasa membelah hutan belantara. Sengat panas matahari di siang hari tak terasa, karena terlindungi bayang-bayang dedaunan yang rimbun. Udaranya juga masih sejuk karena tiupan angin di antara celah batang-batang pohon. Ketika malam tiba, pemandangan menjadi sepi dan udara mendingin, walau rumah-rumah dari bawah Bukit sampai ke atas sudah ada beberapa rumah baru.
Jalan Menurun Perbukitan dengan Kebun-kebun di Kanan Kirinya
Menariknya lagi, ketika melintasi hutan, ada pemandangan yang seru. Beberapa sumur tempat mandi ditempatkan di tengah hutan. Sumur-sumur itu dibangun oleh warga sekitar. Mereka menggunakannya sebagai tempat mandi dan keperluan lainnya, seperti mencuci.
Ups, jangan dibayangkan bangunan sumur itu seperti toilet umum di kampung-kampung kota. Bangunan tersebut berbentuk kamar mandi tanpa atap. Wah, seru kan?!! Tapi jangan berpikiran jorok dulu. Di sana, sekalipun tak beratap, warga mandi biasa-biasa saja. Nggak ada niat untuk melakukan hal-hal yang aneh. Mereka mandi rame-rame tapi tetap menjaga kehormatan masing-masing. Nggak terbersit untuk berpikiran parno. Malah, di sumur itu warga bisa guyub rukun. Hidup bersama-sama sebagai warga.
BACA JUGA: 37 Tempat Wisata Hits dan Populer di Kebumen 2021 ini Wajib Kamu Kunjungi
Dulu, sewaktu kecil, saya pernah mandi di sumur itu. Sekarang di hampir tiap rumah warga sudah ada kamar mandi sendiri. Tapi, umumnya terpisah dari rumah utama. Itu sudah tradisi. Dan memang, kamar mandi itu idealnya terpisah dari rumah. Menurut warga, karena kamar mandi itu tempat membuang yang kotor-kotor. Jadi, kalau terpisah dari rumah kotorannya nggak masuk lagi ke dalam rumah. Penempatan kamar mandi yang terpisah juga dimaksudkan agar bisa digunakan tamu tanpa harus melewati ruangan lain di dalam rumah yang sifatnya privat. So, begitulah kearifan lokal warga sekitar.
Orang-orang di sini sebagian besar bertani dan berkebun untuk menghidupi keluarga. Lalu anak-anak dan beberapa orang dewasa lainnya akan ke Kota Wates, Kabupaten Kulon Progo. Entah itu untuk sekolah, berkerja, belanja kebutuhan sehari-hari atau sekedar kelayapan.
Ide Desa Wisata untuk Perekonomian Warga dan Prosedur Kesehatan Pandemik

Bukit Menorèh bisa dijadikan objek photo sebagai background, karena selain pemandangannya yang indah, Bukit Menorèh adalah tempat Pangeran Diponegoro perang melawan Belanda.
Tempat ini cocok juga untuk beristirahat dan mungkin sekaligus therapy refreshing dalam mencari ketenangan dan kedamaian, bagi orang-orang. Mungkin tentu saja bagi orang-orang yang sibuk di kota-kota besar.
Ide Desa Wisata bisa dimasukkan sebagai salah satu program unggulan daerah untuk menaikan taraf ekonomi warga setempat. Hal itu bisa membantu memasarkan, perbaikan infrastruktur, permodalan dan mensosialisasikan ide Desa Wisata terutama ke masyarakat Desa Margosari dan masyarakat Kota (Besar) pada umumnya.
BACA JUGA: 12 Rekomendasi Wisata Pantai Gunung Kidul Yogyakarta Terbaik 2021
Masyarakat Desa Margosari bisa menjadikan rumah–rumahnya untuk disewa, atau guest house bagi tamu beristirahat dan therapy refreshing dalam mencari ketenangan dan kedamaian terutama bagi pelancong.
Di masa pandemi bagi tamu yang akan berkunjung ke Desa Margosari harus sudah melakukan Rapid Test atau SWAB Test ditempat asal dan menunjukan surat keterangannya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan.
Insya Allah ide program Desa Wisata dengan bantuan Prosedur Kesehatan Program 3M (Mencuci Tangan, Menjaga Jarak dan Memakai Masker) di masa pandemi ini akan menjadi salah satu program unggulan Desa Margosari yang bisa meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat sekitar. Amin.