KOTOMONO.CO – Mari kita tinggalkan sejenak Dewa Kipas yang sudah dibikin tak berkutik di tangan Irene Sukandar, pecatur profesional bergelar Grandmaster Wanita. Jika Anda tak mengikuti isu tersebut harap kalimat pertama tulisan ini anggap saja nggak ada. Oke, sudah? Baiklah.
Saya sengaja membuka tulisan ini dengan isu tersebut karena memang, selain Dewa Kipas ada lagi yang tidak berdaya. Bukan pecatur, melainkan pengamen dan PGOT (Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar) yang selalu tak berkutik setelah dirazia Satpol PP dan tak berkutik pula “dianiaya” oleh pemberitaan yang meluas. Oke, mari kita lanjutkan.
Belum lama ini saya mendapati informasi yang cukup membuat saya terperangah setidaknya pada detik pertama melihat unggahan itu. Informasi tersebut adalah ditangkapnya kuntilanak oleh Satpol PP. Ya, anda nggak salah baca saudara-saudara: KUNTILANAK. Sebangsa setan pun akhirnya takluk di tangan Satpol PP, saat para ustaz di film-film horor justru tewas di tangan mereka. Lalu apa yang membuat Satpol PP ini bisa menangkap kuntilanak?
Tentu saya tidak akan membahas itu. Takutnya job dukun dan ustaz-ustaz bakalan sepi. Nanti film-film horor yang ngisi untuk mengusir setan malah Satpol PP lagi, kan ora mashook bosque. Namun begini, kuntilanak di dalam informasi yang di-posting di akun resmi @pemkotpekalongan itu rupa-rupanya adalah pengamen cum pengemis di Grosir Setono yang berkostum kuntilanak.
Itulah mengapa tadi saya terperangah melihat postingan tersebut. Betapapun saya tidak pernah menyangka akun Pemkot Pekalongan bikin informasi yang sukses mengecoh—setidaknya buat saya. Coba deh, siapa sih yang nggak terkecoh dengan judul “Satpol PP Tangkap Kuntilanak”? Orang tentu akan menganggap bahwa yang ditangkap Satpol PP kuntilanak sungguhan. Kalau dalam dunia permediaan, gaya informasi mengecoh ini namanya klikbait.
Namun anda jangan salah sangka dulu, nggak selamanya klikbait itu buruk. Ya mirip-miriplah sama bid’ah. Ada Bid’ah Khasanah (baik) dan Bid’ah Syayyiah (jelek). Tapi mohon maaf nih, postingan di Instagram Pemkot Pekalongan lebih dekat kepada bid’ah yang kedua. Dengan kata lain klikbait yang jelek. Sebab berhasil mengecoh si pembaca.
BACA JUGA : Bagaimana Media Lokal Berbasis Akun Alter Menulis Berita Kekerasan Seksual dengan Buruk?
Wis hop! Saya tidak akan melanjutkannya lagi. Cukup memakluminya karena mungkin itu dibikin agar masyarakat tahu, bahwa Satpol PP bekerja untuk melayani masyarakat dengan menertibkan pengamen, PGOT, Silverman dan sebangsanya termasuk kuntilanak gadungan. Wong ada di Instagram Pemkot og!

Saya pun tidak akan berkomentar terlampau jauh mengenai razia itu. Apakah setelah razia memang terwujud lingkungan yang tertib? Apakah masyarakat merasa aman karena adanya razia tersebut atau justru sebaliknya? Silakan anda tanyakan pada yang punya kapasitas atau minimal punya kedekatan dengan pihak berwenang.
Namun kalau boleh jujur, pemberitaan razia pengamen dan PGOT semacam ini justru gagal menampilkan konteks permasalahan yang sesungguhnya. Kalau postingan Pemkot dan Satpol PP okelah ya itu buat citra mereka. Perkara citranya bakal semakin buruk, itu bisa diurus belakangan, yang penting konon Perda harus ditegakkan. Walaupun kita nggak pernah tahu siapa yang bikin Perda terkulai.
Masyarakat atau paling tidak saya sendiri membutuhkan media mainstream untuk pemberitaan pengamen dan PGOT yang lebih komprehensif. Tidak satu arah dan kering konteks bin klikbait jelek seperti yang diunggah Pemkot Pekalongan. Namun apa boleh buat, butuh sekadar butuh.
Media mainstream justru mengekor cara pemberitaan Pemkot. Ikut-ikutan mereduksi permasalahan yang ada. Kalau soal klikbait jelek, media mainstream kayak Tribunnews jauh lebih berkapasitas daripada pemberitaan yang langsung dikeluarkan Pemkot Pekalongan.
BACA JUGA : Mengangkangi Informasi
Saya menyebut Tribunnews lantaran pemberitaan soal pengamen cum pengemis berkostum kuntilanak ini juga tayang di Tribun Jateng. Baik Instagram Pemkot Pekalongan ataupun Tribun Jateng sama-sama sebatas mencantumkan keterangan narasumber dari Satpol PP, berita itupun sampai muncul di pemberitaan televisi nasional macem GTV dan sebangsanya. Yang pada akhirnya sudah bisa ditebak, ujung-ujungnya pengamen atau pengemis tersebut dibawa ke Rumah Perlindungan Sosial Berbasis Masyarakat (RPSBM).
Setelah itu, problem pengamen dan PGOT ini dianggap tuntas. Pemberitaan hilang begitu saja, media tidak lagi memberitakan. Padahal masyarakat kayak saya, nggak tahu apa yang terjadi setelah orang-orang yang ditangkap Satpol PP itu masuk RPSBM. Sehingga timbul pertanyaan, kalau memang ada tempat perlindungan semacam RPSBM kenapa masih banyak pengamen dan PGOT?
Inilah yang dilupakan media mainstream. Mereka ini luput untuk mengabarkan bahwa munculnya fenomena pengamen dan PGOT, bahkan sampai Silverman dan Kuntilanak merupakan potret susahnya perekonomian. Jika jumlahnya makin banyak, boleh jadi kondisi ekonomi masyarakat memang sedang tidak baik-baik saja.
Sayangnya, pemberitaan razia pengamen dan PGOT hanya semacam spot news atau berita pendek saja. Media mainstream sangat jarang menyediakan ruang bagi PGOT dan pengamen. Mestinya media lokal harus melakukan humanisasi ruang representasi, seperti apa yang ditulis Idi Subandy dalam Jurnalisme Kemiskinan: Representasi Kemiskinan di Media Lokal, yang juga dikutip Rangga Naviul Wafi.
Dengan konteks yang tengah saya bicarakan ini, artinya media mainstream lokal harusnya memberikan ruang pada pengamen dan PGOT untuk bersuara. Memastikan agar keduanya tak lagi sekadar objek belaka yang dimanfaatkan untuk mendulang trafik, views, atau apalah-apalah. Melainkan dengan memosisikan pengamen dan PGOT sebagai subjek pemberitaan.
Namun saya benci mengatakan ini, bahwa hal itu hampir mustahil dilakukan media mainstream. Pengamen dan PGOT adalah komoditas berita yang terus dibangun stigma negatifnya. Stigma negatif terhadap pengamen dan PGOT bertambah kokoh dengan video-video penangkapan keduanya oleh Satpol PP yang tersebar di media sosial. Yang mana video-video tersebut menunjukkan aksi penangkapan yang boleh dibilang menisbikan rasa kemanusiaan.
BACA JUGA Tulisan-tulisan menarik Muhammad Arsyad lainnya.