Kotomono.co – Sepenggal obrolan dalam kunjungan Mutia Hatta dan Halida Hatta di Museum Batik Pekalongan kemarin (Senin, 6/6/2023) pagi, cukup menyentak. Terutama, ketika kedua putri Proklamator, Bung Hatta, membicarakan masalah konsep ekonomi kerakyatan. Koperasi yang dulu digemakan sebagai soko guru ekonomi kerakyatan, kata Mutia, sekarang ini sudah berbeda jauh dengan apa yang semula digagas oleh ayahnya, Bung Hatta.
Kalau mau diumpamakan, koperasi sekarang ini sekadar papan nama tanpa makna. Kok begitu? Sebab, seperti diungkap Mutia Hatta, praktik yang dilakukan sebagian besar koperasi sudah tidak lagi mencirikan ekonomi kerakyatan. Malahan, cenderung menjadi kapitalis.
Begitulah, tanggapan Mutia Hatta ketika salah seorang penggiat sejarah dari Komunitas Herritage Pekalongan, Arif Dirhamzah, sebentar mengajak ngobrol tentang peresmian Museum Batik Pekalongan. Kata Arif Dirhamzah, “Museum Batik itu diresmikan bertepatan dengan peringatan Hari Koperasi Nasional lho, Bu. Tanggal 12 Juni 2006. Ketika itu yang mersemikan Pak SBY.”
“Oh ya?” sambut Mutia Hatta dengan senyum lebar dan wajah yang berbinar. “Wah, kalau begitu Museum Batik ini ada unsur Bung Hatta-nya dong. Karena diresmikan pada Hari Koperasi. Nah, ayah kami kan Bapak Koperasi Indonesia. Wah, ini suatu kehormatan bagi kami, keluarga Bung Hatta,” imbuh Mutia.
“Dulu, kalau saya nggak salah ingat, Pekalongan itu punya koperasi yang besar ya? Koperasi yang dikelola para pembatik. Namanya GKBI. Benar kan?” lanjut Mutia.
Arif Dirhamzah yang kala itu datang untuk meliput kegiatan Mutia Hatta dan Halida Hatta di Museum Batik Pekalongan lantas kembali menimpal, “Benar, Bu. GKBI. Dan, jasa GKBI waktu itu cukup besar. Terutama, bagi pergerakan Indonesia merdeka saat itu.”
Mutia Hatta kemudian membalas, “Iya, saya ingat itu. Ayah saya, Bung Hatta, bahkan berkawan baik dengan salah seorang pendirinya. Pak Djunaid ya namanya?”
“Betul. Dan dulu, Pak Djunaid juga yang menginisiasi penghimpunan dana untuk pergerakan Indonesia merdeka itu. Malah, pada waktu Indonesia mengalami krisis bahan baku untuk produksi batik, khususnya kain, beliau ikut mendorong supaya ada produksi kain oleh bangsa sendiri,” tutur Dirhamzah kemudian.
“Oh iya tuh, waktu itu memang situasinya serba susah. Para pembatik kesulitan bahan baku. Pak Djunaid dan ayah saya kala itu turut berusaha dan mencari cara bagaimana agar bahan kain itu dibikin di negeri sendiri dengan bahan-bahan baku dari kita sendiri itu,” terang Mutia.
“Nah, sekarang Bu, Walikota Pekalongan itu dijabat oleh salah seorang putra almarhum Pak Djunaid,” tukas Dirhamzah.
BACA JUGA: Call Center 112 Kota Pekalongan Kerap Digeruduk Ghost Call dan Prank Call
“Wah iya to? Kalau begitu, sungguh sangat beruntungnya Kota Pekalongan punya Walikota seorang putra dari tokoh koperasi. Itu artinya, ia pasti memiliki kepedulian terhadap ekonomi kerakyatan. Tentu juga ia akan punya kepedulian lebih bagi upaya membangkitkan lagi koperasi yang sesuai dengan gagasan Bung Hatta. Apalagi museum ini juga diresmikan pada Hari Koperasi. Saya yakin, ia akan memajukan Museum Batik ini juga. Tapi, kok beliau nggak bergabung di sini? Sayang sekali ya?” ucap Mutia dengan roman wajah yang agak kecewa karena tak sempat menjumpai Walikota Pekalongan.
Sejenak, Dirhamzah terdiam. Sementara, Mutia Hatta masih dengan kata-kata dan sekeranjang kenangan tentang ayahnya. Mutia menuturkan bagaimana kemudian Bung Hatta menuangkan gagasannya tentang ekonomi kerakyatan. Bahwa prinsip dasar pendirian koperasi adalah sebuah wadah untuk membantu masyarakat pribumi dalam menghadapi ekonomi kapitalisme yang dijalankan penguasa Hindia-Belanda yang kala itu diduduki oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Menurut Hatta, ekonomi kapitalisme adalah sistem ekonomi yang eksploitatif dan merugikan masyarakat.
Hatta juga mengklasifikasikan koperasi ke dalam tiga tipe. Pertama, koperasi yang mengajarkan egoisme kepada anggotanya. Koperasi ini menerapkan aturan paksa kepada seluruh anggotanya agar giat berusaha demi mendapatkan dividen yang besar di akhir tahun. Mereka akan mematok harga mahal atas semua yang dijual kepada anggota. Namun, anggota tidak dibolehkan membeli di lain tempat. Bagi mereka yang membeli di lain tempat akan dicap sebagai pengkhianat. Aturan ini embuat anggota dengan pembelian besar akan memberi keuntungan besar bagi koperasi. Sedangkan, anggota dengan pembelian kecil akan mendapat keuntungan besar dari anggota lainnya.
BACA JUGA: Dua Tahun Walikota Pekalongan Gagap dan Serba Tak Menentu
Kedua, koperasi yang dilandasi paham kepicikan dalam menjalankan taktik penjualan. Koperasi jenis ini hanya akan melakukan penjualan pada anggotanya. Orang luar tidak dibolehkan. Hal ini akan membuat penjualan mengecil, sehingga ongkos yang mesti ditanggung menjadi mahal. Oleh sebab itu, koperasi ini akan menjual mahal barang-barangnya. Dengan begitu, ongkos yang ditanggung bisa diperingan.
Ketiga, koperasi yang dibangun hanya untuk mengejar keuntungan. Koperasi ini tak ada bedanya dengan perseroan atau perusahaan. Meski begitu, Bung Hatta mengakui, koperasi memang memerlukan keuntungan, namun keuntungan bukan tujuan utama. Sebaliknya, usaha bersama untuk memurahkan pembelian anggotanya. Apabila ada keuntungan dari kegiatan koperasi, Bung Hatta mengusulkan agar keuntungan itu digunakan untuk tambahan modal atau dana cadangan. Dengan cara itu, koperasi tak perlu terganggu ketika ada anggota yang mundur. Sebab, pengunduran diri seorang anggota berarti pula pengembalian uang iuran. Artinya, modal koperasi akan berkurang. Itu dapat ditalangi dari keuntungan sebelumnya.
Sayang, gagasan cemerlang Bung Hatta ini belum sempat dijalankan dengan sebenar-benarnya. Bahkan, di masa tuanya, gagasan itu masih jauh dari harapan. Akan tetapi, semangat untuk mewujudkan gagasan itu masih terus dihidupkan. Bahkan, Mutia Hatta bersama suaminya turut mengembangkan gagasan itu untuk dapat disebarluaskan ke masyarakat. Khususnya, di kalangan anak muda.
“Iya, benar. Memang luar biasa semangat berkoperasinya orang-orang Pekalongan kala itu. Tapi ya itu tadi, sekarang konsep koperasinya banyak yang sudah melenceng jauh. Sudah tidak sesuai dengan apa yang digagas oleh Bung Hatta. Saya kira, itu perlu diluruskan lagi,” tukas Bu Mutia, seolah memberi wejangan tentang perlunya mengembalikan koperasi ke jalur yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Koperasi yang bukan lagi bernapaskan kapitalisme.
Semoga harapan itu terwujud, Bu Mutia.