KOTOMONO.CO – Dulu, waktu masih duduk di bangku sekolah, tak jarang saya mendengar cerita teman tentang aksi heroiknya yang berani memalsukan tanda tangan orang tua atau tanda tangan Kepala Sekolah. Dengan bangga, ia ceritakan pengalamannya itu. Saya yang mendengar pun merasa iri.
Kenapa ia palsukan tanda tangan? Tentu, tujuannya untuk “menyelamatkan diri”. Paling tidak, punya alasan kuat untuk melakukan sesuatu. Misalnya, bikin surat izin sakit dengan tanda tangan palsu agar bisa membolos. Atau, bikin surat pemberitahuan palsu dari sekolah dengan tanda tangan palsu Kepala Sekolah agar dapat “uang saku tambahan”.
Saya juga pernah melakukan itu. Minimal, sebagai catatan kenakalan yang pernah saya lakukan. Lho, apalah gunanya sekolah kalau nggak pernah mengalami kenakalan. Jadi, nakal itu perlu.
Tapi, kalau nakalnya keliwat batas, artinya ketika kenakalan itu dilakukan melampaui batas usia nakal, itu bisa jadi masalah. Malah bisa menimbulkan huru-hara. Bahkan, bisa sampai di depan meja sidang majelis hakim di pengadilan loh!
Terus, bagaimana jika tanda tangan yang dibutuhkan itu untuk keperluan darurat? Boleh nggak dipalsuin? Misal, pas mau ngambil bantuan korban banjir. Ndilalah syaratnya harus menyertakan tanda tangan Pak Lurah. Sementara, kejadiannya pas malam-malam pula. Jadi, Pak Lurah pasti nggak di kantornya. Sedang Rumah Dinasnya juga nggak ditinggali. Padahal, rumahnya Pak Lurah itu nggak di kelurahan yang dipimpinnya. Kira-kira dibolehkan nggak ya, memalsukan tanda tangan?
BACA JUGA : Silverman, PGOT Jadi Aset Wisata, Boleh Nggak?
Hm, gimana ya? Agak susah juga jawabnya. Sebab, bagaimana pun yang namanya pemalsuan tanda tangan itu masuk dalam kategori tindak kriminal. Apalagi kalau ada yang sampai melaporkan ke kepolisian dan menuntut agar dikasuskan. Wah, bisa berabe.
Kecuali, kalau memang yang mau dipalsukan tanda tangannya itu nggak keberatan. Itu lain cerita. Tapi, bagaimana jika kemudian ada pencocokan tanda tangan oleh pihak berwenang untuk keperluan laporan? Bisa kena tuh si pemberi tanda tangan itu. Repot kan?
Ya memang repot. Jangankan pemalsuan, wong tanda tangan pakai scan aja kadang tidak dianggap sah kok. Karena diragukan keasliannya. Tapi belakangan, sejak diberlakukan KTP elektronik, pemerintah mengesahkan tanda tangan digital. Cuma memang, penggunaannya baru sebatas untuk transaksi via daring. Jadi, belum bisa digunakan untuk segala keperluan.
Oke, lepas dari masalah itu, satu pertanyaan yang masih mengganjal. Sebenarnya, apa sih pentingnya tanda tangan? Terus, gimana caranya membuktikan kalau tanda tangan itu asli atau palsu?
Woooh yang namanya tanda tangan itu memang penting banget. Ia punya fungsi sebagai bukti tertulis atas sebuah kesepakatan antara pihak-pihak yang bersepakat. Ia juga jadi bukti otentik tentang identitas orang yang ikut menyepakati suatu keputusan. Makanya, jangan asal menandatangani sesuatu yang memang belum disepakati bareng-bareng. Salah-salah kita bisa rugi. Jangan juga memberikan foto tanda tangan ke sembarang orang, bahkan ke orang yang kita kenal sekalipun. Ya, jaga-jaga saja. Supaya nggak disalahgunakan. Bukannya nggak percaya sih, tapi sama-sama menjaga kepercayaan dan saling menghormati satu sama lain.
BACA JUGA : Banjir Berwarna Merah di Kota Pekalongan Itu Biasa Saja, Nggak Usah Lebay!
Terus, bagaimana cara membuktikan keaslian tanda tangan, itu ada cara tersendiri. Kalau memang ingin membuktikannya memang agak repot juga sih. Soalnya, harus berurusan dengan Kepolisian. Kalau cuma main klaim, ya bisa aja malah bikin rame dunia maya. Bertengkar nggak habis-habisnya gara-gara mempertahankan klaim masing-masing.
Nah, cara paling efektif sih memang lewat jalur hukum. Diadukan ke polisi, agar diusut kasus pemalsuan tanda tangan itu. Dari situ, nanti pengecekan tanda tangan akan dilakukan oleh tim Labroratorium Forensik. Iya lho! Sekarang, tanda tangan itu masuk kategori yang bisa diperiksa di Labfornya Kepolisian. Jadi, timbang repot-repot bikin status atau koar-koar di medsos, langsung aja ke kantor polisi. Beres kan?!
Kalau terbukti ada tanda tangan yang dipalsukan, si pemalsu bisa tuh dituntut secara hukum. Bahkan, terancam hukuman enam tahun kurungan, berdasarkan pasal 263 ayat (1) KUHP. Contohnya, seperti pada kasus eks staf Mahkamah Konstitusi, Masyhuri Hasan. Ia kena hukuman penjara setahun, gara-gara memalsukan tanda tangan seorang panitera MK pada surat dengan menggunakan komputer. Putusan hakim tersebut diambil berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang mendakwa Hasan dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya