KOTOMONO.CO – Tahu nggak? Ternyata ada banyak hal luar biasa di bidang pendidikan yang nggak sempat diberitakan lho! Apa sih? Penasaran kan? Hmm… memang, kodrat manusia itu sudah jelas. Ia adalah makhluk yang rasa ingin tahunya tinggi. Istilahnya sekarang banyak kepo-nya. Ha ha ha ha! Tapi itu bagus. Artinya, kita masih peduli dengan hal-hal yang bisa saja dianggap nggak penting.
Yoi! Kali ini memang yang saya maksud bukan peristiwa besar. Bukan tindakan yang heroik. Cuma hal-hal ringan yang di mata kebanyakan orang dipandang remeh dan mungkin dianggap unfaedah. Tapi, sekecil-kecilnya sebuah tindakan yang baik, kalau dilakukan dengan suka rela dan penuh rasa tanggung jawab, tentu akan bermanfaat besar. So, di sini nih, sekarang kita tahu bahwa tindakan besar pun pada akhirnya jadi relatif maknanya. Ibarat orang menggotong sebongkah batu besar tapi di sebuah gurun yang tak berpenghuni dan tak dilalui banyak orang, tentu akan beda nilainya dengan orang menyingkirkan kerikil yang merintang di tengah jalan.
Nah, beberapa waktu lalu, sebuah lembaga pendidikan sudah melakukan hal kecil. Tapi sungguh di luar nalar. Lembaga itu yang punya merk Merdeka Belajar. Yup! Nggak salah lagi kalau bukan, Sekolah Cikal!
Bisa dibayangin kan? Bagaimana mungkin lembaga swasta itu rela menghibahkan hak merk Merdeka Belajar (MB) kepada Kemendikbud? Bukankah jauh di dalam pikiran kita, entitas swasta itu pada intinya hidup buat mengejar profit? Jika menuruti anggapan ini, semestinya takdir yang ia tempuh adalah mempertahankan merk yang telah diajukannya ke Kemenkumham sejak 2018 lalu dan membiarkan Kemendikbud mencari slogan lain?
Mungkin Mbak Najeela, pendiri Sekolah Cikal itu, sedang menyiapkan salah satu kado terindah buat Indonesia, meskipun tidak dilakukanmya tepat pada hari kemerdekaan republik ini. Supaya berkesan, hadiah itu mestinya tak cuma bermakna bagi dirinya, tapi juga lembaganya, orang-orang yang setujuan dengannya, dan tentu bermakna pula bagi negeri ini.
Salah satu puncak kebermaknaan tertinggi yang dapat ia wujudkan ialah memberikan apa yang paling ia cintai. Tapi, sebentar. Mana ada orang yang mau menghibahkan barang yang paling ia sukai, terlebih bila barang itu punya sejarah panjang?
Nah, Mbak Najeela ini tampak sedang bertindak anti-mainstream. Beliau seolah tengah menguji dirinya, “Gimana kalau saya kasih hadiah buat Ibu Pertiwi. Sesuatu yang paling aku cintai.” Begitulah khayalan saya tentang gumaman putri Profesor Quraish Shihab ini.
Merdeka Belajar itu sesungguhnya slogan Sekolah Cikal. Ia mulai dikibarkan ke ranah publik setidaknya sejak 2015 lalu, bersamaan dengan terbitnya edisi perdana Surat Kabar Guru Belajar (berisi praktik pengajaran guru-guru yang senafas dengan MB) dan permulaan terbentuknya Komunitas Guru Belajar (ladang implementasi konsep MB) di beberapa daerah. Meski saya sebut sebagai slogan, MB ternyata menyimpan kisah kelahiran tersendiri.
Khalayak, terutama para pendidik, mestinya penasaran tentang istilah Merdeka Belajar, daripada hanya terpesona oleh kebijakan Kemendikbud yang lima episode itu. Mereka juga pastinya paham bahwa sifat kebijakan pemerintah itu terkadang abstrak, agak sulit diimplementasikan, apalagi yang membutuhkan penafsiran pada level paling praktis.
Dari situlah seharusnya timbul pertanyaan pemantik diskusi, obrolan hangat, atau bahkan diskursus mengenai perspektif MB, minimal, di mata pendidik. Misalnya, bagaimana pendidik dapat mengimplementasikan MB di ruang kelas? Atau bolehkah guru bebas menginterpretasikannya berdasarkan kewenangannya sebagai tenaga profesional kependidikan? Lalu, kegiatan yang bagaimanakah yang tergolong MB? Prinsip apa yang dipegang MB? Konsep apa saja yang ada di dalamnya? Apakah ada kurikulumnya?
Pertanyaan ini penting. Jauh lebih penting ketimbang ribut-ribut soal jargon Merdeka Belajar. Tapi, pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba saja menjadi tidak relevan ketika berita hibah merk MB memanas. Publik malah disibukkan dengan polemik yang nggak signifikan dalam sejarah pendidikan Indonesia. Barang tentu khalayak memang lebih suka polemik semacam itu daripada diskusi mengenai pengembangan guru. Dan media membuatnya makin intensif.

Menurut berita, ada sementara pihak yang khawatir. Karena merk MB dimiliki oleh swasta, penggunaan slogan itu oleh Kemendikbud dalam menyebut program unggulannya dikhawatirkan malah menguntungkan pemilik sah MB.
Memang sih, kecemasan itu beralasan, dan wajar bila publik kemudian mengaitkannya semata-mata dengan soal keuntungan komersial dan promosi gratis. Akan tetapi, sepertinya memang perlu dipermasalahkan, kali ya, biar urusan merk dagang itu cepet kelar, biar kecurigaan yang mereka sangkakan itu segera terbukti benar-tidaknya. Lalu, dengan selesainya masalah kecil ini, barangkali permasalahan mendesak tentang kualitas, pengembangan, dan pemerataan guru baru bisa dikuliti bersama-sama, dijadikan polemik, serta diperdebatkan banyak kalangan.
Mari kita lanjutkan.
Sejak awal, Sekolah Cikal memang tidak punya niat sama sekali memetik keuntungan dari merk MB miliknya (CNN, 14/7/2020). Pihaknya pun membebaskan, siapa saja boleh menggunakan merk itu, asalkan untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Bahkan hingga kini, setelah lima episode Merdeka Belajar kepunyaan Kemendikbud bergulir, Sekolah Cikal nyantai aja. Ia tidak minta royalti. Tidak juga ngomongi bahwa pemerintah seolah minim kreativitas, nggak mau cari sendiri istilah lain. Tidak.
Malahan, Sekolah Cikal mengambil langkah bijak. Daripada konflik ini makin mengaburkan makna MB, daripada persoalan sepele macam ini malah membikin publik nggak sempat melihat masalah-masalah inti di dunia pendidikan, serta daripada-daripada yang lain, akhirnya mereka hibahkan merk itu kepada Kemendikbud.
Namun saya curiga. Jangan-jangan ini hanya kamuflase Najeela saja. Sejak awal ia sepertinya memang sudah berniat memberikan apa yang paling ia cintai kepada tanah tumpah darahnya, Indonesia. Semacam kado kemerdekaan yang mungkin so sweet banget.
Memangnya seberapa penting sih MB bagi Mbak Ela, panggilan kakak Najwa Shihab ini?
Penting. Penting sekali. MB itu proyek jangka lama bersama timnya di Sekolah Cikal yang sudah berjalan kurang lebih 20 tahun. MB telah dan mungkin akan terus melalui serangkaian uji coba, gagal, berhasil, lalu gagal lagi, riset, praktik, dan semacamnya. Proses ini tak akan berhenti, sebagaimana permasalahan di dunia pendidikan yang kelihatannya nggak bakal hilang sama sekali.
Pendeknya, MB adalah sebuah nama daripada pengabdian penuh Sekolah Cikal beserta jaringan pendidikan di bawah naungannya pada dunia pendidikan di Indonesia. Dan itulah yang telah ia dan lembaga bentukannya berikan kepada bangsa yang baru saja merayakan ulang tahun ke-75 ini. Ketimbang hibah kepada Kemendikbud, saya lebih suka menyebutnya hadiah buat Indonesia. Kado kemerdekaan yang terindah, menurut saya.
Di lain pihak, sementara kalangan merasa menang karena akhirnya polemik merk itu selesai, Sekolah Cikal, dan juga semua insan pendidikan yang tergabung di Komunitas Guru Belajar Nusantara, sedang berpesta merayakan kemerdekaan belajarnya dan bersyukur masih bisa belajar, bergerak bersama, dan menjadi semakin bermakna.
Usai itu, mereka masih terus berjuang sebagaimana takdir yang dipilihnya. Saya kira persoalan merk tadi tak ubahnya masalah sehari-hari yang perlu segera dituntaskannya supaya tidak menghambat kerja Sekolah Cikal. Yang terbaru, mereka baru saja merilis kurikukum merdeka belajar yang bebas diakses publik.
Baca juga : Merdeka Belajar itu Kayaknya Butuh Mandiri dan Otonom