
Tidak jarang, ketika menghadiri acara-acara resmi, saya menyaksikan dan mendengar beberapa orang penting yang berpidato atau memberi ceramah menggunakan kata “adalah” atau “ialah” dirangkai dengan kata “merupakan”. Misalnya, “Batik adalah merupakan kebudayaan Indonesia yang patut kita lestarikan” atau “Pekalongan adalah merupakan kota penghasil batik yang sudah dikenal sejak dahulu kala” dan sebagainya.
Kejadian serupa tak jarang pula saya jumpai saat sesi wawancara yang dilangsungkan oleh sejumlah wartawan dengan tokoh-tokoh penting tadi. Mereka terkadang masih merangkai kata “adalah” dengan “merupakan”. Bahkan, kejadian semacam itu juga kadang terulang saat saya mewawancarai sejumlah orang penting di kota kelahiran saya saat bertugas sebagai pemandu acara gelar wicara di radio.
Peristiwa-peristiwa kecil itu bagi saya menandakan sebuah gejala kebahasaan. Bahwa di dalam menggunakan bahasa, sebagian orang kerap mengabaikan unsur ketertiban dalam berbahasa. Lebih-lebih dalam ragam bahasa lisan.
Memang, ketika bahasa digunakan sebagai alat komunikasi dalam kelisanan, aspek yang diutamakan adalah pesan yang diujarkan tersampaikan dengan baik. Artinya, pesan itu dapat dimengerti dan dipahami oleh penerima pesan. Sehingga, tertib berbahasa menjadi perihal yang seolah-olah tidak diperlukan.
Berbeda saat pesan itu disampaikan secara tertulis. Diperlukan upaya keras untuk memilih kata yang tepat. Tujuannya, agar terjadi pemahaman yang setara antara penyampai pesan dengan penerima pesan.
Namun demikian, tidak dimungkiri pula kebiasaan dalam bertutur acapkali memengaruhi kita saat melakukan komunikasi secara tertulis. Alih-alih memberikan penjelasan secara terperinci, penggunaan bahasa yang kita lakukan justru tidak efektif dan cenderung berboros kata. Bahkan, tidak jarang pula menimbulkan kebingungan bagi penerima pesan. Itulah mengapa, tertib berbahasa menjadi elemen penting yang patut dibiasakan. Baik dalam kelisanan maupun secara tertulis.
Artikel ringan ini mencoba mengungkap tentang pemakaian kata “merupakan” yang sampai detik ini masih kerap rancu. Seperti yang telah dicontohkan pada bagian awal tulisan ini. Dimulai dari sebuah pertanyaan, kapan saat yang tepat untuk menggunakan kata “merupakan”?
Tentu, pertanyaan itu mesti dijawab dengan sebuah uraian. Tidak semerta berupa jawaban singkat. Berikut saya sajikan uraian mengenai kata “merupakan” dan penggunaannya yang tepat.
Akar Kata “Merupakan”
Kata dasar dari “merupakan” adalah “rupa”. Kata “rupa” mula-mula berasal dari bahasa Sanskerta. Seperti telah kita ketahui, bahwa penggunaan bahasa Sanskerta di era kerajaan-kerajaan Kuno Nusantara begitu masif, sehingga penyebaran bahasa ini memberi pengaruh besar pada bahasa-bahasa di Nusantara. Wajar jika kemudian penggunaan beberapa kosakata dalam bahasa Sanskerta diserap oleh bahasa-bahasa di Nusantara. Terutama, dua bahasa di Nusantara yang pengaruhnya cukup besar dalam perkembangan bahasa saat itu. Yaitu, bahasa Melayu Kuno dan Jawa Kuna.
Kata “rupa” adalah salah satu dari sekian banyak kosakata yang diserap oleh bahasa Melayu Kuno dan Jawa Kuna. Hingga kini, kata “rupa” masih digunakan dalam kedua bahasa tersebut. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, di awal era modern, saat bahasa Indonesia lahir, kata “rupa” dimasukkan pula sebagai salah satu kosakata bahasa Indonesia.
Lalu, apa makna kata “rupa”? Anda bisa memeriksa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI). Kata “rupa” secara etimologi dimaknai sebagai tampilan, bentuk, citra, ciri, tanda, warna, dan kesamaan. Untuk mencapai pada pemahaman ini, Anda bisa mengamati penggunaan kata “rupa” dalam bahasa Jawa Kuna. Bisa melalui Kamus Jawa Kuna Indonesia karangan Zoetmulder atau pula Kamus Indonesia – Jawa Kuna karya Mardiwarsito dkk, atau juga buku-buku lain seperti karangan Poerbatjaraka.
Dalam bahasa Jawa Kuno (mungkin pula pada bahasa-bahasa lain di Nusantara), kata “rupa” dapat berdiri sendiri sebagai kata, dapat pula digabungkan dengan kata lain. Untuk yang satu ini, sepertinya akan lebih seru kalau saya bahas pada tulisan lain. Sekarang, saya fokuskan pembahasannya pada akar kata “rupa”.
Saya ajak Anda kembali menengok KBBI. Kata “rupa” memiliki lima makna dalam KBBI. Di antaranya (1) keadaan yang tampak di luar (pada lahirnya), (2) roman muka; tampang muka; paras muka; raut muka, (3) wujud; apa yang tampak (kelihatan), (4) bangun; tokoh; bentuk, dan (5) macam; jenis. Berdasarkan pemaknaan tersebut, maka dapat dipahami jika kata “rupa” menduduki kelas kata nomina (kata benda).
Sebagai kata benda, kata “rupa” tidak dapat digabungkan dengan kata “tidak”. Di dalam sebuah kalimat, kata benda akan menduduki fungsinya sebagai subjek, objek, atau pelengkap dalam klausa, pewatas, atau poros dari sebuah frasa. Lalu, pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan kata “merupakan”? Baiklah. Mari kita urai lagi.
Jika mencermati uraian tadi, maka kita mengerti sekarang. Bahwa, kata “merupakan” adalah perubahan bentuk dari kata “rupa” setelah mendapatkan imbuhan me- dan -kan. Lalu, jika bentuk kata berubah, apakah maknanya juga ikut berubah? Oh, sudah pasti iya. Malah, tidak hanya makna, melainkan pula kelas kata dan fungsinya juga ikut berubah.
Imbuhan me—kan memiliki fungsi utama sebagai pembentuk kata kerja. Terutama, kata kerja aktif transitif. Apa itu kata kerja aktif transitif? Yaitu, kata kerja yang memerlukan objek setelah kata kerja tersebut.
Tentu, sebagai pembentuk kata kerja, imbuhan me—kan akan mengubah kelas kata yang diberi imbuhan tersebut menjadi kata kerja. Dengan begitu, kata yang diubah ke dalam kata kerja itu akan menduduki fungsi sebagai predikat dalam sebuah kalimat. Makna kata pun turut berubah, sebagaimana pada kata “merupakan”.
Sebagai kata kerja, sudah pasti kata “merupakan” bukan bagian dari kata hubung. Akan tetapi, ia menduduki fungsi sebagai predikat di dalam kalimat. Terlebih-lebih, jika menilik maknanya.
Pertanyaannya sekarang, apa makna kata “merupakan”? Mari kita kembali ke KBBI. Kata “merupakan” ternyata memiliki tiga makna. Yaitu, (1) memberi rupa; membentuk (menjadikan) supaya berupa, (2) adalah, dan (3) menjadi.
Nah, sudah mulai terang sekarang, bahwa penggunaan kata “merupakan” berbeda dengan kata “adalah”. Meski salah satu maknanya “adalah”, penggunaan kata “merupakan” memiliki fungsi yang berbeda. Jika kata “adalah” digunakan untuk memberikan definisi pada kata benda, kata “merupakan” digunakan untuk mendefinisikan pengertian rupa atau wujud.
Pemahaman demikian memang agak rancu. Supaya lebih jelas, mari kita pahami lagi dengan contoh penggunaan kata “merupakan” sesuai dengan maknanya.
- Memberi rupa; membentuk (menjadikan) supaya berupa
Gambar canting itu merupakan lambang Kota Pekalongan sebagai penghasil batik.
Bentang laut yang kebiruan merupakan keluasan dan keteduhan hati seorang ibu.
Ornamen batik pada dinding ruang kantor Wali Kota merupakan rasa kebanggaan Wali Kota terhadap batik Pekalongan.
- Adalah
Pekalongan merupakan kota penghasil batik di Indonesia.
Bisnis batik merupakan jenis pekerjaan yang dianggap menjanjikan oleh warga Pekalongan.
Ornamen batik yang dipajang pada ruang kantor Wali Kota itu merupakan motif-motif khas Pekalongan.
- Menjadi
Dibandingkan membatik, bisnis batik merupakan pekerjaan yang lebih diminati warga Kota Pekalongan.
Bisnis batik, kreator konten, dan mengajar merupakan pekerjaan yang ditekuni oleh Jogawi.
Ornamen batik pada dinding merupakan ciri khas gedung perkantoran di Kota Pekalongan.
Sebagai tambahan, definisi yang dihasilkan dari penggunaan kata “merupakan” bersifat tidak mutlak. Berbeda dengan penggunaan kata “adalah”. Definisi yang dihasilkan bersifat mutlak. Untuk pembahasan mengenai definisi mutlak dan tidak mutlak, alangkah baiknya saya sajikan pada tulisan lainnya.
Demikian artikel ringan ini. Semoga bisa memberi manfaat. Khususnya, bagi teman-teman yang barangkali masih bingung saat menulis makalah, skripsi, thesis, maupun disertasi. Sukses untuk kita semua! Bahagia selamanya!