KOTOMONO.CO – Sore itu, selepas mentelengi fb dengan gambar-gambar dan video aksi yang riuh itu, istriku seketika mendekat. Ia menyodorkan kalimat dengan tanda tanya di belakangnya. Menyoal aksi demo yang sempat viral di medsos. Katanya, “Kenapa mesti ricuh?”
Sebelum kujawab, aku sejenak menghela napas. Menyiapkan sederet kalimat-kalimat panjang agar menjadi jelas. Terang seterang-terangnya.
Kujawab, “Kata ‘ricuh’ itu kalau dalam bahasa Indonesia masuk dalam kategori kata sifat atau adjektiva. David Crystal dalam bukunya A Dictionary of Linguistics and Phonetics, mendefinisikan kata sifat sebagai istilah yang digunakan dalam klasifikasi gramatikal sebuah kata untuk mengacu pada kumpulan kata yang menjelaskan sifat kata benda. Sedang Hasan Alwi dkk mendeskripsikan kata sifat sebagai kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat. Sampai di sini jelas?”
Mendengar penjelasanku itu istriku malah cekikikan. Lalu ia bilang, “Hmm… penjelasan yang bertele-tele. Mbok tudepoin saja kenapa sih?”
“Sek sabar, ini mesti aku jelaskan pelan-pelan. Supaya Mama tahu duduk persoalannya. Gimana?” tanyaku.
Ia hanya mengucapkan kata lewat tatapannya. Tak ada suara. Tetapi, aku mengerti.
“Ya, idep-idep Mama kuliah bahasa Indonesia lagi, Ma. Mama kan dulu dapat mata kuliah Bahasa Indonesia cuman sekilas. Nggak komplit kayak aku. Ya kan?” godaku.
Bibir istriku seketika mengerut. Manyun. Kepalanya agak dimiringkan ke kanan. Mungkin otak kanannya mulai berat.
Aku sekali menepuk tangan. Agak keras. Sekadar menyemangati. Ha ha ha! “Oke! Kita mulai kuliahnya. Jadi, begini. Jika kata ‘ricuh’ itu disandangkan pada kata ‘aksi’, maka itu artinya aksi bersifat ricuh. Sekali lagi, aksi bersifat ricuh. Nah, apa itu ricuh? Ricuh itu artinya ribut, cekcok, campur aduk tidak karuan, atau kacau. Kalau ini pasti ngertilah ya… nggak perlu aku deskripsikan kan?”
Istriku mewakilkan kata-katanya dengan anggukan. Entah, apakah ia paham atau tidak, aku tak peduli. Yang penting, aku terangkan saja.
“Oke, lanjut. Sekarang, kata ‘sifat’ itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia punya beberapa arti. Pertama, rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda; tanda lahiriah. Kedua, peri keadaan yang menurut kodratnya ada pada sesuatu. Tiga, ciri khas yang ada pada sesuatu. Dan keempat, dasar watak; tabiat. So, kira-kira arti dari kata ‘sifat’ manakah yang tepat bagi penggunaan kata ‘ricuh’ pada aksi tadi itu?”
Kali ini tidak ada anggukan. Kepala istriku pelan bergerak ke kanan dan ke kiri. Tatapan matanya pun menampakkan kegairahan yang nihil. Aku hanya bisa maklum.
“Mm… gini, kira-kira apakah kata ‘ricuh’ dalam aksi itu menunjukkan keadaan, kodrat, watak, tabiat, atau ciri-ciri?”
Setengah kehilangan gairah, istriku menjawab, “Keadaan.”
“Yup! Anda benar! Ke… a… da… an! Jika ia adalah keadaan, maka yang namanya keadaan itu hanya bisa dimengerti pada saat kejadian berlangsung. Artinya, kata ‘ricuh’ menjadi tepat digunakan saat keadaan itu tengah berlangsung. Lalu, setelahnya? Ya, sudah tidak bisa disebut ricuh lagi. Sebab, kejadiannya sudah berubah. Sudah berbeda. Atau malah sudah berakhir. Faktanya sudah beda lagi. Mengapa begitu? Karena yang namanya keadaan itu meruang dan mewaktu. Tidak berlaku selamanya. Nah, dengan batas ruang dan waktu itu, maka perlu ditanyakan juga, apakah sepanjang aksi itu ‘ricuh’? Aku yakin nggaklah. Maka, apakah peristiwa yang sekelumit itu dapat dijadikan pijakan bagi suatu sifat? Mestinya tidak. Apalagi kalau kita kembali pada pengartian kata ‘sifat’, maka kita akan ngerti. Yang namanya sifat itu sesuatu yang dibawa sejak awal hingga kini. Artinya, kata ‘ricuh’ sebagaimana yang disandangkan pada kata ‘aksi’ itu bukan sifat alamiah dari aksi itu sendiri. Maka, kata ‘ricuh’ sebenarnya tidak tepat digunakan. Sebab, di dalam aksi itu ada dinamika yang berkembang. Kalau ada dinamika, jenis kata yang lebih tepat mestinya kata kerja atau verba. Nah, persoalannya mengapa terjadi penggunaan kelas kata yang tidak tepat? Lagi-lagi ini sebenarnya urusan pelabelan untuk memudahkan penyebutan. Lantas, siapa yang melabeli? Bisa siapa saja. Terus seperlu apa pelabelan itu? Sangat bergantung pada siapa pelabelnya. Ngerti? Paham?”
Aku lihat, istriku menguap. Lantas, buru-buru ia pergi ke kamar. Ah, rasanya penjelasanku masih menggantung. Tanggung. Tapi…. ah, sudahlah!