KOTOMONO.CO – Berdirinya UP PKSAI itu paling untuk mengejar predikat Nindya sebagai Kota Layak Anak di tahun mendatang.
Di akhir masa jabatan, yang namanya Kepala Daerah kayaknya lumrah membuat kejutan-kejutan bagi warga daerah yang dipimpinnya. Tetapi, apakah masyarakatnya beneran terkejut apa tidak, sepertinya nggak pernah diukur. Mungkin ini yang disebut sebagai hasrat besar seorang pemimpin. Ia ingin dikenang oleh masa depan. Seperti yang sedang jadi trend di kota Pekalongan belakangan ini.
Lagi-lagi, di masa injury time kepemimpinan Walikota Saelany Machfudz serta di akhir tahun 2020, berita mengejutkan itu muncul lagi. Kali ini, yang mengejutkan saya, mungkin juga beberapa gelintir warga kota Pekalongan, adalah hadirnya Unit Pelaksana Program Kesejahteraan Sosial Anak Integratif (UP PKSAI). Saya sendiri bertanya-tanya, unit itu dibikin untuk keperluan apa? Ternyata eh ternyata, gagasan ini didorong oleh hasrat Kota Pekalongan untuk membenahi diri sebagai Kota Layak Anak (KLA). Walah!
Memang, selama ini, Kota Pekalongan hanya mampu meraih predikat Madya sebagai KLA. Berdirinya UP PKSAI itu untuk mengejar predikat Nindya sebagai KLA.
“UP PKSAI didirikan agar kami lebih mudah mengidentifikasi, serta menjangkau anak-anak yang rentan terhadap kekerasan, perlakuan salah, penelantaran dan eksploitasi, serta kemudian merujuk mereka ke pelayanan secara integratif,” kata Walikota Pekalongan, Saelany Machfudz.
Singkatnya, UP PKSAI ini untuk mengurangi angka kekerasan terhadap anak. Dan sebuah upaya menggolkan program KLA yang sudah dicanangkan Pemkot Pekalongan.
Sebagai orang yang selalu menaruh prasangka baik pada Pak Walikota, tentu saya yakin tujuan program ini mulia dan visioner. Toh program ini amat penting bagi tumbuh kembang anak-anak yang unyu-unyu di Kota Pekalongan. Btw, saya juga anak lho, pak. Setidaknya saya ini anak dari orang tua saya.
Baca juga : Pembangunan di Penghujung Masa Jabatan Walikota Pekalongan Sungguh Bikin Bahagia
Hanya saja begini, tanpa adanya program kesejahteraan anak integratif atau apalah-apalah itu namanya pun, sesungguhnya Kota Pekalongan telah menciptakan prestasi yang lumayan mentereng. Dalam urusan kekerasan pada anak, Kota Pekalongan berhasil menduduki peringkat keempat pada tahun 2018. Hebat bukan?
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan di tahun 2018, kekerasan terhadap anak di Kota Pekalongan sangat rendah, yaitu 7 kasus. Tahun berikutnya, pada 2019, jumlahnya juga masih stagnan, 7 kasus. Artinya Kota Batik masih aman bagi anak-anak.
Itu data yang bicara. Namun pada kenyataanya mungkin saja jauh lebih banyak, atau malah bisa jadi kekerasan pada anak itu hanya mitos. Yang jelas, data tersebut mungkin hanya berdasarkan laporan. Jadi kalau ada yang lapor masuk ke data.
Ironisnya—dan ini barangkali sungguh-sungguh terjadi—tak semua orang tua melaporkan tindakan kekerasan pada anaknya. Kalau orang tua nggak lapor saat anaknya menerima perundungan berarti tidak ada kekerasan pada anak. Saya kira mustahil anak-anaknya sendiri yang ujug-ujug datang ke Lembaga Perlindungan Perempuan, Anak, dan Remaja (LP-PAR). Lebih ironisnya lagi apabila justru orang tuanya sendiri yang melakukan kekerasan terhadap anak.
Ini adalah perkara serius, bahkan lebih serius dari problem rob yang belum ada obatnya itu. Tentu orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak, misalnya menempeleng atau memukulnya pakai rotan akan melontarkan dalihnya yang beraneka rupa. Paling sering terlontar mungkin: biar anaknya nurut.
Dalih ‘biar anaknya nurut’ ini makin lama makin menyebalkan juga. Dalih tersebut lama-lama menjelma semacam pembenaran dari tindakan kekerasan orang tua terhadap anak. Padahal dari sisi psikologis, itu sangat mempengaruhi anak. Bahkan boleh jadi, anak akan semakin membandel kayak cucian kotor.
Bak ironi di dalam dua ironi, saya menemukan komentar warganet yang seolah justru membela orang tua yang kasar. Mereka-mereka yang komen itu menganggap orang tua yang keras pada anaknya itu wajar belaka. Malah kalau nggak keras, anak jadi manja. Begitu kira-kira.
Entah sejak kapan pandangan seperti itu mulai terpatri kuat dalam benak masyarakat kita. Bagi saya, membenarkan perilaku kekerasan pada anak merupakan kekonyolan belaka.
Baca juga : Anak Muda Ngumpul, Ya Kudu Bisa Bermanfaat Buat Banyak Orang
Itu baru perkara kekerasan. Bagaimana dengan ekploitasi? Saya rasa bikin program-program kesejahteraan anak kayak gini tak cukup kuat dalam mencegah eksploitasi pada anak. Apalagi untuk ekploitasi yang sifatnya privasi atau skala mikro.
Boleh jadi, eksploitasi-eksploitasi seperti anak yang mengamen, anak punk, anak yang disuruh meminta-minta, atau anak yang disuruh apalah-apalah, mengatasinya lumayan mudah. Tanpa lembaga kayak perlindungan anak, atau program ini pun bisa. Kota Pekalongan kan punya dinas sosial, kenapa nggak cukup memakai itu saja?
Jika urusan anak ini bisa pula dikerjakan oleh dinsos setempat tanpa nambah-nambah unit kerja, tentu program yang berpeluang mubazir nggak bakalan ada. Namun agaknya kata mubazir tak pernah ada dalam kamus Pemkot Pekalongan.

Eksploitasi yang sifatnya privasi ini nggak bakal terjangkau maupun diketahui oleh pemerintah. Yang tahu cuma anak, orang tua, kalaupun ada pihak lain itu Tuhan. Eksploitasi di ruang privasi cenderung tak kentara.
Orang tua manapun pasti akan menuntut anaknya. Tentu bukan menuntut ke meja hijau. Melainkan menuntut agar si anak mau melakukan apa pun sesuai kehendak orang tuanya.
Ketika orang tua menyekolahkan si anak, saat itu juga orang tua menaruh beban berat buat anaknya sendiri. Anaknya harus pintar. Harus rangking satu. Harus bisa bikin bangga orang tua. Tidak boleh nakal. Nurut sama ibu guru. Terus begitu sampai Persip main di Liga Jepang.
Awalnya mungkin si anak bakal bahagia berseri-seri. Semangatnya masih menggebu-gebu. Dalam batin mereka, membanggakan orang tua adalah prestasi yang hebat. Itulah yang saya rasakan dulu dan sekarang.
Baca juga : Bukan Hanya Perempuan, Anak Laki-laki juga Merepotkan
Semangat anak akan tambah membara mana kala diberi suntikan motivasi. Seperti kalimat-kalimat yang menunjukkan bahwa orang tua telah bekerja banting tulang siang-malam membiayai anaknya sekolah. Hingga motivasi paling nggateli bahwa ‘kasih sayang orang tua itu tanpa pamrih’.
Tanpa pamrih gimana sih maksudnya? Kalau kasih sayang itu dibarengi dengan daftar tuntutan, apa benar tanpa pamrih? Lalu apa bedanya dengan orang yang kemudian mengumpulkan anak-anak jalanan dan dikasih makan, terus disuruh ngamen?
Masalah ini bukanlah urusan pemerintah daerah. Tidak sama sekali. Murni kesalahan orang tua. Itulah kenapa peran orang tua amatlah penting. Lantas program kesejahteraan sosial anak yang tambah keren dengan kata ‘integratif’ itu buat apa dong?
BACA JUGA artikel Muhammad Arsyad lainnya.