Kotomono.co – Bicara hukuman bagi terpidana mati, kedengarannya menakutkan ya. Jelas saja, hidup seorang manusia akan dipaksa berakhir dengan beragam cara yang tragis, mulai dari tembakan tepat di dada, cairan pembunuh yang masuk dalam raga, aliran listrik yang merasuk sekujur jiwa, hingga kepala yang harus terputus begitu saja. Wajar saja, hukuman mati banyak diprotes karena katanya tidak manusiawi.
Namun, hukuman mati nyatanya bukanlah akhir. Tiga kali ketukan palu yang mengiringi pembacaan vonis ternyata masih bisa berubah di kemudian hari. Ya, terpidana masih bisa mengajukan keringanan yang tajuknya banding, kasasi, atau grasi ke peradilan yang lebih tinggi atau bahkan yang tertinggi.
Hasilnya bisa saja buah dari panjangnya proses persidangan tidak berarti apa-apa. Selain karena pengajuan keringanan yang berhasil dikabulkan, lamanya jarak antara ketok palu hingga pelaksanaan eksekusi juga banyak berpengaruh terhadap melemahnya kekuatan pidana yang telah diberikan, seperti kasus yang kini ramai. Rasanya tak perlu menyebut nama atau inisial ya.
Tapi jika dipikir-pikir, mengapa para terpidana mati itu “ngebet” untuk mendapatkan keringanan ya? Bukankah jika misalnya dikabulkan, sisa hidup mereka tidak akan lagi menarik karena berselimut jeruji beji? Apa sih artinya hidup buat mereka? Mengapa mereka tidak bersyukur saja?
Pertanyaan terakhir terdengar aneh, bukan? Kok bisa hidup mau selesai kok disuruh bersyukur? Apanya yang mau disyukuri? Alih-alih memperjuangkan kehidupan, padahal setidaknya ada tiga alasan yang membuat para terpidana mati itu harusnya bisa bersyukur.
Pertama, Mereka Tahu Kapan Mati
Disadari atau tidak, mereka yang tinggal menunggu waktu untuk hari penghukuman mendapatkan sebuah nikmat yang sangat besar. Tidak salah, para terpidana mati dapat mengetahui kapan waktunya bagi dia menghadap Sang Pencipta. Dengan kata lain, mereka bisa tahu kapan mereka akan meninggalkan dunia.
Hal tersebut pantasnya disyukuri, karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang sama. Sebagai manusia biasa, kita tentunya tidak tahu kan kapan kita akan berpulang? Bisa saja kematian itu datang tiba-tiba dan tanpa apa-apa.
BACA JUGA: Memahami Kritik Romahurmuziy Soal Rutan KPK yang Katanya Tidak Manusiawi
Bandingkan saja dengan para terpidana mati yang notabene pasti akan mendapatkan informasi mengenai waktu bahkan lokasi eksekusinya. Lebih tepatnya, mereka bakal mendapatkan notifikasi pada tiga hari sebelum hari pelaksanaan eksekusi, sesuai pasal 6 ayat (1) UU No.2/PNPS/1964.
Kedua, Paham Bagaimana Ajalnya
Tak hanya waktu kematian, terpidana mati juga mendapatkan keistimewaan lainnya, yakni mengetahui bagaimana cara dirinya akan meninggal dunia. Mereka yang mendapatkan vonis terberat itu pastinya sudah memiliki bayangan mengenai situasi dan kondisi dirinya menjelang hingga saat ajalnya tiba.
Misalnya, mereka telah mengetahui bahwa sisa hidupnya hanya akan dihabiskan dalam sel tahanan. Sembari itu mereka juga pastinya akan merenungi hayatnya yang kelak akan berakhir dengan hukuman tembak, suntik, setrum listrik, pancung, dan lain-lain dengan segala ketentuan dan mekanisme pelaksanaanya.
BACA JUGA: Wacana Reformasi Total Institusi Polri
Refleksi diri bahwa kematian bukan hanya karena sakit. Tentu, tak asing bagi kita melihat orang yang meninggal secara mendadak, seperti karena kecelakaan, bencana alam, tindak kriminal, dan sebagainya. Mereka yang telah pergi pastinya tak menyangka bahwa saat itu adalah detik-detik terakhirnya. Bagi terpidana mati, hal ini tentu berbeda karena mereka telah memiliki “jaminan”.
Ketiga, Last Calling
Kematian merupakan hal yang pasti, namun banyak yang tidak memiliki waktu maupun kesempatan untuk mempersiapkannya. Di sinilah para terpidana mati harusnya lebih banyak bersyukur karena adanya “jaminan” membuat mereka dapat secara totalitas mempersiapkan untuk berpulang.
Sebelum di-“dor”, terpidana mati memiliki beberapa hak istimewa. Pertama, selama waktu isolasi, mereka berhak didampingi oleh rohaniawan yang menyiapkan mental menjelang ajalnya tiba sehingga yang bersangkutan menjadi lebih “siap mati”.
BACA JUGA: Tok! MA Ringankan Hukuman Ferdy Sambo Jadi Penjara Seumur Hidup
Disamping itu, setiap terpidana mati juga diberikan hak untuk mengemukakan sesuatu atau permintaan terakhir. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) UU No.2/PNPS/1964, permintaan itu diterima oleh jaksa agung/jaksa dan wajib untuk dipenuhi jika memungkinkan.
Di saat tersebut, para terpidana mati lagi-lagi harus banyak bersyukur. Mereka dapat memohon untuk bertemu dengan keluarga, menulis surat atau wasiat, meminta menu makanan terakhir, hingga dikuburkan di lokasi tertentu. Bagi kita, belum tentu mendapatkan kesempatan serupa di saat-saat terakhir kita.
Demikianlah, hari-hari terakhir para terpidana mati yang menyayat hati. Walaupun demikian, selayaknya mereka masih harus bersyukur karena penebusan dosanya itu justru memberikan peluang untuk mengungkap rahasia akhir hayat kehidupan seorang manusia.