KOTOMONO.CO – Catatan Bedah Buku “Gugusan Aksara Manggala” karya lima remaja putri dari desa Wonokerto, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang.
Wajah cerah lima cewek belia umur belasan tahun itu tampak sumringah. Mereka duduk sila, berderet seperti wayang kulit yang ditancapkan pada gedebog pisang. Menghadap hadirin yang ada di ruangan itu.
Seorang di antara mereka berbicara. Lintang, namanya. Awalnya ia malu-malu. Lama-lama ia terbiasa. Lancar ia menyampaikan pengalaman mereka menyelesaikan buku yang mereka tulis bersama, menjadi antologi cerita pendek yang mereka beri judul Gugusan Aksara Manggala. Sebuah judul yang menurut ukuran saya luar biasa dahsyat untuk ukuran anak-anak seusia mereka. Masih SMP.
“Lewat judul ini, kami ingin menyampaikan pesan, bahwa anak perempuan itu punya potensi untuk memimpin. Kedudukan perempuan itu setara dengan anak laki-laki. Maka, menulis, seperti yang kami lakukan, adalah bagian dari cara kami belajar mengerti keadaan dan mencoba lepas dari belenggu anggapan yang menyudutkan peran anak perempuan,” kata Lintang.
Wah! Seketika benak saya memberbersit, kata-kata Lintang mengingatkan saya pada Madam Evita Peron atau nama lengkapnya María Eva Duarte de Perón. Perempuan perkasa, istri dari Presiden Argentina ke-29, Juan Domingo Perón. Yang karena ketokohannya, Evita Peron menginspirasi banyak orang, bahkan menginspirasi seorang sutradara film kenamaan, Alan Parker, untuk memfilmkan tokoh yang satu ini pada tahun 1996.
Film yang dibintangi aktris Hollywood fenomenal, Madonna, itu memperlihatkan betapa Evita Peron adalah perempuan hebat. Ia tokoh perempuan yang berhasil merobohkan dinding sekat antara kaum borjuis dan proletar, kaum ningrat dan rakyat jelata. Tak heran jika rakyat Argentina sangat mengelu-elukannya. Apalagi ketika mereka tahu kisah hidup perempuan tangguh ini. Ia melewati masa-masa sulit dan menghadapi tentangan yang tidak kalah hebatnya dari kelompok yang tidak setuju dengannya. Tetapi, kegigihannya membuahkan hasil.
BACA JUGA: Menggagas Media Alternatif di Tingkat Desa sebagai Ruang Aspirasi dan Apresiasi Warga
Kalau di Indonesia, mungkin kisah Evita mirip-miriplah dengan Kartini. Wanita bangsawan Jawa yang memilih hidup sederhana dan akrab dengan rakyat jelata. Wanita Jawa dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata pada masa itu. Pemikirannya juga mampu mendahului zamannya.
Karena itu pula, tokoh ini lantas difilmkan. Bahkan, ada tiga judul film yang diinspirasikan dari ketokohan Kartini. Pertama, RA. Kartini, besutan sutradara Sjuman Djaya, yang diproduksi tahun 1982. Kedua, film Surat Cinta untuk Kartini yang disutradarai Azhar Kinoi Lubis (2016). Dan ketiga, film Kartini yang diproduksi tahun 2017 oleh sutradara Hanung Bramantyo.
Dari dua nama tokoh itu saja, jelaslah bahwa sosok perempuan memang memiliki daya luar biasa. Ia mampu menginspirasi banyak orang untuk melakukan sesuatu yang unbelievable. Sesuatu yang extra ordinary. Mengapa? Mengutip tulisan Maria Dominique dalam Tanpa Tutup, nilai lelaki sebagai individu yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, baru terlihat “mengerikan” kalau mereka menjadi massa. Sedangkan, nilai kekuatan wanita baru terlihat “mengerikan” saat ia menjadi individu.
Terlepas benar-salah, pernyataan itu saya terima. Dan saya sepakat-sepakat saja. Tidak ada keberatan dengan kalimat itu. Nyatanya, memang lelaki kadang kesulitan menghadapi wanita sekalipun wanita ini sendirian. Bos saya, mas Angga cukup berpengalaman soal itu. Ya nggak bos?
Jadi, kata-kata Lintang, gadis belia yang usianya kira-kira 15 tahun ini, bagi saya, nggak cuma bisa diterima, akan tetapi bisa jadi pula semacam letupan awal yang akan mengguncang dunia di kemudian hari. Saat ia dan teman-temannya beranjak dewasa, serta mampu mengambil peran penting di tengah masyarakat. Saat ini, mungkin belum. Tetapi, dengan apa yang mereka lakukan, adalah cikal bakal bagi masa depan mereka dan warga desa tempat ia tinggal sekarang.
Di depan para tamu, mereka kini belajar untuk memberanikan diri tampil di depan umum. Berbicara dengan lantang dan menggugah kesadaran warga desa, bahwa mereka anak-anak desa yang memiliki potensi besar untuk membangun desanya menjadi lebih baik dan lebih besar namanya di kemudian hari. Tulisan karya mereka adalah dobrakan awal. Kelak, mereka pula yang akan memantapkan peradaban yang sudah terbangun. Boleh dibilang, mereka adalah pioner di antara anak-anak seusia mereka yang lain.
BACA JUGA: Angkat Topi untuk Para Dermawan dan Relawan
Meski begitu, saya menangkap, mereka masih menjadi anak-anak gadis belia sewajarnya. Artinya, mereka masih sebagaimana anak-anak lainnya. Suka iseng, suka main-main, dan lain sebagainya. Mereka hidup sebagaimana hidupnya gadis-gadis belia desa masa kini. Masih haus akan pengalaman dan pengetahuan.
Maka, apresiasi yang diberikan oleh kakak-kakak mereka yang ikut membina dan mendidik mereka, seperti mas Hendra (Ketua IMADIBA) akan menjadi pelecut agar mereka jauh lebih bersemangat berkarya. Demikian pula dengan yang disampaikan Ketua Komunitas Omah Sinau, mas Slamet Nur Khamid, yang menaruh harapan besar kepada anak-anak didikan komunitasnya agar menjadi orang hebat. Belum lagi dukungan moral dan dorongan mental dari Kepala Desa yang hadir dalam helat bedah buku karya mereka. Juga tempaan mental yang digenjot oleh pegiat Perpustakaan Omah Sinau, yang digawangi mas Ahmad Budiono. Dukungan lain juga datang dari Kepala Sekolah yang hadir dan semua warga yang turut mangayubagya kelahiran buku kumpulan cerpen karya mereka.
Betapa, dukungan ini begitu besar kepada mereka. Dan saya, yang menyaksikan peristiwa itu mengharu biru. Sama sekali tak terlintas dalam benak, bagaimana bisa hal ini terjadi di desa nun jauh dari peradaban kota. Modal mereka mungkin sangat terbatas, karena tak memiliki penerbitan atau industri perbukuan yang memadai. Sedang, tantangan mereka tak kalah besarnya. Sebab, membangun budaya literasi di tengah masyarakat desa tak gampang dan sangat rumit. Banyak kendala yang harus dihadapi. Tetapi, mereka bisa membuktikannya. Sekurang-kurangnya, melalui karya lima gadis yang masih duduk di kelas 9 SMP ini.
Menariknya lagi, saat sesi foto bersama, Pak Kades, sempat berbisik pada saya. Ia masih punya rencana untuk membuat anak-anak ini menulis lagi. Terutama, menuliskan tentang sejarah desanya. Wow! Gila! Ini Pak Kades sempet-sempetnya mikir sampai situ. Umumnya, Pak Kades memikirkan soal proyek jalan rusak, perbaikan saluran, bedah rumah warga, bangun aula desa, atau yang sifatnya fisik saja. Lha ini? Kok ya sempet mikirin anak-anaknya. Apa untungnya, Pak?
Mungkin atau bahkan memang tak ada untungnya. Kalau dilihat dari modal politik saat beliau nyalon, usaha Pak Kades untuk mendorong anak-anaknya supaya menuliskan sejarah desa atau cerita-cerita lain tentang desa tidak bisa mengembalikan modal yang dikeluarkan. Tetapi, ada keyakinan, bahwa ketika desa ditulis dan menjadi tersebar kemana-mana tulisan itu, sangat besar kemungkinan hal itu akan mendatangkan berkah bagi desa. Bisa jadi, akan ada banyak orang dari luar daerah yang tiba-tiba kepo tentang desa. Bisa jadi pula, dengan tulisan-tulisan itu akan lahir semacam maket pembangunan bagi masa depan desa yang tidak melulu ditentukan oleh proyek-proyek yang sudah rutin dijalankan dari tahun ke tahun. Melalui tulisan itu, besar kemungkinan pula akan membangun konsep yang utuh mengenai jati diri desa. Dari situlah kemudian arah pembangunan desa dapat dikonsepkan dan dituangkan menjadi kekuatan desa.
BACA JUGA: Cerita Dua Penelepon tentang Dampak Banjir di Pekalongan
Saya kira, desa memang sudah waktunya memiliki tulisan. Sebab, terlalu lama bangsa ini dininabobokan oleh mimpi-mimpi kosong. Lalu, ketika nglilir, kita gragap-gragap kebingungan mencari pegangan karena tak ada satu pun yang bisa kita baca kecuali komentar-komentar yang berseliweran tak jelas arah tujuan. Padahal, telah dicontohkan oleh Mpu Prapanca 600 tahun silam, melalui Kakawin Déśa Warṇana (Nāgara Kṛtāgama) yang mencatat perjalanan sang pujangga melintasi desa-desa. Tetapi rupanya, catatan itu seolah dianggap sekadar catatan sejarah lampau yang tak ada hubungannya dengan masa kini dan masa depan. Seolah-olah kemajuan sebuah desa hanya ditentukan oleh spekulasi harapan dengan memanipulasi impian. Tetapi tak memiliki pijakan yang mendasar. Teramat disayangkan jika itu yang terjadi.
Kendati demikian, kemunculan Lintang, Wulan, Bela, Puji, dan Salma, menurut saya, adalah semacam seberkas cahaya yang akan menerangi desa. Apalagi daerah Batang yang kental hubungannya dengan masa kejayaan Kalingga dan Mataram Kuno, membuat kemunculan lima gadis remaja ini mengingatkan saya pada sosok pemimpin perempuan Kalingga, Shima. Ratu yang memegang teguh pada rasa optimisme dalam membangun peradaban kerajaannya. Bisa jadi, kemunculan mereka berlima merupakan sebuah kebangkitan optimisme baru yang lama hilang.
Terakhir, saya berharap, semoga lima gadis belia ini kelak menjadi cahaya terang bagi desa Wonokerto, Bandar, Batang. Apalagi acara bedah buku karya mereka dihujani cahaya matahari pagi yang terang dan langit membiru cerah. Semacam tanda, bahwa alam pun menyambut gembira kehadiran mereka. Kalau boleh saya sebut, merekalah Pancagatinya Batang, kelak.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya