KOTOMONO.CO – Aroma harum interior Mazda 4wd yang saya tumpangi membuat saya merasa agak tenang malam itu. Apalagi malam itu hujan. Tentu, agak malas juga jika saya harus keluar rumah dengan berhujan-hujan dengan sepeda motor dan jas hujan. Toh, sekalipun sudah pakai jas hujan, tetap saja basah.
Jadi, sembari menikmati perjalanan yang nyaman dengan sentuhan kemewahan, saya nikmati pula kepura-puraan saya sebagai orang kaya. Geli juga sih. Tapi, apa salahnya sesekali.
Tepat pukul sembilan malam, Mazda putih mulus itu mulai meluncur. Lincah betul mobil ini melaju di antara butiran hujan, membawa saya sampai ke Majelis Taklim Al Maliki-Pekalongan. Kebetulan, malam itu di Majelis Taklim Al Maliki sedang ada pengajian rutin.
Setiba di Majelis Taklim Al Maliki yang bermarkas di Kelurahan Jenggot, tampak jemaah Al Maliki memenuhi ruang dalam hingga luber di teras rumah-rumah warga sekitar. Begitu takzim mereka duduk menyimak materi pengajian Pak Kiai Din (sapaan akrab K.H. Muhammad Saifudin Amirin) yang dicorongkan lewat pelantang suara. Sampai-sampai tetesan hujan dari atap dan talang pun tak dirasa.
Kami tak kebagian tempat. Kami pun akhirnya duduk melantai di teras kediaman Pak Kiai Din. Walau begitu, suara Pak Kiai masih terdengar jelas. Kami pun turut menyimak materi pengajian beliau.
Sekitar lima belas menit kemudian, pengajian usai. Diakhiri dengan doa. Kami dan seluruh jemaah Al Maliki menengadahkan tangan sambil mengucap “amin”.
BACA JUGA: Catatan ringan saat rekaman podcast Media Al Maliki bersama K.H. Muhammad Saifudin Amirin
Pada “amin” yang terakhir, seketika suasana tenang. Tak terdengar suara apapun. Kami masih duduk di teras kediaman Pak Kiai Din. Sengaja. Karena kami memang ingin menemui beliau. Ada tamu istimewa pula dari Bandung yang ingin bertemu beliau.
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya kami pun bertemu Pak Kiai Din. Oleh Pak Kiai Din, kami dipersilakan menemui beliau di Sejogati, salah satu rumah yang ada di kompleks Majelis Taklim Al Maliki.
Kami pun tak berlama-lama, segera memasuki rumah Sejogati. Di sana, tamu dari Bandung ini seketika tatapannya menabrak pada sesuatu yang membuatnya berbinar-binar. Tatapannya menangkap sesuatu yang sangat unik. Antik pula! Warnanya hijau tentara. Berbahan besi. Dan bentuknya mirip motor tentara. Pada sisi tanki bensin, tertera tulisan “Royal Enfield”.
Kawan saya yang dari Bandung itu langsung nyelatuk, “Wah, satu frekuensi nih! Sama-sama anak motor!”
Kami yang duduk di Sejogati pun tertawa. Merasa senang membawakan tamu dari Bandung yang hobi traveling ini.
Tak lama, Pak Kiai tiba. Beliau langsung menerima tamu istimewa itu dan perbincangan hangat dan akrab pun terjadi. Tak ada jarak yang senjang di antara Pak Kiai Din dan para tamu. Semua bicara dengan lepas. Lebih-lebih tamu dari Bandung yang biasa saya sapa, Kang Kampret.
Beliau dosen ITB. Tetapi, juga seorang social engineering. Banyak hal yang sudah dilakukan di setiap tempat yang ia singgahi. Terutama, di luar Jawa. Ia tak sekadar membuat eksperimen sosial, akan tetapi berhasil menuntaskan beberapa masalah warga dan melerai konflik.
Tentu, ia tak sendirian. Ia punya kelompok pejuang yang biasa diajak keliling. Bahkan ustaz muda, Handy Bonny diajak juga untuk keliling motoran. Melihat masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan berusaha membantu menyelesaikannya. Ada juga ustaz Fahmi, seorang kepala Madrasah Aliyah serta penggerak literasi di Bandung. Kerap turut bersafari, menemani warga daerah yang mereka kunjungi.
Kembali ke pertemuan tadi. Singkat cerita, dalam pertemuan itu banyak hal menarik yang kami bicarakan. Termasuk, kondisi saat ini. Tetapi, dari sekian banyak hal itu yang paling menarik adalah tentang sikap Pak Yai. Terutama, dalam hal menjaga idealismenya.
Tutur beliau, saat beliau mulai membangun dan mengembangkan Majelis Taklim Al Maliki, banyak pihak yang tertarik dan datang pada beliau. Mereka bermaksud baik, yaitu menawarkan bantuan-bantuan dalam beragam bentuk. Terutama, untuk pengembangan Majelis Taklim Al Maliki agar memiliki Pondok Pesantren.
Boleh dibilang, bantuan-bantuan itu sangat menggiyurkan. Apalagi bagi saya yang belum pernah melihat secara riil uang dengan angka nolnya berderet-deret kayak gerbong kereta api. Wah, pasti tergiur saya.
Lain saya, lain pula Pak Kiai Din. Beliau justru tak terlalu silau dengan tawaran itu. Beliau memilih bersikap hati-hati. Yang beliau junjung justru rasa persaudaraan dengan siapapun. Makanya, demi menjaga rasa persaudaraan itu, beliau bersikap tegas, jangan sampai bantuan-bantuan yang ditawarkan itu justru akan merusak rasa persaudaraan.
Sikap itu ditunjukkan Pak Kiai Din lewat perjuangan beliau bersama jemaah majelis taklim yang diasuhnya itu dalam membangun Pondok Pesantren. Bersama jemaahnya, beliau membangun pondok pesantrennya secara swadaya. Apa yang dimiliki jemaah itulah yang didayakan.
Begitu pula dengan para dermawan. Pak Kiai juga berhati-hati betul saat menerima bantuan dari dermawan. Beliau hanya ingin, ketika seseorang memberikan bantuan, maka itu semata-mata karena ketulusan dan besar perhatiannya pada masalah pendidikan. Bukan sekadar memberikan materi.
Seperti dituturkan beliau pula, andai beliau mengiyakan tawaran bantuan-bantuan dari pihak-pihak itu, jelas-jelas pembangunan Pondok Pesantren lekas selesai. Tetapi, demi menjaga rasa persaudaraan dan menumbuhkan rasa memiliki jemaah majelis taklim yang beliau asuh, beliau memilih berswadaya.
BACA JUGA: Pertanyaan Nggak Penting Itu Ternyata Penting Juga untuk Ditanyakan
Panjang tuturan beliau soal tawaran bantuan-bantuan itu. Sampai tak terasa jarum jam menyentuh angka 12 tepat. Teman saya yang dosen ITB itu mesti pamit. Masih ada perjalanan jauh malam itu.
Tetapi, dari obrolan itu, saya kemudian menangkap kesan sekaligus pesan. Bahwa apa yang dilakukan Pak Kiai Din mungkin saja sebagai cara beliau mendakwahkan perilaku mandiri. Dalam perkara ini, sikap dan perilaku mandiri itu bukan sikap yang individualis. Bukan sikap yang seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa tanpa bantuan orang pun bisa mewujudkan keinginan atau cita-cita.
Akan tetapi, kemandirian yang dimaksud adalah kemandirian yang dibangun secara bersama-sama. Dengan kata lain, kemandirian itu baru bisa diwujudkan jika antara satu dengan yang lain sanggup saling mendukung, saling berbagi peran, dan saling memberi ruang gerak untuk sama-sama mencapai tujuan yang sama. Apapun bentuk dukungan, peran dan gerak yang dilakukan.
Dan memang, tidak gampang membangun kemandirian itu. Perjuangan yang dilakoni mesti menemui banyak tantangan, mesti berani mengambil risiko dan konsekuensi yang tidak main-main. Seperti yang beliau alami sampai saat ini di dalam membangun Pondok Pesantren.
BACA JUGA: Kunci Pembuka Pintu Keilmuan Menurut K.H. Muhammad Saifudin Amirin
Beliau hanya ingin mengatakan bahwa Pondok Pesantren yang beliau bangun itu adalah milik warga. Bukan milik pribadi. Maka, mesti diupayakan bersama-sama agar kelak juga dijaga bersama-sama pula. Kuncinya, adalah rasa saling memberi.
Perilaku inilah yang sebenarnya pernah disinggung oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw. Sabda beliau, “Berbahagialah mereka yang masuk Islam. Mereka dikaruniai kemampuan untuk tidak mengemis, dan selalu puas dengan apa yang diberikan Allah kepadanya”.
Jelaslah, dengan sabda itu dapat dipetik hikmah, bahwa kemandirian itu baru akan terbangun melalui kebersamaan dengan tujuan membangun masyarakat yang ta’awun fil birri wat-taqwa (saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan). Bukan sebaliknya, saling menindas dan menzalimi.
Malam itu, di antara rinai hujan yang jatuh dari langit, serasa saya mendapatkan guyuran cahaya kerohanian yang menenteramkan. Besoknya, saya sampaikan kepada Pak Kiai Din rasa terima kasih tak hingga atas ilmu yang beliau sampaikan via Whatsapp. Dan saya kira, ini pula yang mestinya dibangun dalam mendenyutkan kehidupan warga Kota Pekalongan.