KOTOMONO.CO – Logika pemerintah membangun wisata air Pekalongan saat banjir rob perlu kita pahami.
Tampaknya, satu-satunya sektor yang tak mungkin diabaikan oleh pemerintah hanya sektor pariwisata. Pemerintah sangat mati-matian mendongkrak sektor yang satu ini. Bahkan saat awal-awal pandemi pun, pemerintah lebih memerhatikan sektor pariwisata ketimbang ancaman kesehatan warganya.
Saya tak akan membahas terlampau jauh mengenai hal itu. Karena pembahasan soal pemerintah yang kocar-kacir menangani pandemi sudah terlalu usang. Apalagi pemerintah kan sudah berupaya, paling tidak bikin istilah-istilah njelimet agar sebisa mungkin menghindari kata “lockdown”.
Boleh jadi karena sektor pariwisata ini yang paling diperhatikan, pemerintah juga tak mau menyia-nyiakan momentum pandemi hanya untuk mengurus makhluk mikroorganisme tersebut. Ya pemerintah memang sedang serius menangani itu, tapi soal wisata jelas tak boleh dilupakan.
Bagi pemerintah, mungkin melupakan sektor pariwisata bisa menjadi semacam dosa besar, yang buntutnya bikin negara bangkrut. Maka di tengah pandemi yang penanganannya masih gontai, pemerintah mengambil langkah antisipatif untuk sektor pariwisata. Gagal menambah turis datang, menambah destinasi wisata pun jadi.
BACA JUGA: 2036 Kota Pekalongan Terancam Tenggelam, Tapi Kita Nggak Tahu Harus Apa
Satu yang cukup mengejutkan adalah pembangunan wisata air terbesar, konon se-Asia Tenggara. Kalau boleh jujur, saya malas buat berkomentar tentang hal itu. Tapi kok ndilalah lokasi pembangunannya di Pekalongan. Sebagai putra daerah, tentu saya harus ikut bersuara. Walaupun nanti, suara saya ini hanya seperti bunyi kentut di telinga pemerintah.
Pembangunan wisata air tersebut kabarnya akan selesai pada akhir tahun ini. Agak kaget sih, karena saya tidak begitu mengikuti perkembangan proyek tersebut. Dulu saya kira, pembangunan wisata air itu tak lebih dari sekadar desas-desus. Saya pikir, halah mana mungkin Pekalongan bikin wisata air, wong bagian utara saja masih tergenang rob.
Eh, nggak tahunya beneran dibangun. Pembangunannya dibiayai penuh oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (Kemen-PUPR). Menurut informasi yang beredar, dana untuk wisata air senilai Rp 30 miliar. Nggak main-main, ternyata banyak banget coy!
Hal itu menunjukkan pemerintah sangat serius untuk membangun tempat wisata, utamanya di kawasan pantai. Pemerintah tak lagi fokus buat membangun wisata pantai di Bali atau Lombok, tapi Pekalongan juga ikut diperhitungkan.
Sungguh saya pengin bangga, tapi ketika membaca komentar-komentar di Facebook, banyak masyarakat Pekalongan yang justru nggak suka. Mereka kecewa terhadap kebijakan pemerintah yang lebih memilih membangun tempat wisata daripada menangani rob yang ada di depan mata.
Bagaikan saat Indonesia berlaga di kualifikasi piala dunia, tapi lawannya adalah Vietnam dan Uni Emirat Arab, saya pun mesti menunda rasa bangga itu. Apalagi saya nemu komentar bernada sinis di Facebook. Seseorang menulis komentar “percuma bikin wisata, akses ke sana masih rob”. Makjleb!
Saya nggak habis pikir, bagaimana mungkin orang itu punya pikiran sampai ke situ? Dia mungkin bukan pegawai kedinasan dan tentu bukan pula Maudy Ayunda. Tapi komentarnya bikin siapapun sepakat, tak terkecuali saya. Ha soalnya komentar orang itu logis dan langsung menusuk ke ulu hati.
Kenapa Pemkot nggak mikir gini juga ya dulu ketika Kemen-PUPR punya rencana bikin wisata air di Pekalongan? Mungkin mikir sih, saya yakin Pemkot nggak sekuno itulah. Cuman kan, ini proyek dari pusat, ya kita semua mengerti, permintaan pusat ibarat ngidamnya seorang bini.
Saya mencoba memahami logika pemerintah membangun wisata air saat rob belum tuntas. Logika yang boleh jadi melintasi batas ruang dan waktu. Oke, mungkin begini ya kira-kira.
Mungkin saja rob yang masih ada itu justru alasan dibangunnya wisata air. Pemerintah melihat kalau Pekalongan ini nyaris rata dengan air. Jadilah dibuatkan wisata air terbesar sekalian.
Rob yang tak kunjung tertangani, menandakan pembangunan wisata air di Pekalongan tepat sasaran. Ya bener dong? Rencananya kan mau bikin wisata air terbesar, sementara daratan di Pekalongan sudah mulai banyak yang tergenang air. Ngono tho logikane?
BACA JUGA: Banjir Rob, Antara Relokasi VS Pembangunan Tanggul
Wisata air juga nggak mungkin sia-sia hanya karena aksesnya rob, iya kan? Ayolah! Kita coba menyamakan persepsi dengan pemerintah. Begini-begini, nalar pemerintah kan sangat futuristik, meneropong jauh ke depan. Maka bagi pemerintah, rob bukan penghambat akses, barangkali justru dimanfaatkan buat akses ke wisata air itu sendiri.
Mungkin saja, akses yang tergenang rob malah jadi satu paket wisata sekalian. Anggap saja Kanal Amsterdam versi kearifan lokal. Kan asyik gitu. Buat sampai ke wisata air, kita mesti naik perahu dulu. Melihat rumah-rumah warga yang terendam. Menikmati udara Pekalongan yang anginnya sepoi-sepoi.
Bayangkan jika kamu menikmatinya bersama orang yang kamu cintai. Sudah pasti syahdu sekali. Kamu bakal betah tinggal di Pekalongan. Orang-orang Pekalongan yang di perantauan juga pasti akan memposting foto dengan kapsyen “Jadi kangen Pekalongan”.