KOTOMONO.CO – Dalam alam ke-guru-an, ada satu ilmu yang disebut Pedagogi. Khalayak biasa memadankan kata ini dengan “pendidikan”. Itu lebih tepat ketimbang menyamakannya dengan “pengajaran”. Pedagogi boleh dikata seperti pondasi bagi kalangan pendidik dalam menjalankan tugasnya. Lemah pedagoginya sama saja bercita-cita menurunkan kualitas pendidikan.
Kok ampuh bener pedagogi itu ya? Memangnya, pedagogi itu yang gimana sih? Apakah seorang kakak yang mengajari adiknya teknik penjumlahan bersusun termasuk mempraktikkan pedagogi? Apakah seorang ayah yang memberi tiga butir soal hukum Newton kepada anaknya lalu menunggunya hingga anak itu menyelesaikannya, entah bisa atau tidak, bisa dianggap melakukan pedagogi? Apakah guru kelas di sekolah dasar yang memberikan setumpuk tugas beberapa mata pelajaran sekaligus untuk dikerjakan muridnya dalam waktu seminggu, telah memperagakan pedagogi?
Lantas, pedagogi itu apa dong?
Saya agak kesulitan mencerna pengertian pedagogi, sebab beberapa ahli menyodorkan pengertian yang agak berlainan. Walau begitu, saya tidak akan menguraikan pedagogi sebagaimana buku teks perkuliahan, atau sebagaimana Mirriam-Webster Dictionary serta Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sebaliknya, baiknya kita ngulik sedikit tentang pedagogi dari praktik yang kini tengah berlangsung secara massif: Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Pertama-tama, saya ingin menegaskan bahwa dalam praktik PJJ yang sedang ramai ini, hampir tidak ada pedagogi. Karena itu, bila kita sepakat pedagogi itu pendidikan, maka nggak ada tuh proses pendidikan dalam praktik pembelajaran moda dalam jaringan (daring).
Tengok saja setelah pembelajaran daring berlangsung beberapa waktu (di tempat saya PJJ sudah berjalan sejak Maret lalu), banyak guru yang masih nggak serius mendiagnosis kendala, kondisi, dan paling tidak kebutuhan siswa dalam belajar. Padahal diagnosis itu sangat diperlukan untuk memetakan kesiapan anak.
Nah, kalau sudah terpetakan, guru punya dasar kuat untuk menyesuaikan aktivitas pembelajarannya sesuai tingkat kesiapan siswa. Inilah salah satu contoh tindakan yang bisa disebut pedagogi.
Apakah sulit? Tergantung. Namun, bagi guru yang sejak dulu hanya “mengajar”, dan bukannya “mendidik”, proses itu butuh upaya keras.
Apesnya, serangan corona makin menjauhkan praktik diagnosis itu. Kini, kendala pembelajaran pun kian berat. Selain kuota dan minimnya pengawasan guru atas kegiatan belajar siswanya, konsepsi guru tentang pedagogi hampir tidak kelihatan jejaknya dalam PJJ. Atau jangan-jangan, sejak dulu tidak ada itu pedagogi di ruang kelas. Eh?
Barangkali pedagogi yang guru pahami sekarang sudah mengalami modifikasi kali ya? Misalnya, cukup dengan menyerahkan tugas kepada siswanya yang lalu ditunggunya sampai tenggat waktu pengumpulan, sudah dianggap praktik pedagogi. Kemudian, di pertemuan selanjutnya, masih dengan semangat yang sama, guru ngasih tugas baru. Begitu seterusnya.
Praktik seperti ini menyedihkan. Meski begitu, kebanyakan guru tetap lanjut, tancap gas dengan memberi banyak tugas dengan berbagai alasan yang memang masuk akal bagi budaya kerjanya, tapi tidak bagi siswanya. Dan itu memang terjadi. Inilah contoh praktik yang nggak tergolong pedagogi.
Mari kita coba lebih detail. Konten pelajaran pastilah berisi tingkatan-tingkatan, mulai dari yang paling mudah sampai ke tahap paling sulit. Mengajarkan itu kepada siswa juga nggak sembarangan. Ada yang karena bakat dan kecerdasannya, ia mampu menguasai level paling sulit dengan sedikit usaha. Di kutub lain, mau menguasai yang mudah saja, siswa tertentu butuh waktu lumayan lama, apalagi yang susah.

Nah, dalam PJJ, semua dipukul rata. Nggak ada tingkatan kayak gitu. Murid yang cepat menguasai dan yang lambat, tidak dibedakan perlakuannya. Rentang waktunya juga dibuat sama. Pokoknya satu: materi segera selesai, nilai cepat didapat. Akhirnya, selama PJJ, siswa tidak menjadi inti pendidikan. Dan jelas, itu bukanlah pedagogi yang semestinya “mengabdi” pada anak.
Uraian di atas sebenarnya dapat dikerucutkan menjadi satu bentuk masalah yang cukup mendasar, yakni teknologi versus pedagogi. Istilah ini pertama kali saya dengar dari salah satu kawan Facebook dan cocok sekali dengan permasalahan yang coba kita bahas sekarang.
Dalam hal PJJ, di banyak kesempatan pembelajaran, teknologi menang. Sedangkan pedagogi kalah. Penggunaan teknologi yang nggak kritis menyebabkan orang tersandera. Manusia seolah didikte oleh logika teknologi. Ujung-ujungnya, muncul anggapan, tanpanya belajar-mengajar tidak mungkin. Begitu juga sebaliknya, dengan memanfaatkan teknologi, pelajaran dapat berjalan lancar.
Kita mestinya mafhum bahwa teknologi itu cuma alat mencapai salah satu tujuan, termasuk tujuan pendidikan atau belajar. Karena itu, teknologi berada di level praktis yang siap pakai. Di lain pihak, pedagogi berdiri di antara teknik dan pijakan dasar yang bernuansa filosofis. Ia semacam paradigma dalam mendidik seseorang, sehingga bukan tentang teknik itu sendiri. Sebab itu, levelnya lebih umum ketimbang sedulur satunya, teknologi.
Meskipun demikian, telah disepakati bahwa pedagogi itu ilmu yang teoritis sekaligus praktik. Melulu praktik tidak akan tercapai pedagogi. Pun sebaliknya, berkutat pada teori semata bakal nggak imbang. Karenanya, dasar-dasarnya perlu dipahami dengan jelas.
Menurut kurikulum keguruan, pedagogi telah diajarkan di kampus kependidikan. Meski saya akui, usai itu mahasiswa akan kelimpungan bila disuruh menerapkannya di ruang kelas. Sedangkan saat terjun di sekolah, dalam jangka waktu yang biasanya agak lama, guru lebih banyak bersentuhan dengan praktik. Pada kesempatan inilah pengetahuan teoretis pedagogi dapat ia kawinkan tiap hari dengan pengetahuan praktiknya.
Dari pengetahuan itu, kemudian akan terwujud beragam variasi metode belajar. Entah itu menggunakan teknologi atau tidak. Relevansinya dengan PJJ, bila sungguh menggunakan pedagogi, ia dijadikan pegangan dalam merumuskan sejauh mana penggunaan teknologi dapat mendukung proses pendidikan.
Sayangnya, tak sedikit pendidik yang tenggelam dalam urusan teknis dan meletakkan pedagogi entah di mana seperti barang bekas. Tentang tugas yang belum dikumpulkan siswa melalui WhatsApp atau platform lain, penanganan siswa via daring yang jarang online plus tugasnya blong-blongan, mencoba berbagai macam aplikasi atau platform yang kekinian untuk dijadikan tugas karena bayang-bayang inovasi, dan, bersamaan dengan itu, guru mengesampingkan bagaimana kesiapan siswa dalam PJJ. Dengan kata lain pedagogi disingkirkan demi selesainya pelajaran.
Karena itu kita pantas bertanya, apa yang telah dicapai selama PJJ sebagai hasil perlakuan guru kepada siswanya? Adakah sedikit saja hasil PJJ yang nyerempet tujuan “menjadikan siswa lebih mandiri”, “meningkatkan kemampuan kognitif siswa”, atau “meningkatkan kemampuan memecahkan masalah”? Di mana guru menyimpan kemampuan pedagoginya?
Mungkin betul, tidak ada pedagogi dalam PJJ.