Ngopi sudah jadi tren. Di mana-mana ada kedai kopi. Di Pekalongan juga. Kedai-kedai kopi tumbuh menjamur di setiap sudut kota. Seorang pengelola kedai, pernah bilang pada saya, usaha kedainya itu didedikasikan untuk para petani kopi. Sebagai apresiasi jerih payah mereka.
Saya penasaran. Apresiasi yang dimaksud apaan ya?
Panjang ia ceritakan seputar masalah dunia perkopian. Mulai dari kenakalan-kenakalan praktik bisnis pertanian kopi sampai kerugian yang diderita petani kopi. Juga ia ceritakan, bagaimana bisnis perkopian yang dimainkan para pemodal besar itu merugikan masyarakat. Lantas, ia prihatin. Makanya, ia buka kedai dan membeli produk kopi itu dari petani langsung.
Ia sadar, cara itu nggak semudah seperti membuang kertas undangan sang mantan. Ia masih harus berhadapan dengan antek-antek pemodal besar. Kadang kudu main petak umpet. Kadang main kejar-kejaran kayak polisi India dalam film India. Kadang pula kayak main kartu di atas meja judi. Atau pula kayak main mafia-mafiaan. Wah, kayak film Godfather aja. Untung saja dia selamat. Kalau nggak, berarti saya nggak sempat ngobrol sama dia.
Nah, sekarang ia kafenya makin ramai. Syukurlah. Dan ia memang bersyukur, karena upayanya berhasil menciptakan ruang apresiasi bagi petani kopi. Terutama petani kopi lokal.
Tak cukup di situ, ia pun rajin mempromosikan produk kopi lokal itu. Diberinya merk yang khas daerah asal kopi itu. Dibikin desain logo plus kemasannya biar menarik. Sampai dibikinkan pula akun media sosial dari facebook, instagram, whatsapp, dan banyak lagi lainnya. Semua itu dilakukannya bersama teman sepemikirannya.
Saya yang mendengar itu cuman bisa manggut-manggut. Tetapi, di balik manggut-manggutnya saya itu, ada berderet-deret pikiran berseliweran. Kalau kopi saja bisa, bagaimana dengan dunia sastra? Lebih-lebih sastra di Pekalongan?
Maka, supaya saya dapat informasi yang perlu, saya mencari teman yang memang bergerak di dunia sastra. Ah, kebetulan ketemu. Saya ulik dia.
Dia tergolong newbe di dunia sastra. Masih imut-imut lagi. Tapi saya suka semangatnya. Dari dia saya mendapatkan cerita menarik tentang pengalamannya. Dia bilang, awalnya dia berjalan sendirian. Nggak tahu ke mana langkahnya akan dibawa. Gontai dan limbung. Kadang suka jatuh terjerembab dalam lembah yang berlimbah. Beruntung, dia masih bisa menghirup oksigen dan sesekali timbal di jalanan yang dikepulkan dari knalpot kendaraan bermesin.
Di tengah kesepiannya itu, ia mikir. Mencari teman yang seirama. Eh, memang nasib lagi mujur. Dia pun menemukannya. Lantas, dia bikin sebuah perkumpulan yang diberi nama Teras Imajinasi. Lumayan, katanya, anggotanya terus bertambah. Ada dari berbagai daerah, terutama di sekitaran kota Pekalongan.
Ya, ibarat motor yang nyaris kehabisan bensin di jalan, sekarang dia sudah menemukan pom bensin dan mengisi tangki motornya lumayan penuh. Ada tambahan tenaga. Tetapi, rupanya ia sempat mentok. Kebingungan mencari panggung. Mula-mula ia berharap dapat menikmati sensasi panggung. Memimpikan ia menjadi tokoh sastra besar di kota kelahirannya. Sayang, ia tak cukup punya nyali untuk membuktikannya.
Ia membayangkan, berdasarkan cerita-cerita temannya, dunia panggung di kota ini masih cukup menyeramkan. Alih-alih dihujani sorot lampu warna-warni, kesan angkernya masih berasa banget. Sampai-sampai ia sempat mengimajinasikan panggung itu seperti panjat pinang. Ia nggak pede abis. Badannya kecil, tenaganya juga tak cukup besar. Mana mungkin dia bisa memanjat tanpa terjatuhkan oleh orang lain yang lebih kuat, pikirnya.
Di lain hal, dia juga masih mikir. Apa sih menariknya sastra? Di kampung-kampung, orang cenderung menatap pentas baca puisi itu dengan tatapan yang heran bercampur merasa aneh. Puisi cukup ditampilkan di acara tujuhbelasan. Itu saja ditaruh di bagian awal. Sekadar memenuhi standar protokol acara.
Orang-orang kampung, menurutnya, cenderung memandang aneh—nyaris jijik—kepada anak-anak yang gemar bersastra. Bahkan, ada juga yang mencapnya sebagai “pemberontak”. Itu karena biasanya anak-anak yang gemar bersastra itu punya cara pandang yang tidak seirama dengan pandangan umum. Cara hidupnya juga dipandang aneh.
Dan satu hal lagi yang dia katakan pada saya. Ada kecenderungan, pelaku atau pegiat sastra di daerah itu lahir dari keluarga yang kurang beruntung. Sangat berbeda dengan para pegiat seni lainnya. Barangkali itu yang membuat dunia sastra tak cukup mendapatkan ruang dan mendapatkan panggung besar.
Sederet pikiran pesimis itu disampaikannya sampai jelang subuh. Lalu, ia segera mengoreksinya. Mungkin sebenarnya sebagai penghibur saja. Tetapi, saya yakin itu muncul dari keyakinannya yang terdalam. Dengan semangat, ia katakan pada saya, bahwa lewat Teras Imajinasi itu ia ingin membangun ruang apresiasi bagi dunia sastra di Pekalongan. Apapun risikonya, ia nekat. Kalau pun butuh belajar, ia tak akan tanggung-tanggung belajar.
Saya hargai tekat itu. Sangat saya suka. Tetapi, seperti dunia kopi tadi, ada hal yang mungkin perlu ia pelajari lebih dalam lagi. Ia perlu mengenal sastra lebih dalam. Meski ia sudah mulai melakukan dan menjadikan sastra—khususnya puisi—sebagai laku kesenian, ia mesti lebih banyak membaca apa, siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana sastra itu.
Ia mesti mengenal Chairil Anwar, Amir Hamzah, Hamid Jabbar, Rendra, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, Remy Silado, Kahlil Gibran, Frans Kafka, Goete, Albert Camus, Adonis, dan sederet nama penyair lainnya. Paling tidak, ia pelajari perjalanan hidup mereka. Soal pilihan nasib, ia boleh-boleh saja memilih mengikuti jalur dari sekian deret nama itu. Atau memilih untuk menemukan alurnya sendiri.
Lewat cara itu, saya yakin ia akan tampak besar pada akhirnya. Ia tak hanya bicara tanpa belajar dari pengalaman orang-orang. Sebab, seperti kopi tadi, teman saya yang punya kedai itu juga membaca bagaimana kopi itu sampai tersaji di atas meja. Dalam sebuah cangkir. Mencipta ruang apresiasi tak bisa dilakukan hanya dengan menikmati sensasi rasa kopi yang diseduh di kafe-kafe. Diselingi diskusi panjang yang tak ada ujungnya. Istilah gampangnya, “Tak ada makan siang gratis!”.
Di ujung obrolan itu, ia menampakkan wajah sumringah. Ada gairah yang begitu kuatnya. Sayang, subuh menjemput. Obrolan itu mestinya masih berlanjut. Seperti seorang Ibu yang sedang merajut mantel dengan benang wol, ia perlu jeda untuk kemudian kembali dirajut. Obrolan itu masih akan berlanjut.