KOTOMONO.CO – Mendengar keluhan pedagang, meresapi apa yang mereka rasakan.
Kurang lebih sepekan aturan PPKM Darurat telah dijalankan di Jawa dan Bali. Demi menekan angka penyebaran positif Corona yang kian menggila, satuan tugas covid 19 pun nampak serius dalam menjalankan peraturan tersebut. Tidak ada kompromi, tidak ada tebang pilih, tidak peduli siapa yang tidak sesuai peraturan harus ditindak, ini semua demi kepentingan bersama.
Khusus di Pekalongan, mengenai penerapan PPKM Darurat ini, Walikota maupun Bupati Pekalongan menurunkan peraturan sesuai dengan Instruksi Mendagri Nomor 15 Tahun 2021 bahwa untuk supermarket, pasar tradisional, toko kelontong dan pasar swalayan yang menjual kebutuhan sehari-hari dibatasi jam operasional sampai pukul 20.00 WIB dengan kapasitas pengunjung 50% (lima puluh persen).
Instruksi tersebut yang menjadi salah satu landasan untuk menerapkan kebijakan PPKM Darurat yang menyangkut jam kerja pedagang makanan di kota dan kabupaten ini. Para pedagang diperbolehkan tetap membuka dan menjalankan bisnisnya, dengan catatan tidak boleh makan di tempat, harus takeaway dan juga batas maksimal sampai jam 8 malam. Lebih dari itu akan ‘disikat’ oleh petugas.
Peraturan ini rupanya ditentang oleh para pedagang jajanan dan makanan, yang umumnya baru bisa membuka lapak mereka dari sore hari hingga tutup lapak jam 11 malam. Jika peraturan mengharuskan tutup jam 8 malam, ini sangat berdampat pada pendapatan mereka. Saya pun mencoba meminta tanggapan ke sejumlah pedagang secara acak di sejumlah lokasi, Sabtu (10/7) kemarin.
Satria, penjual Angkringan di Kuripan ini satu dari sekian banyak penjual angkringan yang ada di kota ini. Ia sangat keberatan dengan adanya PPKM. Bahkan Satria tidak berjualan dulu dan itu membuatnya tidak mendapat penghasilan. Ia merasa was-was jika harus tetap berjualan. Padahal sebelum aturan PPKM, Satria bisa mendapatkan untung hingga Rp 150 ribu per harinya.
“Sebelum PPKM rame terus, sekarang hasil penjualan menurun. Dua hari jualan dapat untung Rp 45 ribu, biasanya 1 hari 150rb, tidak ada ganti rugi selama PPKM,” katanya kepada cintapekalongan.
Satria memilih mudik dulu ke Klaten selama PPKM. Ia pun akan kembali jualan jika PPKM sudah hilang. Sebab, baginya sia-sia kalau berjualan tetapi hanya sampai jam 8 saja. “Besok Minggu pagi jam 8 mudik ke klaten, percuma jualan capek-capek nggak dapat untung, mau makan aja susah,” lanjutnya.
Lain cerita dari Amri yang berjualan Kebab di Medono. Ia mengaku ada rasa yang berbeda jika harus menutup lapaknya pada jam 20.00 WIB. Biasanya Amri baru buka lapak pukul 17.00 WIB dan tutup pukul 00.00 WIB. Pada jam-jam nanggung sehabis isya itulah Kebab miliknya ramai pembeli.
“Ya omset menurun, Mas, Kebab ramenya kan jam malam, sekitar jam 20.00 WIB keatas. biasa tutup jam 00.00 WIB, sekarang tutup jam 20.30 WIB ya beda rasane,” ungkapnya.
Amri juga mengeluhkan soal omset jualannya yang menurun akibat pemberlakuan aturan ini. Sebelum PPKM, omsetnya bagus, apalagi untuk penjualan via online Go Food maupun Grab Food juga masih ramai-ramainya pada jam tersebut. Namun dengan dibatasinya jam operasional membuat pendapatannya jadi berkurang.
Ia juga menyayangkan tidak adanya solusi dari pemerintah setempat yang pro kepada pedagang kecil yang mencari nafkah pada malam hari seperti dirinya. Omset berkurang tapikebutuhan masih utuh, tidak ada subsidi yang bisa ia dan teman-teman lain dapatkan untuk menambal kekurangan pemasukan. “Ganti rugi? Nggak ada lah, nggak mungkin pemerintah ngasih ganti rugi.. Hahaha,” katanya melalui WhatsApp.
Awal pelaksanaan PPKM, Amri mengaku sosialisasi yang dilakukan pemerintah hanya pada hari pertama lapaknya didatangi dan disuruh tutup oleh petugas, setelah itu tidak ada lagi. Jika dia masih bandel, Amri harus mengikhlaskan tokonya ditutup secara total.
”Besoknya diingetkan lagi sambil dibawain segel semacam police line, sama disuruh matikan lampu, Diingatkan kalo gak tutup sesuai aturan bakal di angkut grobaknya,” ungkapnya.
Lain halnya dengan Imam, penjual roti bakar dan jeruk peras di daerah Kertijayan ini mengaku tidak ada sosialisasi yang diberikan pemerintah setempat kepada pedagang di sana. Padahal sosialisasi penting baginya untuk mencari siasat agar tetap bisa menjalankan jualannya tanpa melanggar aturan.
Sebelum pelaksanaan, pemerintah hanya membuat flyer informasi mengenai aturan ini yang disebarluaskan melalui kanal media sosial. Flyer ini ternyata tidak mudah sampai ke layar ponsel pedagang kali lima. Jadi masih banyak pedagang yang tidak mengetahui mengenai aturan main PPKM ini.
“Kalo ternyata pemerintah sudah mempersiapkan rencana PPKM itu sudah dari jauh hari, mungkin sayanya yang kurang update,” kata Imam.
Imam juga menuturkan bahwa dengan beredarnya kabar di media sosial terkait adanya bentrok dan orang-orang diangkut ke truk oleh petugas membuatnya ketakutan untuk berjualan. Ia pun memilih membuka usahanya via online dari rumah sementara waktu . Namun upayanya itu belum bisa menutup segala keuntungan jika dibandingkan dengan ia membuka lapak.
Imam juga mengeluhkan soal biaya sewa lapak. Biaya sewa tetap harus dihitung kendati dirinya tidak berjualan. Biaya yang dimaksud adalah sewa listrik dengan sistem bulanan. Libur maupun tidak, Imam tetap harus membayar sesuai kesepatakan, yaitu Rp 100 ribu. Jelas biaya ini merupakan kerugian sendiri baginya.
“Ya aku wong kenenan dewe tah bejone ki. Tapi libur ora libur, biaya sewa lapak tetep candak mas. Dilema ngene dadine,” katanya.
Sementara itu, pemilik Lesehan Sego Megono Landay, Ipul yang biasanya membuka lapak dari jam 5 sore hingga tutup maksimal jam 12 malam itu mengatakan jam buka menentukan omset. Jika ada pembatasan waktu, penurunan omset bisa mencapai 45-50%. Padahal ia harus membayar pekerja yang berjumlah 9 orang. Hal itu bikin usahanya tak stabil.
Ketika ditanya soal adanya bentuk sosialisasi, Ipul menjelaskan cuma berupa omongan saja, tidak ada surat atau segala bentuk pemberitahuan lainnya. Sehari sebelum saya melakukan wawancara daring dengan Ipul, Jum’at (9/7) malam tersebar potongan video pemilik warung lesehan Nasi Megono yang digelandang secara paksa oleh tentara saat razia penertiban jam malam. Hal tersebut menjadi peringatan dan catatan tersendiri bagi Mas Ipul. “Iya was-was, Mas. Tapi kita udah antisipasi dengan tutup lebih awal,” kata dia.
Dari keempat pedagang yang saya wawancarai tersebut, rupanya mereka berharap ada kelonggaran pada aturan PPKM. Dengan kata lain, masih boleh buka seperti biasa tanpa pembatasan jam operasional, asal menerapkan sistem takeaway bagi pembeli.
Jika kita mengamati dan mencermati berita yang beredar di media mainstream maupun unggahan media sosial, polemik PPKM Darurat ini juga dialami para pedagang dan penjual makanan hampir di seluruh wilayah di Jawa-Bali. Ajaibnya, mereka yang terdampak adalah usaha kecil-kecilan dengan keuntungan ala kadarnya. Barangkali pemerintah perlu segera mengevaluasi dan merevisi peraturan ini terutama yang menyangkut pedagang kecil yang berjualan pada malam hari.