KOTOMONO.CO – Layar monitor gawai kita akhir-akhir ini sedang disesaki oleh istilah baru yang disebut sebagai Metaverse. Apa itu Metaverse? Mark Zuckerberg, bos Facebook, dalam sebuah tayangan berdurasi 1.17.26 berusaha memberi penjelasan yang cukup gamblang. Silakan saksikan di kanal Youtube Meta yang diunggah sebulan lalu dan sudah ditonton oleh 4 juta lebih viewer.
Intinya, Metaverse merupakan teknologi simulasi terbaru di abad ini. Di dalamnya, para pengguna akan diajak memasuki ruang virtual dan dapat terhubung dengan orang-orang yang akan kita temui. Tentu, kontaknya pun dalam wujud virtual.
Tak hanya itu, di dalam satu ruang virtual yang artifisial itu, siapapun bisa melakukan banyak hal. Bermain poker bersama orang-orang yang terkoneksi, melakukan obrolan bisnis, atau bahkan bermain tenis. Lagi-lagi, semua itu dilakukan secara virtual. Artinya, tidak sungguhan.
Selain itu, disediakan pula fasilitas untuk penggunanya memainkan karakter-karakter artifisial dalam rupa avatar. Orang bisa memilih avatar yang mau digunakan. Bahkan, bisa mengubah bentuk dan gaya pakaiannya, sesuai selera.
Dunia simulasi tawaran Meta ini memang belum sempurna. Proyek Metaverse masih dikerjakan dan disiapkan untuk masa depan. Katanya sih begitu. Tetapi, bukan tidak mungkin Metaverse akan menjadi sebuah keniscayaan.
Namun, perlu diingat pula, sebenarnya kemungkinan-kemungkinan ini sudah terbaca oleh para pemikir postmodern. Eco dan Baudrillard, dalam beberapa tulisannya kerap menyinggung konsep pemikiran dunia simulasi. Dunia ini menawarkan sebuah konsep tentang realitas maya atau realitas buatan.
Awalnya, pemikiran ini muncul sebagai respons atas kematian komunisme yang dibunuh oleh kapitalisme global. Menurut para postmodernis, era modern yang dipuncaki kapitalisme global telah berpengaruh pada keadaan yang serba over. Over konsumsi, over produksi, over informasi, dan lain-lain, yang mengakibatkan krisis di berbagai aspek kehidupan.
Perubahan pun terjadi. Gagasan globalisasi yang didengung-dengungkan oleh sejumlah negara adikuasa seolah-olah menjadi keharusan. Gagasan ini sebenarnya merupakan bentuk dari kecemasan tingkat tinggi pada negara-negara pengusul. Mereka khawatir jika krisis yang dialami oleh dunia akan berdampak besar bagi eksistensi mereka. Oleh sejumlah postmodernis, globalisme dipandang sebagai wajah baru imperialisme dan kolonialisme. Artinya, globalisme adalah wajah baru dari penjajahan dunia.
Kendati demikian, globalisme tak bisa ditolak. Dunia terpaksa harus menerima. Bersamaan dengan itu pula, peradaban manusia berubah. Orientasi hidup manusia pun dialihkan ke dalam bentuk-bentuk life style. Bahkan, agama pun difungsikan sebagai life style.
Muncullah kemudian simbolisme yang akhirnya memetakan manusia ke dalam keranjang kelompok-kelompok simbolik. Citra manusia ditentukan oleh simbol-simbol. Kajian mengenai citra dan simbol banyak disajikan oleh Roland Barthes, Baudrillard, maupun tokoh-tokoh postmodern lain. Dalam kajian mereka, memunculkan fenomena yang sangat tragis. Citra dan simbol melahirkan dehumanisme. Manusia terperosok ke dalam dunia artifisial. Realitas yang mereka pahami jauh dari realitas yang sebenarnya. Akan tetapi, realitas semu. Yang nyata dan yang semu saling bertumpang tindih. Nilai-nilai dalam kehidupan telah digeser ke dalam nilai semu. Manusia dibikin tidak bisa lagi membedakan mana yang nyata, mana yang semu.
Oleh Umberto Eco, kesemuan realitas ini kemudian diibaratkan dalam sebuah hologram. Dunia hologram, menurutnya adalah dunia realitas ganda. Ia nyata sekaligus tak nyata. Sehingga, membuat cara pandang manusia mengalami kesulitan untuk menentukan mana yang nyata.
Dari sinilah Baudrillard mengambil peran. Lewat konsep Simulacra/Simulacrum, ia melihat bahwa dunia telah memasuki masa kejenuhan yang teramat. Sehingga, ruang simulasi menjadi sebuah pelarian yang paling memungkinkan. Tetapi, ruang simulasi ini juga mendatangkan masalah baru. Yaitu, munculnya realitas-realitas palsu dan citra-citra palsu.
Kini, konsep Simulacra/Simulacrum tawaran Baudrillard ini tampaknya akan diwujudkan ke dalam teknologi Metaverse. Sangkaan baik saya, Metaverse boleh jadi ingin menjawab permasalahan yang tak terjawab oleh pemikiran-pemikiran postmodernisme. Atau, mungkin saja ingin membuktikan asumsi-asumsi yang disuguhkan para postmodernis. Sebab, perayaan postmodern tak sampai menghasilkan solusi untuk masa depan. Postmodernisme hanya gagasan yang muncul sebagai sentimen atas kegagalan modernisme merumuskan masa depan.
Dengan kata lain, kini peran para pemikir akan digantikan oleh para teknokrat yang berkolaborasi dengan konglomerasi. Mungkin saja demikian. Sebab, pasca postmodernisme sepertinya belum muncul pemikiran-pemikiran yang mampu menggoyang dunia.
Memang, di tengah ladang semai pemikiran postmodern sempat muncul pula kelompok pemikir yang menawarkan konsep-konsep tafsir agama sebagai jembatan. Namun, kekuatan kelompok pemikir ini sepertinya kurang mampu menarik minat. Bahkan, ada pula yang malah terjebak ke dalam kebuntuan pemikiran postmodernisme.
Tetapi, sekali lagi, apa sesungguhnya yang menarik dari Metaverse? Dari segi nama, Metaverse, bagi saya sangat menarik. Mungkinkah nama ini berkait dengan metafisika? Jika ada kaitannya, maka sungguh patut diduga, bahwa dunia Barat saat ini mungkin saja sedang mengalami depresi tingkat akut. Sebagaimana kita tahu, sejak berkeliarannya model pemikiran materialistik yang mengandalkan logika dan rasionalitas, metafisika dihapuskan dalam kamus ilmu pengetahuan mereka.
Jika benar, bahwa istilah Metaverse punya kaitan dengan metafisika, boleh-boleh saja proyek ini diduga sebagai upaya untuk mengembalikan metafisika ke dalam ranah pengetahuan manusia. Dengan kata lain, proyek ini berangan-angan memunculkan diskursus tentang hakikat tertinggi dari keberadaan. Proyek ini ingin menunjukkan apa yang sebenarnya di balik dari semua realitas. Tetapi, mengapa harus dengan simulasi?
Maka, timbullah pertanyaan kedua. Mungkinkah maksud istilah “meta” yang digunakan dalam proyek ini terkait dengan perubahan/pergeseran? Sebagaimana yang kita pahami dalam istilah metamorfosis, makna kata ini menandai sebuah proses perubahan dari satu fase ke fase lain sampai pada bentuk yang sempurna. Lalu, perubahan dan pergeseran apa yang tengah diupayakan dalam proyek ini? Boleh jadi, yang ingin diubah adalah tatanan dunia.
Lewat proyek ini, cara pandang dan cara hidup manusia ingin digiring ke dunia artifisial. Proyek ini memiliki pandangan yang sangat yakin, bahwa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia hari ini adalah dengan mengalihkannya ke dunia simulasi. Dengan kata lain, simulasi adalah jawaban terbaik untuk masalah-masalah manusia, terutama di dalam mengurai keterbatasan-keterbatasan manusia. Tetapi, mengapa justru untuk mengatasi keterbatasan itu manusia disarankan tak perlu melakukan perjalanan jauh untuk bisa saling terhubung? Cukup diam di rumah, lalu memainkan dunia simulasi Metaverse? Saat itu, manusia bisa seolah-olah pergi ke puncak gunung Himalaya dengan teman-temannya di ruang virtual.
Agaknya, memang perlu sikap hati-hati dalam menerima perubahan zaman yang demikian cepat ini. Seperti yang diungkap Virillio, lewat konsep dromologinya. Kecepatan boleh jadi menunjukkan gengsi seseorang. Akan tetapi, jika kecepatan itu tanpa kontrol yang baik, bisa mengakibatkan kehancuran yang sangat fatal.
Metaverse, entah itu akan menjadi keniscayaan atau tidak, tentu perlu dipahami. Perlu dikaji lebih mendalam untuk mendapatkan gambaran yang sangat gamblang. Jangan sampai kita hanya terpesona oleh performa yang ditawarkan. Apalagi jika sampai terlena. Ah, jadi keinget lagunya Ikke Nurjanah, ku terlena….