KOTOMONO.CO – Terlihat sepele, namun sesungguhnya menulis cerpen itu tidak semudah apa yang kita bayangkan. Perlu pemahaman tentang ciri-ciri cerpen yang baik dan penyelesaian yang mantap agar hasil cerpen tersebut mampu memikat pembacanya.
Menulis juga rupanya perihal mental. Menulis memuat unsur teknis dan non-teknis. Nah, porsi mental ini tersemat dalam urusan non-teknis. Hal-hal yang tak bisa diajarkan, namun bisa dilatih secara terus menerus.
Hal itu mengemuka, saat pelatihan Menulis Cerpen di Museum Batik dalam rangka memperingati Hari Museum Sedunia, Jum’at Malam (5/11). Materi cerpen ini disampaikan oleh Ribut Achwandi, pengasuh Sokola Sogan yang merupakan sekolah alternatif yang ada di Kota Pekalongan.
Cerpen yang merupakan kependekan dari cerita pendek. Tidaklah semudah yang dibayangkan, diperlukan mengetahui ciri-ciri cerpen yang baik. Seperti ide yang tidak klise, pengisahan mengalir dan logis, karakter atau tokoh yang kuat, ada konflik (menegangkan, bikin penasaran, unik), alur ceritanya jernih dan padu, penyelesaian mantap (tak tergesa, terkadang mengejutkan), hingga ada pesan yang ingin disampaikan.
Ribut menandai beberapa cerita dan tokoh menarik patut menjadi rujukan dalam membaca, seperti dalam Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari, Ca-Bau-Kan karya Remy Sylado atau Dilan karya Pidi Baiq yang masih akrab dengan kawula muda masa kini. Saat ditanya bila idenya mentok atau sudah tak tahu cerita mau dibawa kemana layaknya hubunganmu dengannya. Ahai! Tak perlu terlalu tegang memikirkan, orang dia aja nggak memikirkanmu.
“Gini aja, tinggalin tulisan itu. Tutup dan pergilah jalan-jalan,” ujar Ribut. Itu bisa dilakukan hanya jika menulis sebagai hobi. Namun, apabila menulis sudah menjadi tuntutan profesi atau dikejar deadline. Maka, mau tidak mau yang kita musti hadapi tulisan tersebut sampai benar-benar selesai.
“Kita perhatikan saja layar kosong di laptop atau kertas kosong bila di buku. Setidaknya selama setengah hingga satu jam untuk membangun mood,” kelucuan demikian terkadang dialami pula oleh Ribut.
Dikatakan tulisan itu berhasil adalah tulisan itu telah selesai. Selanjutnya urusan mengubah tulisan atau sering disebut dengan mengedit naskah, mesti dilakukan di waktu yang berbeda dan berulangkali. Bahkan, penulis kenamaan asal Inggris Edgar Allan Poe, seperti disebutkan Ribut, mengedit naskah hingga 100x untuk mencapai kepuasan yang diinginkannya.
Dalam materi bertajuk penulisan cerpen batik ini, peserta juga diajak praktek dengan model berpasangan dan menggambar diri satu sama lain mulai dari alis, mata hingga bibirnya. Disamping itu, masing-masing bisa saling berkenalan dan bertanya untuk mengakrabkan diri. Tidak sedikit pula beberapa peserta nampak malu-malu kucing saat penugasan dalam workshop kali ini, terutama yang mendapat pasangan lawan jenis. Terlihat jelas rasa canggung dan kikuk ketika harus saling menggambar satu sama lain.
Penugasan ini dilakukan bukan tanpa alasan, bukan pula bagian dari guyonan agar suasana cair, namun hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari latihan untuk memahami mengenai sudut pandang dalam menulis.
Setelah selesai menggambar, Ribut bertanya sambil meminta peserta mengangkat tangan, “Siapa saja yang menggambar dari suduh pandang depan, kemudian samping, belakang, dan bawah?” Rupanya teman-teman peserta cenderung menggambar menggunakan sudut pandang dari depan.
Praktek menggambar disini yang dimaksud Ribut juga bukan mengenai gambar siapa yang paling baik goresannya. Namun, untuk menunjukkan mindset seorang penulis sebaiknya tidak hanya dari sudut pandang biasa. Dalam fotografi misalnya, jika seseorang mengambil potret dari depan akan tampak flat. Bandingkan jika fotografer berani mengambil gambar dari belakang atau samping, bahkan bisa membentuk distorsi bila dari bawah atau atas.
Ini serupa dengan cerita yang seringkali dimulai dengan, ‘pagi yang cerah’ atau ‘sore yang suram’. Paragraf pembuka cerita semacam itu bagi Ribut sangat membosankan dan ilfeel bagi penulis yang terbiasa membaca berbagai ragam tulisan, baik puisi, cerpen dan novel. Lebih lanjut, Ribut mengajak peserta menuliskan sebanyak lima kalimat dalam satu paragraf dari hasil obrolan yang sudah dilakukan dengan pasangan menggambarnya. Untukmu yang ingin berlatih menulis pula bisa mencobanya lho.
Sebelum sesi akhir acara, Kang Ribut, sapaan akrabnya, mengajak para peserta untuk menindaklanjuti acara ini dengan ikut serta dalam Sokola Sogan yang diadakan pada hari Sabtu mulai jam 4 sore di Jl. Karya Bhakti Gg. Sunan Muria, Medono, Pekalongan.
Dan pula sebagai pemateri yang mewakili Sokola Sogan, Kang Ribut sangat gembira dan berterima kasih kepada pihak Museum Batik Pekalongan yang telah membikin acara yang tentu sangat bermanfaat untuk menciptakan para sastrawan ataupun penulis-penulis handal asal Pekalongan dikemudian hari.

=====================
Reporter : atra habibie
Editor : –