KOTOMONO.CO – Kalau kita melihat televisi hari ini, kehadiran perempuan tak lebih dari sebatas pemuas nafsu. Mulai dari program sinetron, variety show, dan reality show—yang malah lebih pas disebut gimmick show. Di televisi, perempuan begitu rentannya diobjektifikasi.
Objektifikasi perempuan di televisi bukan sekali dua kali saja terjadi. KPI telah lama berlangganan mengatasi kasus objektifikasi perempuan di televisi. Acara semacam Kakek-Kakek Narsis, Sexophone, hingga Hotman Paris Show setidaknya pernah kena “gampar” Komisi Penyiaran Indonesia.
Oleh karena itu, televisi yang secara sengaja menampilkan tubuh perempuan di sebuah program, akan menyiasatinya dengan cara menyensor bagian yang tak senonoh. Cara ini dilakukan pihak televisi untuk menghindari teguran dari KPI. Meskipun sesungguhnya yang berwenang menentukan sebuah konten televisi bermasalah tetaplah KPI. Dari sini kita jadi mafhum bahwa penyensoran ada dalam kuasa pihak televisi bukan KPI.
Polemik sensor ini juga pernah ramai ketika karakter Shizuka dalam kartun Doraemon, dan Sandy Cheeks dalam Spongebob Squarepants memakai pakaian dalam wanita, kemudian pihak RCTI dan GTV yang dulu akrab dengan nama Global TV menyensornya.
Berangkat dari itu, timbul pertanyaan, sebenarnya apa itu objektifikasi perempuan? Kenapa objektifikasi perempuan bisa dikenai pasal di dunia penyiaran? Izinkan saya menjawabnya dengan meminjam teori objektifikasi Fredrickson dan Robert.
Teori tersebut menitikberatkan kepada praktik-praktik budaya yang mengungkapkan perempuan secara seksual, cenderung menyebar ke masyarakat yang kebarat-baratan dan berpeluang memamerkan tubuh perempuan di hadapan publik. Beberapa peneliti menyebut, perempuan bisa menjadi objek sasaran seksualitas di kehidupan sehari-hari, daripada laki-laki (Hermawan&Radja, 2017).
Sedangkan konteks objektifikasi perempuan di media, termasuk televisi, Nurvina Alifa dalam penelitiannya “Antara Perlindungan dan Pembatasan: Pengawasan Isi Siaran Bermuatan Seksualitas dan Perempuan” yang diterbitkan Remotivi dan Komnas Perempuan tahun 2013 telah menjelaskan secara holistik. Objektifikasi perempuan di media langgeng karena prinsip kerja di dunia pertelevisian mengikuti logika kapitalis, di mana dorongan guna mendapat keuntungan menjadi faktor yang paling berpengaruh.
Kawinnya logika kapitalis dengan logika patriarki yang menjamur di televisi melahirkan jalan pintas meraih keuntungan, caranya dengan menjual seksualitas perempuan di layar kaca. Bentuknya bermacam-macam, bisa berupa menonjolkan lekuk tubuh perempuan dengan sorotan kamera, ataupun penampilan gestur tubuh perempuan yang bergenit-genit.
Meski demikian, kita enggak bisa menyebut sebuah tayangan itu mengobjektifikasi perempuan seenaknya. Objektifikasi terhadap perempuan semestinya dilihat dari bagaimana teknik pengambilan gambar. Dalam kajian media, objektifikasi perempuan dibahas melalui konsep Male Gaze.
Dalam konsep Male Gaze kamera diposisikan sebagai mata laki-laki cabul. Misalnya yang di-close-up pahanya, dadanya, payudaranya, dan bagian sensitif perempuan lainnya. Pengambilan gambar seperti ini sejatinya sudah dibahas dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) pasal 18 huruf H.
Pasal ini mengandung larangan soal mengeksploitasi atau menampilkan bagian tubuh tertentu, seperti paha, bokong, dan payudara dengan teknik kamera close-up maupun medium shot. Jadi, meskipun ada paha, bokong, ataupun payudara, selama pengambilan gambarnya tidak memakai teknik close-up atau medium shot enggak bisa dipersoalkan.

Pemakaian perempuan di ruang televisi juga tak bisa terlepas dari stereotip yang berkembang di dunia pertelevisian itu sendiri. Sederhananya, perempuan kerap ditempatkan sebagai objek media, sedangkan laki-laki diposisikan sebagai subjeknya.
Dua orang peneliti, McArthur dan Resko, berhasil menemukan fakta bahwa 70 persen dari laki-laki dilambangkan sebagai ahli (subjek), sedangkan 86 persen perempuan menjadi modelnya (objek). Kemudian seorang peneliti bernama Archer menemukan foto-foto di majalah dan surat kabar Amerika. Foto-foto tersebut menunjukkan bahwa laki-laki lebih difokuskan pada wajahnya, dan perempuan difokuskan pada tubuhnya (Siti Hikmah Anas, 2013).
Eksploitasi perempuan juga menyangkut peran mereka sebagai objek erotisisme. Dari penelitian Burhan Bungin tahun 2002, kita bisa melihat bagaimana erotisisme yang menampilkan pornografi hampir dilakukan oleh semua media massa. Tanpa menuduh media mana yang teledor, erotisisme dalam berbagai macam bentuk tak jarang diekspose media.
Erotisisme sendiri ialah bentuk kecenderungan penindasan ekonomi media massa. Hal ini didorong oleh berbagai faktor, diantaranya ketakutan media kehilangan idealisme; tirasnya menurun; bersaing dengan sesama media; muncul media baru yang bisa memosisikan dirinya di masyarakat; dan ketika masyarakat butuh pemberitaan berbau erotisisme.
Mengkambing-hitamkan stasiun televisi sebagai mafia ekploitasi perempuan di muka publik, kurang bijak jika tidak membahas bagaimana peran pemilik modal, juga para pengusaha penjual produk-produk yang tayang di televisi. Mereka disini juga ikut bertanggung jawab atas tubuh perempuan yang dipajang di muka televisi.
Ketakutan para pengusaha kehilangan pembeli, adanya persaingan bisnis yang semakin ketat, hingga kegilaan untuk menaikkan oplah, membuat mereka sulit dikontrol lagi. Image penggoda yang terdapat dalam diri perempuan yang erat kaitannya dengan objektifikasi bodi sudah menjadi komoditas. Keunggulan perempuan ini tak pelak dimanfaatkan pengusaha guna menggaet pembeli, dan ujung-ujungnya mengekskalasi pendapatan.
Melihat pasar media, terutama televisi sangat terbuka. Para pengusaha itu berpikiran cepat, sehingga memilih mengiklankan produknya lewat layar kaca. Tentu pihak televisi akan membanderol tiap-tiap produk yang akan tayang di setiap program mereka.
Harganya setiap iklan mungkin berbeda, bergantung di mana iklan itu di tempatkan. Jika di program khusus yang tayang di jam prime time tentu jauh lebih mahal daripada di luar jam prime time. Saya yakin, pemilik televisi kalau disodorkan segepok uang dari pengusaha yang hendak beriklan, mustahil pihak televisi akan menolaknya.
Dari situlah sewajarnya KPI ini memberikan sanksi. Regulasi periklanan di televisi tidak boleh hanya sebatas peraturan di atas kertas. Perlu ada pengawasan yang lebih intens, agar mendapat impuls yang lebih baik. Petugas KPI, seperti yang pernah saya kunjungi di kantor KPID Jawa Tengah, enggak sekadar nonton televisi tiap hari di kantornya, tapi harus punya gerak untuk mencatat segala keteledoran dan pelanggaran.
Kemudian semestinya berani menindaknya langsung ke statisiun televisi terkait. Bukan malah berdalih kalau televisi semua tayangannya sudah baik, KPI tidak bekerja, para pegawainya nganggur.
Soal objektifikasi perempuan, KPI wajib lebih jeli lagi. Seyogyanya mereka tidak cukup berpatokan pada UU Penyiaran, tapi P3SPS juga harusnya menjadi pegangan. Siapapun yang bekerja di Komisi Penyiaran Indonesia, pastinya sudah paham betul perkara pengambilan gambar, sehingga tak mungkin terjebak.
Lembaga perlindungan perempuan, seperti Komnas Perempuan juga harusnya tidak melepaskan fungsi mereka. Enggak cuma berkutat pada masalah kesetaraan gender. Tapi juga masalah perempuan yang kerap ditempatkan dalam posisi marjinal. Sebab, bagi saya justru itu lebih berbahaya, karena tiap harinya masalah ini mengintai perempuan di seluruh dunia.
Literasi media atau media literacy sekarang tidak hanya dikuasai mereka yang bergerak di dunia komunikasi dan penyiaran, sebutlah KPI. Lembaga yang bergerak memperjuangkan nasib kaum perempuan, enggak ada salahnya menguasai media literacy.
Perjuangan gender tak cukup dengan membalik posisi perempuan dengan laki-laki. Lebih dari itu, perjuangan gender adalah perjuangan mengubah relasi dipandang dan memandang. Bagaimana berupaya menempatkan perempuan sebagai political subject, tidak lagi political object. Dengan demikian, ia punya komitmen atas perubahan yang lebih baik bagi dunia dan peletakkan sejarahnya sendiri.