KOTOMONO.CO – Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, pada Hari Guru Nasional tahun lalu melambungkan istilah Merdeka Belajar melalui tagarnya. Isi pidatonya sendiri lumayan mengejutkan. Ada nuansa baru di situ.
Tidak ada itu nasihat-nasihat klasik atau kalimat-kalimat formal khas sambutan pejabat. Tak ada pula pernyataan-pernyataan abstrak nan mengawang-awang. Yang ada hanyalah serba kemungkinan. Yakni bahwa kemungkinan melakukan perubahan itu selalu ada. Dan ia perlu dicoba sekarang. “Mulai aja dulu,” mungkin begitu nasihatnya.
Nadiem tampaknya mendambakan figur seorang guru yang berciri enterpreuner, baik sikap dan karakter baiknya. Pada prinsipnya, guru itu seorang pembelajar sepanjang hayat. Kegagalan dan keberhasilan bukanlah tujuan. Ia sekadar alat penempa supaya dirinya makin baik saja.
Guru juga mesti kreatif. Karena itu ia tak boleh bergantung penuh pada kebijakan pemerintah dalam melakukan inovasi. Sebaliknya, melalui kreativitasnya, guru sanggup menerjemahkan segala bentuk kebijakan atau rumusan umum menjadi cara paling praktis, misalnya, di ruang kelasnya.
Nadiem mungkin ingin mengatakan bahwa guru harus punya otonomi terhadap bidang kerjanya sebagai seorang ahli. Dengan otonomi dan kewenangan penuh di ruang kelasnya, guru semakin percaya diri dan tak khawatir mencoba beragam pendekatan kepada siswanya.
Sayangnya, berbicara tentang otonomi, mau tak mau kita perlu juga membongkar isu kemandirian guru dalam menangani kendala-kendala pembelajaran di kelasnya. Tapi, kemandirian yang seperti apa?
Konsep kemandirian dalam profesionalitas kerja punya makna yang lumayan mirip. Ia mestilah seorang prosesional dan diakui kemampuannya. Melalui itu ia bisa berperan sebagaimana tuntutan keahliannya.
Jelas, seorang guru yang mandiri tak dihasilkan secara instan. Mahasiswa kependidikan yang baru saja lulus dan diterima sebagai tenaga pengajar di sekolah belum cukup dikatakan mandiri. Malahan, tak sedikit pula guru senior yang telah bekerja selama belasan tahun masih kesulitan menjadi guru yang mandiri.
Barangkali kemandirian itu tercermin dalam jawaban positif atas pertanyaan berikut ini.
Apakah pengambilan keputusan dalam pembelajaran guru mempertimbangkan tujuan yang relevan buat siswanya, kebutuhannya, dan kekhususan konteks di mana pelajaran itu berlangsung? Apakah guru melakukan diagnosis sebelum memberikan perlakuan kepada siswanya? Bila selesai diterapkan, apakah guru melakukan evaluasi? Apakah hasil evaluasi digunakannya dalam menganalisis permasalahan selanjutnya?
Memperhatikan pertanyaan di atas, guru tak ubahnya seorang peneliti. Ruang kelas, siswanya, dan interaksi di dalamnya adalah laboratoriumnya. Berdasar keahliannya, segala problem di sana coba diselesaikan.
Apakah demikian yang dilakukan guru dalam bekerja? Mungkin tidak. Mungkin juga iya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, guru tetap melakukan cara serupa meski tahu bahwa efeknya sangat minimal. Dari sini seolah otonomi atau kemandirian tak menguar. Kalau begini, timbul pertanyaan, lingkungan seperti apa yang memungkinkan guru berinovasi dan berkreasi dalam memecahkan kendala pembelajaran?
Pertanyaan itu nantinya akan bermuara juga pada kemungkinan tumbuhnya rasa percaya terhadap diri guru sebagai tenaga ahli pendidikan di kelasnya. Kepercayaan ini membawa konsekuensi yang cukup besar dan mengejutkan. Misalnya, sekolah tak perlu mengadakan ujian tertulis setiap semester, tengah semester atau diakhir setiap topik.
Memangnya bisa sampai begitu? Bisa. Bukankah tenaga ahli punya cara yang juga bisa dianggap “ahli” dalam mengatasi kendala-kendala pembelajaran dan yang dialami anak didiknya? Karena ahli, maka sudah tentu metode yang dipakainya tidak sama seperti yang khalayak bayangkan.
Dengan demikian antara pemerintah dan guru perlu ada rasa saling percaya. Percaya bahwa sebagai ahli pendidikan, guru akan mampu mengenali masalah dan mengatasinya dengan berbagai metode yang dikuasainya.
Nadiem sendiri melalui beberapa diskusi dan pernyataannya mencoba ‘tuk percaya. Akan tetapi tidak demikian dengan budaya birokrasi pendidikan kita secara umum. Mengubahnya, teramat sulit. Karena sudah membudaya, berarti perlu menciptakan budaya tandingan.
Sayangnya, karena menjadi adat kebiasaan, sudah jelas ia diikuti oleh mayoritas (atau bahkan semua orang!). Artinya, upaya ini hanya akan berhasil bila sebanyak manusia yang sama mau menganut budaya tandingan itu.
Apakah itu mungkin?
Entah mungkin atau tidak, sesuatu tetap perlu dicoba. Seperti nasihatnya kepada guru-guru, Nadiem pun tak tinggal diam. Lebih tepatnya, tidak mungkin, mengingat kapasitasnya sebagai orang nomor satu di bidang pendidikan. Ia kemudian coba mengubah iklim pendidikan Indonesia dengan program unggulan Merdeka Belajar yang berjumlah lima episode.
Apakah ini akan mengubah segalanya? Mari kita ikuti saja.
Gagasannya soal Merdeka Belajar terinspirasi dari spirit kemerdekaan Ki Hadjar Dewantara. Konsep pilihannya itu menganggap bahwa melalui pendidikan semestinya jiwa, pikiran, dan tenaga anak dapat berkembang secara merdeka sebagaimana potensinya.
Untuk menghindari supaya gagasan itu tak hanya indah pada dirinya sendiri, pertanyaan pun perlu dilontarkan. Kira-kira apa yang dulu dilakukan Ki Hadjar Dewantara dalam mewujudkan ide-idenya? Apakah cara itu bisa dilakukan kembali di masa ini? Bila tidak persis demikian, apa saja yang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman?
Kebanyakan orang terpesona dengan gagasan-gagasan tokoh terdahulu. Mengamininya, apalagi mempromosikannya, seolah menimbulkan rasa bangga. Namun, sejauh mana orang mengikuti jejaknya? Apakah orang tahu hambatan apa saja yang ditemui tokoh itu? Sudahkah kita membaca karya-karyanya?
Saya pikir Nadiem berasumsi bahwa kebanyakan pendidik tahu belaka sepak terjang Bapak Pendidikan Indonesia. Mungkin mantan pendiri Gojek ini mengira bahwa mereka telah mengkhatamkan, minimal, kumpulan tulisan Raden Mas Soewardi Soeryaningrat bertema Pendidikan terbitan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Mungkin karena itulah konsep pendidikannya dibiarkannya tetap abstrak. Bahkan sampai kini belum ada peraturan yang mengupas Merdeka Belajar. Padahal kita tahu, kebijakan itu biasanya disertai petunjuk yang luar biasa teknis sebagai turunannya, sehingga para pelaksana tinggal jalan saja.
Saya beranggapan, di sinilah permasalahannya. Banyak guru yang kurang mampu menerjemahkan konsep abstrak. Coba bayangkan, bila permasalahan di pendidikan sangat banyak dan kompleks, bukankah butuh cara atau metode sebanyak itu? Wah, pusing juga ya.
Tapi ada cara. Dan ini pernah diajarkan saat mahasiswa dulu, yakni tentang filsafat pendidikan, psikologi pendidikan, psikologi perkembangan dan pedagogi. Pengetahuan tentangnya sedikit-banyak menuntun orang melihat hal-hal universal dalam pendidikan. Kemudian dari sana guru mampu memprediksi detail-detail kecil lainnya.
Bila kemampuan itu ada pada sebagian besar guru, ditambah kepemilikan atas otonomi serta sikap mandiri, program unggulan Nadiem boleh jadi lebih mudah diimplementasikan.