KOTOMONO.CO – Di negeri ini, sepertinya untuk mengatakan bahwa suatu benda adalah karya seni itu mudah. Tapi tak sebanding apresiasinya. Mungkin, dengan mengatakan bahwa itu karya seni sudah dianggap sebagai apresiasi ya? Entahlah. Apakah itu benar atau tidak?
Layar laptop saya buka. Saya nyalakan segera. Jam pada handphone saya menunjuk angka 08.40. Masih ada sisa 20 menit sebelum FGD dimulai. Saya seduh kopi, bergegas cuci muka, mengenakan hem batik dan kacamata. Biar tampil ganteng.
Selesai, saya kembali duduk menghadap laptop. Saya ketik alamat link yang sudah ditentukan panitia FGD virtual yang diselenggarakan tim peneliti Universitas Terbuka Tangerang Selatan. Tombol enter saya pencet. Seketika tampak di layar gambar video Ibu Dr. Ety Puji Lestari, S.E., M.Si, Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Terbuka Tangsel. Beliau menyapa saya dengan ramah. Saya pun membalasnya.
Sisa waktu yang ada, dimanfaatkan untuk perkenalan. Satu-satu mengenalkan diri. Pukul 09.00 tepat FGD pun dimulai.
Bu Ety memberikan pengantar. Beliau sampaikan maksud dan tujuan FGD. Tentu, karena yang menyelenggarakan adalah tim peneliti, maksud FGD ini tidak lain adalah sebagai langkah tim untuk mendapatkan informasi yang selengkap-lengkapnya dari semua yang terundang.
“Informasi dari Bapak-Ibu sangat kami butuhkan sebagai data yang ditindaklanjuti tim penelitian. Sehingga, kami dapat mendeskripsikan persoalan yang muncul dalam industri canting cap di Pekalongan. Harapannya, temuan kami nanti bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi semua pihak di dalam upaya pengembangan industri canting cap di Pekalongan,” tampak Bu Ety tersenyum saat mengatakan itu.
Saya suka cara Bu Ety mempresentasikan pengantar. Nggak kaku. Setiap kata dan tata kalimatnya runtut. Gaya komunikasinya yang di-medok-kan membawa kesan, beliau orang yang semanak alias nyedulur. Lalu, disampaikan pula pertimbangan penelitiannya di Pekalongan. Menurutnya, Pekalongan itu kaya budaya. Daya ekonominya juga bagus dibanding kota-kota lain. Salah satu penopangnya, banyaknya UMKM di Pekalongan.
Industri batik, kata beliau, memiliki kaitan dengan industri lainnya. Melibatkan sektor-sektor lain sebagai pendukung. Tidak semata pada penyediaan bahan baku, melainkan pula pada sektor perkakas yang digunakan. Salah satunya industri canting. “Tapi sudah sejauh mana peran pihak-pihak terkait dalam mengembangkan industri canting ini?” tanya Bu Ety seraya mempersilakan satu per satu peserta FGD untuk angkat bicara.
Kesempatan pertama, diberikan kepada Pak Lurah Noyontaansari (Pak Safrudin Nasution). Sayang, kendala teknologi membuat saya kurang dapat menangkap suara Pak Lurah dengan baik. Mungkin masalah sinyal atau karena kegagapan saya menggunakan teknologi ya?
Lamat-lamat saya tangkap, Pak Lurah menyampaikan jika Landungsari—yang kini statusnya jadi kampung bagian dari kelurahan Noyontaansari—merupakan sentra industri canting. Sudah sejak lama kerajinan canting digeluti warga. Tapi sayang, industri ini masih pada skala kecil. Belum menjadi industri skala besar.
Diakui atau tidak, nasib industri canting di Kampung Canting jalan di tempat. Meski tumbuh menjamur, industri canting di Landungsari belum bisa memberikan kontribusi besar bagi pembangunan masyarakat. Dampaknya masih parsial, sangat personal. Baru bisa dinikmati sebagian kecil masyarakat.

Maklum, banyak kendala. Seperti diakui Mas Faisol Rizal, salah seorang pengusaha canting di Landungsari, harga bahan baku yang terus naik membuatnya sulit menentukan margin harga penjualan. Wajar jika usaha canting yang dilakoni para perajin dan pengusaha canting kembang kempis. Bisa bertahan hidup saja sudah alhamdulillah.
Saking inginnya bertahan hidup, ada juga yang terpaksa mengganti bahan bakunya. Saya pernah menyaksikan dengan mata kepala saya, seorang perajin menggunakan seng bekas kaleng roti sebagai bahan bakunya. Kreatif memang, tetapi harga canting capnya jadi murah. Imbasnya, kesejahteraan perajin canting cap pun jadi pertaruhannya.
Idealnya, canting cap itu dibikin dari tembaga. Tetapi, lagi-lagi harga tembaga suka naik. Ngos–ngosan kalau terus dikejar.
Jenis usaha ini bisa dibilang nyaris punah. Regenerasinya nyaris putus, atau mungkin memang sudah putus. Jarang anak muda yang mau menekuni kerajinan yang satu ini. Sebagaimana diakui Mas Faisol Rizal, usaha ini dipandang oleh sebagian besar anak muda tidak menjanjikan masa depan mereka. Miris!
“Rata-rata pekerja di usaha canting kami cuma lulusan SMP atau SMA. Itu pun usianya sudah cukup umurlah,” ujar Mas Faisol.
Pengakuan Mas Faisol memang ada benarnya. Tak banyak anak muda yang mau melakoninya. Belajar pun tidak, kecuali dipaksa oleh keadaan. Para orang tua pun tak menyarankan anak-anak mereka jadi tukang canting.
Keluh kesah Mas Faisol Rizal mengingatkan saya pada novel Para Priyayi yang ditulis Umar Kayam dan novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Keduanya, mengetengahkan persoalan yang kurang lebih sama. Mirip-miriplah! Yaitu, seni batik tulis yang dijaga para ningrat Jawa yang terancam oleh industrialisasi.
Dampak Industri membuat cara pandang masyarakat berubah. Batik semula dipandang sebagai seni adiluhung. Kini sekadar menjadi komoditas. Industri telah mengubah jalan hidup umat manusia. Budaya dikesampingkan. Sementara, ekonomi merebut fungsi budaya, berperan sebagai penuntun hidup manusia.
Tentu, ini bukan salah ilmu ekonomi. Secara keilmuan, ekonomi sesungguhnya hanya sarana untuk mempertemukan kutub-kutub kebudayaan lintas peradaban. Pertemuan itu menghasilkan rasa saling memahami satu sama lain tentang kebutuhan hidup di antara sesama manusia. Sehingga, terjadilah pertukaran.
Rumusan Adam Smith tentang pertukaran akibat hukum permintaan dan penawaran, mestinya bukan hanya dimaknai sebagai cara seseorang agar dapat memperjual-belikan barang. Permintaan dan penawaran muncul karena ada pemetaan kebutuhan. Orang gunung tak butuh beli sayur, karena kebun mereka luas dan selalu ditumbuhi sayur yang siap petik kapan pun. Berbeda dengan orang pantai. Mereka butuh sayur. Maka, mereka mengajukan permintaan sayur pada orang-orang gunung. Sementara, mereka sendiri menawarkan ikan asin kepada orang gunung karena ikan asin bisa jadi pelengkap sajian meja makan mereka. Tetapi, tidak semua ikan dibawa ke gunung. Tetap ada suplay di kawasan pantai. Begitu sebaliknya pada sayurnya orang-orang gunung.
Dari situ, dicapai titik equilibrium. Titik imbang setimbang. Maksudnya, rasa saling memahami dan mengerti satu sama lain. Bukan sekadar soal patokan harga yang disepakati atas suatu barang. Kalau begitu, prinsip dasar ekonomi adalah tepa slira (saling pengertian) dan handarbeni (pemeliharaan/pengayoman). Bukan hangabehi (penguasaan).
Kondisi mutakhir, ketika industri mengusik, orang dipicu untuk berkuasa atas kepemilikan modal dan pasar. Seperti dikeluhkan Pak Slamet Hariyadi, Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kota Pekalongan, saat diberi kesempatan Bu Ety bicara. Kata Pak Slamet, “Keberadaan printing mengancam industri batik. Karena, selain bisa produksi massal, ia bisa memainkan persaingan harga di pasar.”

Akibatnya, industri canting cap pun bisa terancam gulung tikar. Padahal, canting dan juga batik—seperti diakui Pak Slamet—barang yang memiliki nilai seni. Maka, pihaknya terus mendorong supaya industri canting cap agar terus berinovasi, katanya.
Seketika saya mikir, dorongan yang seperti apa ya? Sebenarnya mau saya tanyakan. Tetapi, saya tahan. Saya mesti tahu dirilah. Wong saya belum dikasih kesempatan.
Saya lihat pada layar monitor, Pak Slamet masih tekun menjelaskan. “Soal regenerasi, itu sudah kami tindaklanjuti. Batik sudah dimasukkan sebagai salah satu pelajaran di sekolah. Kami kira, itu langkah yang baguslah agar anak-anak mencintai budayanya sendiri,” ujarnya.
Iya sih. Langkah itu patut diapresiasi. Tetapi, sudah bertahun-tahun sudahkah ada hasilnya? Berapa persen dari pelajar-pelajar itu yang akhirnya memilih kerja jadi tukang batik atau perajin canting? Sudah dicek?
Yang kerap saya lihat di media sosial, macam facebook dan instagram, lebih banyak anak-anak sekolahan yang telah lulus itu memilih jadi bakul batik. Jarang yang memamerkan foto saat sibuk di pranggok. Entah sedang nyolet, nglorot, mbatik, atau sedang bikin canting.
Ah, rasanya jadi geregetan. Saya pikir, jawaban-jawaban itu klise. Di setiap pidato atau sambutan, hal-hal itu sering dikemukakan.
Bu Ety yang lihai memoderasi diskusi kemudian mengambil alih. “Nah, batik dan canting, kita sepakat merupakan benda seni. Tetapi, permasalahan tadi menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana tanggapan njenengan, Mas Ribut?” tentu pertanyaan itu tertuju pada saya.
Sebentar saya baca catatan. Lalu, mulailah saya berbicara. “Begini, Bu. Dari apa yang sudah disampaikan para narasumber, saya menangkap kesan, upaya yang dilakukan pemerintah untuk melindungi dan melestarikan kekayaan khas daerah masih jauh dari kata optimal. Kalau sekadar dikatakan canting adalah barang seni, itu sih mudah saja. Tetapi, bagaimana bisa barang seni diharga murah?” kata saya.
Sejenak saya menjeda. Ambil napas. Kemudian melanjutkan pembicaraan. “Nonsense, saya kira. Yang saya tangkap, upaya itu masih sangat parsial. Mengapa begitu? Karena canting yang katanya barang seni dan warisan budaya mbah buyut kita, tidak diposisikan sebagaimana mestinya. Hanya sebagai barang dagang.”
Padahal, kalau mau menengok ke belakang, canting memiliki sejarah panjang. Sejak, kira-kira abad ke-18, canting sudah dikenal dan diproduksi. Bersama dengan tumbuhnya industri batik yang kala itu dimotori oleh empat bangsa sekaligus, yaitu orang-orang Pribumi, Tionghoa, Eropa, dan Arab. Industri ini, pada saatnya kemudian, juga ikut menyumbang bagi kemerdekaan bangsa ini. Para pengusaha ikut andil melawan kesewenangan Kolonial Hindia-Belanda melalui usaha mereka. Ada banyak kisah soal itu.
Lalu, mengapa sekarang kurang diminati anak-anak muda? Bisa jadi, karena ada kegagalan memosisikan canting sebagai kebanggaan masyarakat Pekalongan. Pengusaha batik dan pengusaha canting boleh jadi mereka berjaya. Tetapi, para pembatik dan perajin canting perlu juga diposisikan secara terhormat agar mereka memiliki kebanggaan terhadap pekerjaan mereka. Sehingga, kaum terpelajar kota Pekalongan tidak merasa malu kalau akhirnya jadi pembatik dan perajin canting.
Selama ini, para pekerja canting berstatus pekerja non formal. Itu artinya, jaminan atas kelayakan hidup mereka nyaris tak ada. Hanya bergantung pada kebaikan hati para juragan.
Segera, setelah itu, saya kembalikan kepada Bu Ety sebagai pemandu diskusi. Termin kedua dibuka.
Bu Ety mengambil alih. Memberikan pertanyaan pancingan, “Bapak-Ibu. Kira-kira, harapan apa yang Bapak-Ibu inginkan bagi penelitian kami ini?”

Pak Lurah kembali dapat giliran pertama. Pesannya sebenarnya masih bernada sama dengan di awal tadi. “Harapan kami, agar penelitian itu dapat memberikan perlindungan terhadap industri canting yang ada di Landungsari ini, Bu. Apalagi seperti disampaikan Pak Slamet, printing menjadi ancaman yang nyata.”
Dalam benak saya, yang dikemukakan Pak Lurah memang faktual dan aktual. Tetapi, serasa lepas dari persoalan yang sedang didiskusikan. Ibarat kata, kalau rumput di halaman rumah sendiri kurang segar, kenapa mesti menyalahkan tetangga karena rumputnya tumbuh subur. Bisa saja rumput di halaman rumah sendiri kersang karena kurang dirawat dengan baik.
Ancaman itu pasti. Karena hidup itu sehimpunan risiko yang berbaris memanjang dalam deret waktu. Jadi, kapan saja selalu ada kaki yang menginjak rumput. Kalau tidak, ya roda motor yang entah sengaja atau tidak, menindihnya. Tetapi, bukan berarti itu kesalahan fatal si kaki atau si roda motor. Rumput memang nasibnya terinjak. Bahkan di puncak gunung sekalipun. Nasibnya sama, terinjak kaki atau tertindi benda-benda lain. Maka, merawat dan melindungi rumput agar tetap lestari hidupnya itu perlu diupayakan.
Meski begitu, tidak bisa kita tutup mata pula bahwa rumput yang bagus kadang bisa saja dijual. Dibawa ke pasar atau ke depot tanaman. Siapa pun bisa melakukannya. Bahkan, oleh seseorang yang bukan bagian dari penghuni rumah itu.
Itulah yang dikeluhkan Mas Faisol Rizal. Dia bilang, “Sudah banyak, Bu, canting-canting produk kita itu dibawa ke Malaysia. Dan kita kesulitan untuk memintanya kembali. Sama seperti kasus batik. Batik Malaysia berkembang karena orang-orang kita sendiri yang melatih mereka. Jadi, saya kira perlu itu perlindungan terhadap industri canting dan upaya regenerasi perajin canting.”
Bergilirlah kesempatan menuju ke Pak Slamet. Tampak di layar laptop, Pak Slamet yang tengah menghadap laptop. Beliau tak menggunakan kamera laptop. Tetapi, ada kamera lain yang difungsikan. Tentu, ada petugasnya sendiri yang mengoperasikan kamera itu.
Dengan lantang, Pak Slamet memaparkan pendapatnya, “Perlu dipahami, perlindungan itu dapat dilakukan dengan pengajuan hak paten. Kami sudah sering sampaikan kepada perajin agar mereka mematenkan canting produk mereka. Tetapi, kesadaran para perajin masih minim. Jadi, kami sangat berharap penelitian ini akan membantu kami di dalam meningkatkan kesadaran para perajin akan pentingnya hak paten.”
Tiga poin saya kantongi sudah. Tiba giliran saya.
Sebelum menjawab, saya mencoba menguraikan tiga poin yang disampaikan tiga narasumber. Intinya, saya katakan, “Soal hak paten jangan melulu menyalahkan para perajin. Mereka pekerja non formal. Tidak bisa dipaksa agar punya inisiatif. Tetapi, perlu jemput bola. Saya pikir, masalah hak paten hanya sebagian kecil masalah. Ada masalah yang lebih penting. Yaitu regulasi yang mampu menjawab persoalan secara komprehensif. Selama ini, penanganan masalah yang parsial menunjukkan jika antarsektor kurang mampu bersinergi merumuskan regulasi yang diperlukan bagi perlindungan industri canting. Jadi, saya harapkan penelitian ini dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah selaku pemangku kebijakan, agar mereka dapat merumuskan regulasi yang jitu. Menyasar ke segala aspek yang berkaitan dengan pelestarian industri canting.”
Saya lihat, jam pada layar laptop menunjuk angka 09.58. Tak patutlah saya berpanjang kata lagi. Sesuai jadwal, FGD hanya berlangsung satu jam. Mulai pukul 09.00 hingga 10.00. Segera saya akhiri jawaban itu.
Catatan saya, permasalahan utamanya adalah kegagalan pemerintah di dalam memahami persoalan sampai pada akar masalahnya. Tak heran, begitu dihadirkan fakta-fakta yang terang, mereka cenderung mengelak dan melemparkan kesalahan pada persoalan lain, yang dipaksakan tampak saling kait-mengait.
Bu Ety menutup diskusi. Lalu, ia sampaikan permohonan, jika kelak diperlukan lagi FGD, beliau memohon kesediaan semuanya. Tentu, saya bersedia dan sangat menantikan momentum itu. Terima kasih Bu Ety dan tim peneliti UT Tangerang Selatan, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk ikut andil berpendapat.
Pekalongan, 27 Agustus 2020