KOTOMONO.CO – Pernah saya nguping sebuah obrolan orang-orang penting di sebuah instansi. Maaf, demi reputasi instansi dan nama baik orang-orang penting itu saya tidak menyebutkan nama-nama mereka. Dalam obrolan mereka, sempat saya dengar kalau musik dangdut itu musik yang antimoral. Badhalah! Spontan, aliran darah saya melonjak. Saya nggak terima. Tetapi, saya nggak bisa berbuat banyak, kecuali terus menguping obrolan itu.
Usut punya usut, penilaian mereka itu cuma didasarkan pada aksi panggung yang mereka tonton di hape. Dari situ, mereka ngaku sempat nonton biduan yang jogetnya bikin mata merem melek. Bahkan, mereka juga ngaku pernah nonton video aksi panggung biduan yang bikin mereka terpaksa ke kamar mandi.
Iya sih, nggak bisa dipungkiri fenomena seperti itu memang ada. Tetapi, nggak bisa dong itu dijadiin alasan untuk ngejudge musik dangdut sebagai musik yang tak bermoral. Atau jangan-jangan mereka ini orang-orang yang sok moralis.
Andai mereka mau mendalami musik dangdut beneran, mungkin obrolan mereka akan lain. Apalagi kalau sudah ketemu dengan lagu-lagunya Wak Haji Rhoma Irama. Ehm, ngomongin pedangdut yang satu ini, saya akui, saya ngefans berat sama beliau. Dari personalitasnya, karya, sampai aksi panggungnya, semua saya demen. Apalagi lagu karya beliau yang menurut saya spesial. Judulnya, Sebujur Bangkai.
Mendengar judulnya saja, dulu saya sempat bertanya-tanya apa maksudnya? Kok bangkai? Mungkin lagu ini mau bercerita tentang bangkai seekor binatang kali ya?
Tapi, begitu saya mendengar dan menikmati lagu ciptaan Wak Haji ini, seketika pikiran saya berubah. Oh, ternyata bangkainya itu bangkai manusia. Tapi kok, bangkai ya? Seolah-olah nggak ngargain banget gitu. Kan manusia itu beda sama binatang. Masa iya sih bangkai? Tapi, yuk kita simak dua baris lirik awalnya;
Badan pun tak berharga, sesaat ditinggal Nyawa
Anak istri tercinta, tak sudi lagi bersama
Hm… iya juga ya. Ternyata tubuh manusia ketika sudah tak bernyawa nggak lagi ada harganya. Mirip seperti bangkai. Makanya, nggak ada orang yang mau merawatnya lagi. Bahkan orang-orang terdekat kita. Keluarga kita.
BACA JUGA: Koneksi Manusia Instan dengan Tuhan
Lha iyalah, kalau badan manusia sudah mati, lama-lama juga bakalan bau. Bahkan, bisa saja menularkan penyakit. Nah, dari baunya saja sudah bikin orang nggak betah tinggal bareng. Apalagi dengan kemungkinan kedua, menularkan penyakit karena tubuh mayat bisa mengundang banyak bakteri.
Oke, untuk sementara bisa dimengerti deh. Alasan apa yang membuat Wak Haji menggunakan kata “bangkai”. Kalau dalam pelajaran bahasa Indonesia waktu SMP dulu, ini masuknya majas Alegori. Bisa juga sih dimasukkan sebagai majas Litotes, karena kata “bangkai” itu sebagai ungkapan untuk merendahkan diri.
Tentu, untuk bisa memanfaatkan majas seperti itu, seorang pencipta lirik memang perlu menguasai bahasa dan gayanya. Ia juga perlu mengolah bahasa dengan cermat. Jangan sampai gara-gara satu kata saja kena pasal hukum. Misal, penistaan terhadap nilai kemanusiaan.
Wak Haji Rhoma Irama sang raja dangdut legendaris ini memang piawai dalam memainkan bahasa. Menurutku, beliau sangat paham betul bagaimana memilih kata alias menentukan diksi yang tepat dan berdaya. Jadi, beliau pedangdut yang bukan sembarang pedangdut. Lanjut! Ke baris berikutnya.
Secepatnya jasad dipendam
Secepatnya jasad dipendam
Karena tak lagi dibutuhkan
Diri yang semula dipuja
Kini bangkai tak berguna..aa..oohh
Jelas, penggalan lirik itu menceritakan bagaimana setelah tubuh manusia tak bernyawa lagi. Sudah tentu, tubuh itu akan dikubur. Kenapa? Karena itu tadi, tubuh manusia tidak ada gunanya kalau sudah tak bernyawa. Nggak bisa dituntut untuk bekerja untuk mencari sesuap nasi, atau untuk melakukan hal-hal lainnya.
BACA JUGA: Wawancara dengan Sosok Kartu e-KTP: Ngobrolin Soal Fotokopi, Korupsi, dan Isu Big Data
Keadaan tubuh yang tak lagi berguna itu mirip seperti bangkai. Bahkan, bangkai seekor binatang saja nggak bisa dimakan. Malah hukumnya haram pula.
Gambaran keadaan tubuh pada bagian ini menarik untuk diulas lebih dalam. Sebab, ada bagian yang berbunyi “diri yang semula dipuja”. Bagian ini ingin menggambarkan bahwa selama hidup, orang biasanya mencari-cari alasan agar ia layak untuk dipuja-puja. Di saat ia dipuja, ia lupa kalau yang dipuja itu sebenarnya sekadar bentuk wadaknya doang. Apa yang tampak saja; tubuh. Dan saat itu, ia sedang membanggakan tubuhnya.
Segala sesuatu yang melekat pada tubuhnya, segenap sebutan-sebutan untuknya, sebenarnya tak ada gunanya. Mau dia orang paling hebat sekalipun di dunia ini, tubuh itu kelak akan ditinggalkannya. Mau sepintar apa pun, mau anak kyai, mau anak presiden, mau orang kaya atau miskin, tubuh hanyalah piranti. Bukan sesuatu yang semestinya dibangga-banggakan.
Dalam keadaan berbangga itu, orang juga punya kecenderungan memanjakan tubuhnya dengan segala sesuatu yang nyaman bagi tubuh. Seperti yang tergambar dalam bagian berikut;
Dari kamar yang indah,
kasur empuk tilam putih
Kini harus berpindah,
terkubur..dalam perut bumi
Ya, kebanggaan seseorang kadang membuat ia lena dalam kemewahan. Tidur di atas kasur empuk, berselimut tebal, istirahat di ruangan ber-AC, dan ditemani oleh orang-orang tercinta. Tetapi, setelah tubuh ditinggalkan, kemewahan yang sejati itu berpindah dan beralih menjadi sekadar ruang gelap di dalam tanah.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Perempuan yang Selalu Dituntut ‘Manut’ dengan Pasangannya
Tentu, ini bukan maksud Wak Haji menakut-nakuti. Tetapi, apa yang digambarkan lewat lirik ini sebenarnya ingin memberi sebuah kesan yang imajinatif tentang kematian. Sesuatu yang mestinya bukan untuk ditakuti. Tetapi, sesuatu yang mestinya menjadi pelajaran bagi orang yang masih hidup agar ia tidak jumawa dengan segala fasilitas kemewahan yang ia peroleh di dunia ini.
Kalau selama ini diri berhiaskan
Emas intan permata bermandi cahaya
Tetapi kali ini di dalam kuburan
Gelap pekat mencekam, tanpa seorang teman
Terputuslah ….pergaulan
Terbujurlah sendirian
Diri terbungkus kain kafan
Nah kan? Segala kemewahan itu pada akhirnya nonsense. Tidak ada guna. Kalau dulu banyak teman karena kemewahannya, lantas ia menggauli sepi. Dan ia hanya dibalut kesederhanaan yang lebih rendah derajatnya dari orang paling miskin di dunia.
Wajah dan tubuh indah yang dulu dipuja-puja
Kini tiada lagi orang sudi menyentuhnya
Jadi santapan cacing tanah
Jadi santapan cacing tanah
Sampai yang tersisa kerangka
Begitulah suratan badan
Ke bumi dikembalikan…aa…aa..ann
Kebanyakan manusia terlena sehingga lupa
Bahwa maut kan datang menjelang….
Saya kira, penghayatan lirik lagu “Sebujur Bangkai” ini menjadi sebuah renungan yang mendalam. Sebab, apapun bentuk keistimewaan yang kita terima selama hidup, pada akhirnya akan sia-sia. Tubuh bukanlah sesuatu yang benar-benar berharga.
So, menurut saya, lagu ini sarat pesan moral yang luar biasa. Jadi, kepada Bapak-bapak itu, masih mau ngomong kalau musik dangdut itu antimoral?
Baca Tulisan-tulisan Menarik Khairul Anwar Lainnya